tirto.id - Benny Moerdani adalah orang dekat Soeharto. Jenderal M. Jusuf bahkan kalah dekat dengan sang presiden. Tak heran, seperti dicatat Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), jika ada masalah penting Jusuf selalu bilang ke Benny, “Kau laporkan ini kepada Pak Harto, Ben” (hlm. 49).
Ketika M. Jusuf menjabat Panglima ABRI, Benny sudah malang melintang di dunia intelijen militer. Ia menjadi Asisten Intelijen Panglima Kopkamtib sekaligus asisten intelijen untuk Menteri Pertahanan Keamanan. Di saat yang sama, lelaki kelahiran Blora, 2 Oktober 1932 ini merangkap jabatan sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Kala M. Jusuf hendak diberhentikan sebagai Panglima ABRI, menurut Salim Said, “konon, Jusuf pulalah yang menyarankan agar Benny saja yang diangkat menjadi penggantinya” (hlm. 50).
Setelah mengajukan usulan tersebut, seperti dicatat Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007), M. Jusuf bilang ke Benny, “Ben tadi saya ke Pak Harto. Saya bilang nanti yang menggantikan saya harus seseorang yang bisa menghormati orang tua” (hlm. 233).
Seseorang yang dimaksud M. Jusuf tentu saja adalah Benny.
Di Antara Alkitab dan Pancasila
Moerdiono, yang pada awal 1983 masih menjadi Sekretaris Kabinet, menurut Julius Pour, merasa Benny belum tahu bahwa dia akan diangkat menjadi Panglima ABRI (Pangab). Sehari sebelum pelantikan, Moerdiono menelepon Benny untuk meminta keterangan ejaan namanya yang tepat. Benny bertanya, “Buat apa?” Moerdiono pun menjawab, “Ini, buat anu… Surat Keputusan Presiden, kamu kan besok dilantik jadi Pangab. Tapi anu ya, jangan emosional selama upacara pelantikan” (hlm. 233).
Surat Keputusan Presiden nomor 47/M tanggal 16 Maret 1983 yang dimaksud Moerdiono menyebut: “Letnan Jenderal TNI LB Moerdani dianggap memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.”
Pada Rabu siang 23 Maret 1983, Benny pun dilantik. Ia datang tak hanya membawa diri dan seragam di badan, tapi juga mengantongi Alkitab di sakunya. Bukan sembarang Alkitab yang ia bawa. Itu adalah hadiah dari ibunda Benny, Jeane Roech, waktu sakramen krisma di Gereja Purbayan Solo.
Seharusnya, seorang Katolik yang dilantik memegang Alkitab di tangan kiri, sementara tangan kanannya mengacungkan dua jari saja. Tapi Benny mengacungkan lima jari. Semua tahu, Benny seorang Pancasilais sampai tulang sumsum. Urusan keimanan dia biarkan saja tumbuh dalam dirinya.
Benny pun jadi keturunan indo pertama yang meraih pangkat tertinggi di TNI. Di zaman kolonial, pernah ada orang indo yang jadi panglima tertinggi KNIL. Namanya Letnan Jenderal Gerardus Johannes Berenschot.
Di masa Orde Baru, Benny adalah panglima ABRI yang tidak pernah menjadi panglima teritorial seperti Komando Daerah Militer (Kodam) maupun Komando Antar Daerah (Koanda).
Di hari pelantikan itu pula, Benny kejatuhan bintang lagi. Dari tiga menjadi empat. Dari letnan jenderal menjadi jenderal penuh.
Setelah dilantik Presiden Soeharto, acara serah terima dari M. Jusuf ke Benny Moerdani pun dilakukan. Benny sadar tugasnya tidak ringan. Menurut Julius Pour, Benny menjabat di masa perekonomian agak merosot. Itu berpengaruh terhadap pembiayaan alutsista ABRI. Kala itu, jumlah personil ABRI ada 450.000 orang (hlm. 237).
Benny juga berusaha membenahi kurikulum di Akademi ABRI (Akabri). Ia menghendaki komposisi 75 persen ilmu non-militer dan 25 persen pendidikan militer dibalik menjadi 75 persen pendidikan militer dan 25 persen non militer (hlm. 242).
Di zaman Benny Moerdani jadi panglima, terjadi pengurangan personel di tubuh satuan elite Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Efek pengurangan itu adalah harus ada personel baret merah yang tersingkir ke Kostrad. Satuan ini dulu namanya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Benny pernah jadi komandan batalyon, bahkan awal kariernya sebagai tentara adalah di satuan itu. Tak hanya itu, nama Kopassandha diubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Pada era sebelum Benny Moerdani jadi Panglima ABRI, orang yang menjabat panglima biasanya merangkap jabatan Menteri Pertahanan. Bahkan ada yang merangkap pula jabatan Panglima Kopkamtib (Pangkopkamtib) seperti Jenderal Maraden Panggabean. Tapi di era M. Jusuf, Pangkopkamtib dijabat Laksamana Sudomo. Di era Benny Moerdani, Menteri Pertahanan dijabat Jenderal Poniman (1926-2010).
Ada beberapa hal pahit yang terjadi ketika Benny Moerdani jadi Panglima ABRI. Pada 29 Oktober 1984, gedung amunisi Korps Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan meledak. Ledakan itu mengakibatkan kerusakan di sekitar gedung amunisi dan menimbulkan kengerian bagi warga seputar Cilandak.
Bulan sebelumnya, pada 4 Oktober 1984, bom meledak di Bank Central Asia, Jalan Gajah Mada, Jakarta. Kasus ini kemudian menyeret Letnan Jenderal H.R. Dharsono, mantan Panglima Siliwangi, ke penjara.
Bulan sebelumnya lagi, pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan di Tanjung Priok. Banyak orang Islam tewas oleh peluru aparat saat kerusuhan meletus.
Dalam sejarah hidupnya, Benny dianggap sebagai musuh Islam politik. Ia dipersalahkan dalam kasus Tanjung Priok. Seorang habib pernah menyebutnya sebagai “Panglima Salibis.” Nama Benny dikaitkan dengan “ABRI Merah-Putih.” Kelompok “ABRI Merah Putih” digambarkan bermusuhan dengan “ABRI Hijau” yang digolongkan sebagai kelompok perwira beragama Islam.
Soeharto Tak Percaya Lagi
Masa-masa kepanglimaan Benny di ABRI baru berakhir di awal 1988. Benny tak bernasib seperti Letnan Jenderal Barenchoot di KNIL yang meninggal ketika masih menjabat panglima. Presiden Soeharto yang berbahagia di Jalan Cendana telah memutuskan: Benny Moerdani tidak lagi jadi Panglima ABRI.
Penggantinya adalah Try Sutrisno, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 40/M 24 Februari 1988. Try Sutrisno merupakan kawan lama Benny, meski mereka berasal dari satuan berbeda. Try berasal dari Korps Zeni dan Benny satuan elite Kopassus. Sebelumnya, Try adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Posisi KSAD kemudian dioper ke Letnan Jenderal Edy Sudrajat. Benny pun diberi jabatan baru, yaitu Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Meski dapat jabatan itu, menurut Julius Pour, Soeharto sebenarnya sudah tidak percaya lagi kepada Benny Moerdani.
Sementara menurut cerita Ben Mboi, kawan Benny, yang dikutip Julius Pour, Soeharto pernah marah pada Benny waktu main biliar. Semula mereka bicara soal keamanan presiden. “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak Harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur meninggalkan saya di ruang bilyar,” aku Benny seperti diingat Mboi. Kata Ben Mboi: “Benny langsung surut di mata Pak Harto” (hlm. 343).
Selain soal anak-anak, Laksamana Sudomo punya cerita luar biasa tentang Benny dan Pak Harto. Seperti dikutip juga oleh Julius Pour, Sudomo menyebut, "Memang, Benny telah menyampaikan saran kepada Pak Harto, agar mulai bisa mempertimbangkan untuk secara sukarela mengundurkan diri karena sudah memimpin selama 20 tahun."
Bagi Benny, masa kekuasaan 20 tahun sebagai presiden adalah terlalu lama.
==========
Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan