Menuju konten utama
Seri Para Panglima Soeharto

Try Sutrisno: dari Zeni, Ajudan Soeharto, ke Panglima ABRI

Panglima ABRI biasanya diisi perwira berlatarbelakang infanteri. Tapi siapa sangka mantan ajudan presiden dari korps zeni ini bisa menduduki posisi itu?

Try Sutrisno, menjabat Panglima ABRI sejak 27 Februari 1988 hingga 19 Februari 1993. tirto.id/Lugas

tirto.id - Meski tak jadi tentara waktu zaman Revolusi, Try Sutrisno masih bisa digolongkan sebagai Angkatan ’45. Dia masih bocah kala itu. “Pada waktu kanak-kanak saya kental dengan pengalaman di sekitar perjuangan fisik melawan kewenang-wenangan pihak Belanda dan sekutu,” akunya dalam buku 5 Tahun Masa Bakti Bapak Try Sutrisno (1998: 19).

Itulah kenapa dia kemudian begitu ingin jadi serdadu. Setelah tamat SMA, Try mencoba peruntungan di ketentaraan. Bekal ijazah SMA tentu membuatnya berpeluang jadi perwira. Waktu ada lowongan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) Bandung, Try mendaftar. Lulusan sekolah itu akan menjadi perwira zeni Angkatan Darat.

Kepala Direktorat Zeni dijabat Kepala Staf Angkatan Darat pertama, G.P.H. Djatikusumo. Majalah Tempo (vol. 23, 1993) mencatat, Djatikusumo pernah menguji Try waktu jadi calon taruna. Djatikusumo begitu terkesan dengan postur tubuh Try yang atletis dan pengakuannya bahwa ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Ketika Try tidak muncul sebagai calon taruna yang lulus seleksi, Djatikusumo kemudian memanggilnya.

Waktu masih jadi taruna, menurut Moehkardi dalam Pendidikan Pembentukan Perwira TNI-AD 1950-1956 (1981: 205), Try pernah jadi Sekretaris Senat Taruna 1957-1958. Pahlawan Revolusi Pierre Tendean adalah adik angkatannya. Pierre lulus pada 1962.

Orang Zeni Jadi Ajudan Presiden

Setelah tamat dari Atekad, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989: 418), Try jadi komandan peleton pasukan Zeni Tempur (Zipur) II Palembang (Kodam Sriwijaya), dari 1960 hingga 1962. Ketika Try baru datang, Panglima Kodam-nya adalah Kolonel Harun Sohar.

Buku 5 Tahun Masa Bakti Bapak Try Sutrisno (hlm. 21) mencatat, pada 1963 dia menjadi komandan peleton di Batalyon Zeni Konstruksi (Yon Zikon) 12 Kostrad, masih di Palembang. Di tahun yang sama, dia lalu diangkat sebagai Komandan Kompi Markas di batalyon tersebut, dari 1963 hingga 1964. Waktu Try di Zikon, Panglima Kodam dijabat Brigadir Jenderal Makmun Murod—yang belakangan jadi Kepala Staf Angkatan Darat (1974-1978).

Dia kemudian dipindahkan ke Jakarta dan menjadi Komandan Kompi Zeni 1 Dumptruck di Direktorat Zeni Angkatan Darat (Ditziad) Jakarta, dari 1965 hingga 1967. Setelahnya, dia menjadi Wakil Komandan Detasemen Markas Direktorat Zeni (Ditzi) Jakarta, dari 1967 hingga 1968. Pernah juga dia menjadi Wakil Komandan Batalyon Zipur 9 Para/Kostrad di Bandung, dari 1968 hingga 1970.

Kariernya berlanjut sebagai Komandan Batalyon Zipur 10 Amphibi Kostrad di Pasuruan, dari 1970 hingga 1972. Dia menjadi Komandan Batalyon Zipur Para dan kepala biro di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) 2/Operasi, sebelum ditarik jadi ajudan daripada Presiden Soeharto pada 1974.

“Sama sekali saya tidak menduga akan dipilih menjadi ajudan Pak Harto pada tahun 1974. Setiap ajudan Presiden harus bisa berfikir dan bertindak cepat, serta menyiapkan segala sesuatu dengan tepat dan cermat,” tutur Try Sutrisno dalam Pak Harto: The Untold Stories (2011: 130).

Diceritakan di buku tersebut bagaimana Soeharto membiayai pengobatan mata anak Try yang kena petasan di Boston. Try tampaknya disukai Soeharto dan dipersiapkan hari depannya. Try mengisi posisi ajudan presiden hingga 1978. Meski hanya empat tahun, jabatan itu dianggap sebagai batu lompatan penting dalam karier.

Selama jadi orang yang dekat dengan Soeharto, Try kerap bertemu Mayor Jenderal Benny Moerdani, Asisten Intel Hankam. Seperti ditulis Salim Salid dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 167), mereka kenal sejak Benny masih letnan di RPKAD dan Try masih sersan taruna Atekad. Ketika sama-sama menjadi perwira menengah, mereka berdua menjadi kawan dekat. Benny pernah bilang pada kawannya itu bahwa Try yang berasal dari zeni tidak punya hari depan di Angkatan Darat.

Jatah orang nomor satu di Angkatan Darat nyaris selalu diisi orang infanteri, bagian terbesar dari matra itu. Zeni kerap dianggap hanya sebagai bantuan tempur.

Benny sendiri pada awalnya merasa musykil jadi orang nomor satu di Angkatan Darat dan ABRI. Jabatan terakhirnya di Angkatan Darat hanya komandan batalyon. Tapi akhirnya ia mendapat jabatan yang musykil itu: Benny jadi Panglima ABRI pada 1983.

Setelah tak jadi ajudan presiden, menurut catatan Harsya Bachtiar (1989:418), Try menjadi Kepala Staf Kodam Udayana selama satu tahun. Pada 19 Mei 1979, Try Soetrisno harus kembali ke Palembang untuk menjadi Panglima Kodam Sriwijaya. Setelah di Sriwijaya, pada 27 Desember 1982, dia ditarik lagi ke Jakarta untuk menjabat Panglima Kodam Jakarta Raya (Jaya).

Ketika dia menjadi panglima di Jakarta, pembantaian Tanjung Priok meletus. Peristiwa pertumpahan darah biasanya menyebabkan karier seorang panglima mandek. Tapi tidak terjadi pada Try.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/09/13/try-sutrisno--spss--lugas-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Seri ABRI Try Sutrisno" /

Menjadi Suksesor Benny

Try Sutrisno yang pernah delapan tahun jadi ajudan itu, menurut catatan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014), berusaha diselamatkan kariernya—seperti kemauan daripada Soeharto. Untuk itu, Panglima ABRI Benny Moerdani terpaksa campur tangan. “Ia [Try Sutrisno] dipersiapkan menjadi Panglima ABRI, menggantikan Benny,” tulis Jusuf (hlm. 299-300).

Setahun setelah geger Tanjung Priok, Try digeser posisinya. Dia dijadikan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Belum genap setahun, pada 18 Juni 1986, Try diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)—jabatan yang biasanya diemban orang berlatarbelakang infanteri. Lepas dari layak atau tidaknya Try Sutrisno untuk jabatan tersebut, semua orang percaya bahwa itu terjadi berkat Soeharto. Atas hal ini, Salim Said berkomentar, "Kekuatan dan kontrol Soeharto atas ABRI terbukti telah menjadikan apa yang hampir tidak mungkin menjadi sangat mungkin" (hlm. 167).

Naiknya Try, masih menurut Salim Said, terjadi di masa ketika sang presiden merasa, "ABRI—sejak masa kepanglimaan Moerdani—sudah berangsur menunjukkan sikap tidak ingin terus bergantung kepada Soeharto." Sejak itu pula, Soeharto beralih mengandalkan orang-orang yang dikenalnya secara personal (hlm. 198).

Try Sutrisno yang mantan ajudan tergolong sebagai orang yang dikenalnya dengan baik. Dan jabatan KSAD adalah posisi sangat penting dalam militer. Karena itu, dengan mengangkat Try, Soeharto mendapat dua hal sekaligus: panglima yang loyal dan dukungan Angkatan Darat.

Try Sutrisno dua tahun jadi KSAD. Setelahnya jabatan itu kembali ke orang infanteri. Try digantikan Edy Sudradjat. Try kemudian memperoleh lagi jabatan yang biasanya diemban perwira infanteri. Pada awal 1988, Try dilantik menjadi Panglima ABRI. Tak heran jika Try berucap: "Alhamdulillah."

Try menggantikan posisi yang ditinggalkan sahabatnya, Benny Moerdani. Benny sendiri kemudian menjadi Menteri Pertahanan Keamanan.

Ketika Try jadi Panglima ABRI, insiden Talangsari di Lampung meletus pada 1990. Seperti peristiwa Tanjung Priok, lagi-lagi orang-orang Islam terbunuh. Try Sutrisno sendiri beragama Islam. Tahun berikutnya, 1991, insiden Santa Cruz di Dili meletus. Kali ini orang-orang Katolik terbunuh. Dalam dua peristiwa itu, aparat militer terseret.

Tapi nama Try Sutrisno tetap tak rusak gara-gara dua peristiwa itu. Try bahkan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia sejak 1993 hingga 1998.

==========

Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.

Baca juga artikel terkait PANGLIMA ABRI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan