tirto.id - Akademi Militer Magelang adalah jalan untuk “jadi orang” atau setidaknya lepas dari jeratan hidup susah. Akademi Militer dikenal gratis, asal memenuhi syarat fisik, akademis, juga ketentuan lainnya.Jalan inilah yang ditempuh anak ketujuh pasangan Guru R. Momon Wirakusumah dan Ratnaningsih, Edi Sudradjat, pada 1957. Di tahun itu, Akademi Militer Nasional di Magelang baru dibuka. Jadi, Edi lulus tahun 1960 sebagai angkatan pertama.
Tahun berikutnya, Edi menjadi komandan peleton dalam Batalyon 515/Brawijaya di Jember, Jawa Timur. Tahun 1963, dia menjadi instruktur di almamaternya. Setelahnya dia masuk Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Dengan pangkat masih letnan dua ketika masuk RPKAD, dia ditunjuk jadi komandan kompi karena RPKAD kekurangan perwira. Buku Kabinet Pembangunan VI: Riwayat Para Menteri (1993: 36) yang disusun Ateng Winarno menyebut, Edi jadi komandan kompi di Batalyon I RPKAD. Komandan Batalyon I RPKAD ketika Edi baru bergabung adalah Mayor Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani. Komandan RPKAD sendiri punya nama mirip dengannya, meski beda penulisan: Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.
Pada Agustus 1965, Edi dan kompinya dikirim ke Manokwari untuk menumpas gerakan Papua merdeka selama berbulan-bulan.
Selain di RPKAD—yang belakangan jadi Kopassus—Edi berkarier pula di Kostrad. Dia juga sempat menjadi Panglima Kodam di Sumatra bagian utara (Bukit Barisan) dari 1981 hingga 1983 dan di Jawa Barat (Siliwangi) dari 1983 hingga 1985. Setelah melalui jabatan Asisten Operasi Kasum ABRI dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), Edi ditunjuk sebagai KSAD. Letnan Jenderal Try Sutrisno, KSAD sebelumnya, diangkat menjadi Panglima ABRI.
Back to Basic
Saat menjadi KSAD, seperti dicatat Kiki Syahnakri dalam Aku Hanya Tentara (2008), “[Edi] meninggalkan catatan penting bagi sejarah Angkatan Darat, agar TNI kembali ke dasar. Back to basic.” Edi mau tentara profesional dan tetap berkarakter sebagai tentara rakyat (hlm. 11).
Menurut Budi Susanto & Made Tony Supriatma dalam ABRI: Siasat Kebudayaan 1945-1995 (1995), selama puluhan tahun ABRI merasa memiliki keabsahan untuk hadir dalam panggung politik. Sudah umum ABRI mengklaim, “berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan kembali ke rakyat” (hlm. 40).
Edi Sudradjat mengatakan, Back to Basic (yang disingkat "betebe") adalah “meningkatkan dan memelihara kemampuan profesional perorangan prajurit sekaligus meningkatkan mutu dan sikap kejuangan” (hlm. 145).
Back to Basic versi Edi bukanlah konsep ABRI kembali ke barak; sebab dalam sejarah ABRI, dari awal kelahirannya, ABRI atau TNI tidak punya barak. Baru belakangan TNI punya asrama, yang di antaranya bekas tangsi KNIL atau bikin sendiri.
Di masa Revolusi, masih menurut Budi Susanto dan Made Tony, mereka tinggal di tepas batur (pastur) atau serambi rumah orang. Jadi, betebe memang bukan lips service, melainkan komitmen ABRI meningkatkan kualitas mereka. Tapi, di sisi lain, betebe bukan suatu pemikiran agar ABRI tidak ikut serta dalam pemerintahan dan perpolitikan nasional.
Edi menjadi KSAD hingga 1993. Dia lagi-lagi menggantikan Try Sutrisno, kali ini sebagai Panglima ABRI. Try Sutrisno pada tahun itu diangkat Soeharto menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Tak lama kemudian, Edi Sudradjat menggantikan pula kawan lama Try Sutrisno, Benny Moerdani, menjadi Menteri Pertahanan. Dua jabatan itu dirangkap sekitar tiga bulan. Kemudian, adik tingkatnya, Feisal Tanjung, mengisi jabatan Panglima ABRI. Selanjutnya Edi menjadi Menteri Pertahanan saja.
“Pada waktu mantan Pangab Edi Sudrajat baru diangkat tempo hari, beliau menjanjikan akan memberikan otonomi lebih besar kepada polisi,” tulis Sutjipto Rahardjo dalam Membangun polisi sipil: perspektif hukum, sosial, dan kemasyarakatan (2007: 100).
Setelah Edi tak jadi Pangab lagi dan Soeharto lengser, polisi kemudian terpisah dari militer. ABRI bubar, hanya ada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan TNI.
Orang Benny Terakhir
Menurut Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD(2004: 81), di bulan-bulan menjadi Panglima ABRI, Edi Sudradjat mengadakan mutase besar-besaran pada 12 hingga 21 Mei 1993.Mayor Jenderal R. Hartono, misalnya, ditempatkan pada "kotak mati" sebagai Komandan Sesko ABRI. Hartono yang asal Jawa Timur digolongkan dari kalangan santri. Ia dianggap sebagai ABRI Hijau, seperti Feisal Tanjung. Sementara itu, Edi Sudradjat, yang sebetulnya beragama Islam, digolongkan sebagai ABRI Merah-Putih dan kerap dianggap sebagai orangnya Benny.
Waktu Edi diangkat jadi panglima, menurutSalim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 154), adalah era ketika jalan karier orang-orangnya Benny Moerdani “terganggu” alias tidak bisa menduduki jabatan penting di ABRI. Edi Sudradjat adalah orang Benny terakhir di posisi Panglima ABRI.
Edi hanya 3 bulan jadi panglima. Dia digantikan adik kelasnya di Akademi Militer Nasional Magelang, yang juga sama-sama dinas di Kopassus, Feisal Tanjung. Junior Edi ini dianggap sebagai bagian dari ABRI Hijau dan mengaku karier militernya terhambat dengan lama jadi komandan Seskoad Bandung. Selanjutnya Edi hanya menjadi Menteri Pertahanan Keamanan. Keduanya mengisi jabatan tersebut selama lima tahun hingga kurun akhir Orde Baru.
Pada 1998, jabatan yang dipegang Edi dan Feisal akhirnya dipegang oleh satu orang, yakni Jenderal Wiranto—lulusan AMN yang usianya terpaut jauh di bawah mereka berdua.
Edi Sudradjat dianggap jenderal yang dekat dengan pengusaha. Waktu menjadi Panglima Siliwangi, Edi sudah kenal dengan seorang pengusaha besar Indonesia bernama Tommy Winata. Gatot Nurmantyo bahkan kenal Tommy setelah diperkenalkan Edi Sudradjat. “Sejarahnya yang saya dengar, Tomy Winata dianggap orang sebagai anak angkat Jenderal Edi Sudradjat,” tulis Adnan Buyung Nasution dalam Pergulatan Tanpa Henti III (2004: 492).
Setelah 1998, Edi Sudradjat dikenal sebagai politisi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), di mana dia pernah jadi Ketua Umum-nya. Selain Edi, Try Sutrisno dan A.M. Hendropriyono ada di partai itu. Sayangnya, PKPI bernasib sama dengan partai bekingan tentara di masa lalu, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI): tak pernah jadi partai besar.
==========
Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan