tirto.id - Sepiring nasi aking dan semangkok daun singkong rebus disajikan kepada seorang mahasiswi cantik, di sebuah rumah yang tampak sudah reot. Gadis itu tampaknya tak sanggup memakan makanan tersebut. Ia pun menangis dan memeluk sepasang suami istri renta yang duduk di sampingnya. Ia pun bertanya, sejak kapan mereka hidup dengan makan makanan seperti itu.
Si nenek, yang awalnya hanya terlihat diam karena menganggap makanan yang dihidangkan untuk suaminya adalah hidangan lezat, tiba-tiba saja menangis. Ia pun serasa seperti manusia paling melarat, dihinakan karena makanan. Si kakek, selama puluhan tahun bahagia sudah bisa menafkahi keluarganya, tiba-tiba juga merasa ditelanjangi kewibawaan dan harga dirinya: hanya mampu memberi pangan tak bergizi dan menjijikkan (versi si mahasiswi).
Di akhir perjumpaan, si kakek dan nenek diajak jalan-jalan ke kota, membeli baju baru di mal, diajak beristirahat di hotel. Sekembalinya ke rumah, sudah tersedia bahan pokok lengkap, juga sedikit lembaran rupiah bergambar proklamator Indonesia yang diberikan kepada si nenek. Kembali mereka merasa rendah diri dan ditelanjangi dengan pertanyaan: “Seneng nggak nek, kek? Belum pernah ya dapat yang seperti ini? Bersyukur ya ini rezeki dari Tuhan untuk kakek dan nenek atas ujian dan kesabaran selama ini.”
Akhir cerita ditutup dengan lagu “You Raise Me Up” dengan background si mahasiswi yang kembali ke kota sambil menangis memberikan testimonial: “Saya belum pernah mendapatkan pelajaran hidup seberharga ini, melihat kakek dan nenek yang teguh dalam bekerja dan tidak pernah mengeluh.”
Itulah salah satu episode reality show "Jika Aku Menjadi" yang pernah ditayangkan di Trans TV. Ia menguras airmata penonton, dengan drama tentang kemiskinan. Seseorang yang biasa hidup enak, diajak ikut merasakan kehidupan orang yang kurang beruntung. Reality show model ini sempat marak di banyak stasiun televisi. Kemasannya berbeda, tapi intinya sama yakni menguras airmata dari orang-orang yang hidupnya dianggap tidak berdaya.
Ada juga yang mengemas dengan tayangan jalan-jalan artis ibukota. Si artis yang asik berjalan-jalan secara tak sengaja menemukan sosok yang patut dikasihani entah dari segi fisik atau pekerjaan. Lalu si artis mengikuti sosok tersebut hingga ke rumahnya, membantu melakukan segala pekerjaan-pekerjaan rumah dan ikut menghalau sosok lain yang biasanya ditampilkan sebagai preman pengganggu. Atau juga banyak yang dikemas dalam acara ajang pencarian bakat yang disisipi bumbu-bumbu keibaan lantaran peserta berasal dari desa terpencil, tidak mampu, dan penuh perjuangan untuk sampai di tahap bisa masuk di layar televisi.
Model-model reality show seperti di atas sempat banyak tayang di sejumlah stasiun televisi Indonesia. Misalnya Rumah Gratis, Jika Aku Menjadi yang pernah ditayangkan Trans TV, Bedah Rumah dan Minta Tolong yang pernah ditayangkan di RCTI, Catatan si Olga yang pernah ditayangkan di ANTV, program Orang Pinggiran yang ditayangkan di Trans 7, Uang Kaget, Tolooong!, Survivor, dan banyak lainnya. Acara-acara tersebut terbukti mampu menarik penonton.
Reality show bertemakan sosial menguras iba ini biasanya mengangkat kisah hidup orang yang dekat dengan garis kemiskinan, dengan kondisi tempat tinggal kurang layak dan penghasilan tak memadai. Nantinya akan muncul sosok penyelamat yang membayarkan utang, merenovasi rumah, memberi uang, atau mengajak jalan-jalan objek yang diselamatkan. Kemudian muncul respons objek yang biasanya tersedu bahkan sampai bersujud kepada sosok yang dianggap penyelamatnya. Charity Show, begitu tema-tema acara seperti ini diistilahkan.
“Banyak acara bergeser jadi charity show, tidak langsung, tapi rating itu hitungannya menit, jadi pasti mereka juga melakukan evaluasi per menit. Bagian yang membuat rating naik adalah acara yang begitu, lalu itu dieksplorasi ke sana,” ujar Mohamad Heychael, Direktur Remotivi kepada tirto.id.
Survei Nielsen Media Research (NMR) di Indonesia pada pertengahan tahun 2005 pernah mencatatkan Uang Kaget dan Bedah Rumah sebagai acara dengan rating tertinggi, dengan indikator rating dan share. Uang Kaget mendapat rating 5,9 persen dengan share 21,9 persen, sedang Bedah Rumah memperoleh rating hingga 5,4 persen dengan share 25 persen. Dua acara itu sendiri kini sudah tidak tayang lagi di televisi.
“Memang ada korelasi eksploitasi dan rating, coba perhatikan semua tayangan seperti pencarian bakat ada aspek menceritakan privacy orang dan itu jadi segmen tersendiri. Hampir di mana-mana ketika misal infotainment, cerita tentang perjuangan Olga dari miskin ke kaya dieksploitasi habis-habisan. Itu jadi semacam formula yang sudah terstruktur di dunia pertelevisian kita, formula yang paling ampuh menaikkan rating,” lanjut Heychael.
Lalu mari kita hitung berapa kira-kira pendapatan yang diperoleh charity show berdasar rating mereka. Yang pasti, acara tersebut biasa tayang di jam-jam utama dengan harga iklan mahal. Trans TV misalnya, mematok harga iklan Rp50 juta per 30 detik untuk prime time.
“Untuk tarif iklan, tergantung pada performance program. Yang sudah-sudah, untuk prime time rata-rata bisa sampai Rp50 juta ke atas per 30 detik. Tetapi setiap stasiun TV memiliki kebijakannya masing-masing,” Achmad Hadiansyah Lubis, Departement Head Marketing Public Relation Trans TV, seperti dikutip dari Swa, pada Februari 2015 terkait harga baru iklan di stasiun televisinya.
Biasanya, acara-acara charity ini ditampilkan pada pukul-pukul penonton ramai. Kita ambil contoh rating Uang Kaget sebesar 5,9 persen yang bisa mendapat 8-10 iklan di tiap sesinya. Misalnya satu iklan 30 detik seharga Rp50 juta (kita ambil angka tertinggi), maka stasiun televisi bisa meraih pendapatan sekitar Rp400-500 juta untuk satu sesinya. Dalam satu episode, bisa terdiri dari beberapa sesi. Sungguh pendapatan yang cukup menggiurkan.
Pendapatan dari acara yang menguras emosi ini jelas menggiurkan, sementara biaya produksi tidak terlalu besar. Itulah mengapa acara ini sedemikian menjamur. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berpendapat, eksploitasi untuk memunculkan empati jelas tidak layak. Sayangnya, KPI tidak menindak karena belum ada aduan dari masyarakat
“Jadi, kalau arahnya membangun empati publik, toreransi sosial, empati sosial tidak masalah. Tapi kalau arahnya eksploitasi menjadikan kemiskinan sebagai komoditas tayangan dan subjek yang ditayangkan untuk memunculkan empati ya tidak layak. Namun sejauh ini kami belum mendapat laporan masyarakat terkait hal itu,” papar Komisioner Koordinator Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Hardly Stefano kepada tirto.id.
Acara-acara reality show yang menjual airmata sendiri kini sudah mulai berkurang. Sebagai gantinya adalah reality show yang mengumbar tawa dan lelucon-lelucon garing. Leluconnya pun terkadang mengeksploitasi sisi pembawa acara ataupun penonton dengan tidak semestinya. Tren berubah, tetapi tetap sama-sama mengeksploitasi. Karena eksploitasi adalah peluang. Peluang mendapatkan penonton, sekaligus pendapatan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti