Menuju konten utama

Candu Tayangan yang Mengumbar Kesedihan

Acara televisi yang mengumbar kesedihan tak luput dari kritikan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan. Namun, sebaliknya acara semacam ini justru mendapatkan tempat di hati penonton. Mengapa orang-orang suka menonton tayangan yang mengumbar kesedihan?

Candu Tayangan yang Mengumbar Kesedihan
Ilustrasi eksploitasi kemiskinan di televisi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Okky Lukman nampak masygul, bahkan sampai berderai air mata. Tangan sang pembawa acara kondang ini menepuk-nepuk pundak seseorang yang memegang mikrofon sambil bercerita dengan lirih dan penuh kesedihan. Suasana ruangan studio nampak hening dengan wajah-wajah haru, sesekali wajah penonton yang basah dengan air mata muncul di layar kaca.

Potongan adegan acara reality show di salah satu stasiun televisi swasta ini menghiasi prime time layar kaca setiap hari. Acara yang dikemas yang memadukan kompetisi menyanyi dan kisah pilu orang-orang yang sedang terlilit utang. Sebelum kompetisi dimulai, profil dari masing-masing peserta ditampilkan dalam sebuah layar di belakang panggung. Beragam masalah peserta dimunculkan. Tak cukup sampai di situ, mereka harus bernyanyi dan dikomentari oleh para juri layaknya ajang kompetisi idol.

Peserta dengan penampilan menyanyi terbaik pilihan para juri bisa langsung maju ke babak bonus. Di babak itu ia harus memilih satu mikrofon yang berfungsi dari 10 mikrofon di depannya agar utangnya bisa dilunasi. Tak mudah memang memilih satu pilihan keberuntungan dari sekian banyak pilihan. Para peserta pun kebanyakan gagal di babak ini, mereka yang gagal hanya mendapatkan uang sejumlah Rp2 juta, sementara utang-utang mereka pada umumnya jauh di atas itu. Kalau sudah begini, lagi-lagi tangis peserta dan rasa iba penonton tak terbendung.

Program televisi berupa reality show yang menayangkan kesedihan dan kemiskinan bukan satu atau dua muncul di stasiun-stasiun televisi di Tanah Air. Acara serupa juga hadir di beberapa negara termasuk di Amerika Serikat (AS). Di AS ada The Briefcase ditayangkan di stasiun TV CBS. Konsep acara ini diperbincangkan warganet serupa film “Hunger Games”. Keluarga kurang mampu sama-sama diberikan “bekal” berupa uang sebesar $101.000 dan harus memilih menggunakan uang tersebut untuk keberlangsungan hidup mereka atau membantu satu keluarga yang lain.

Acara semacam ini diklaim cukup mendulang minat penonton televisi khususnya di Indonesia. Beberapa penonton televisi "menikmati" acara dengan bumbu-bumbu dramatis termasuk di dalamya ada kesedihan kaum papa. Program televisi Mikrofon Pelunas Hutang misalnya, pada 25 April 2017 menempati peringkat 14 dengan share 9,3 persen. Sehari sebelumnya mampu berada di peringkat 8 dengan share 11,6 persen. Mengapa ada orang menyukai tayangan yang mengumbar kesedihan?

Infografik Eksploitasi kemiskinan

Berdasarkan hasil riset dari peneliti di Universitas Oxford yang diulas oleh The Guardian mengungkapkan bahwa menonton tayangan yang traumatis akan meningkatkan toleransi bersama terhadap rasa sakit. Selain itu juga meningkatkan kadar zat kimia penghilang rasa sakit yang diproduksi di otak yakni endorfin. Endorfin merupakan zat kimia dalam otak. Fungsinya sebagai candu alami tubuh, yang berfungsi untuk menghilangkan stres dan meningkatkan perasaan senang, bahagia, bahkan euforia.

"Emosi yang Anda dapatkan dari tragedi memicu sistem endorfin. Sama seperti menyanyi, menari, lari, dan tertawa," kata Robin Dunbar, penulis dan profesor psikologi evolusioner di Universitas Oxford.

Menurutnya, daerah yang sama di otak yang menangani rasa sakit fisik juga menangani rasa sakit psikologis. Ia juga melakukan pengamatan terhadap 169 peserta yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut dipisah berdasar jenis tontonannya, yakni film dokumenter dan film traumatis. Sebelum dan sesudah melihat film, para peserta menunjukkan skala mood mereka yang berbeda.

Kelompok yang menonton film traumatis rata-rata memiliki perubahan negatif yang kuat terhadap suasana hati mereka. Sementara kelompok yang menonton film dokumenter hanya menunjukkan sedikit perubahan pada penanda positif dan negatif, oleh para peneliti skala ini dikaitkan dengan rasa bosan. Hal ini sebaliknya terjadi dengan mereka yang menonton film traumatis. Rata-rata toleransi pada kelompok yang menonton film traumatis meningkat sebesar 13,1 persen. Sedangkan mereka yang menonton dokumenter mengalami penurunan ambang rasa sakit atau sedih sebesar 4,6 persen.

Hasilnya adalah bahwa film atau tayangan traumatis tersebut meningkatkan ambang rasa sakit atau sedih hampir 18 persen dibandingkan film dokumenter. Dunbar mengatakan bahwa menonton film traumatis meningkatkan kadar endorfin, meningkatkan toleransi rasa sakit dan membuat seseorang merasa lebih dekat dengan orang lain.

Penelitian ini memang membuktikan keunggulan sebuah tayangan kesedihan yang membuat "candu" reaksi otak dari sebuah film drama. Namun, reaksi yang juga bisa sama terjadi pada saat seseorang menonton acara reality show yang mengumbar kesedihan. Sebab, mekanisme dalam otak merespons emosi yang sama dirasakan saat menonton tayangan fiksi dengan emosi saat melihat kejadian serupa di kehidupan nyata.

"Yang menarik adalah otak kita tidak benar-benar terancang untuk membedakan apakah itu nyata atau fiktif," kata Jennifer Barnes, Asisten Profesor Psikologi dari Universitas Oklahoma.

Menurutnya, menonton program televisi yang mengandung konten emosional dan menunjukkan sikap welas asih sesama manusia, membuat orang berlaku lebih baik terhadap sesamanya, meskipun karakter atau tampilan yang ditayangkan hanya berupa rekaan.

"Jika Anda berteman dengan seseorang yang memiliki pengalaman hidup berbeda atau orang dalam kategori sosial yang berbeda. Anda jadi bisa lebih memahami kelompok orang tersebut," kata Barnes.

Para pembuat program televisi yang menyuguhkan kesedihan tentu tak menyia-nyiakan potensi semacam ini. Tayangan kesedihan adalah kesempatan untuk menarik para penonton sebanyak-banyaknya dengan "kemasan" saling membantu antar sesama.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra