tirto.id - Hari ulang tahunnya yang jatuh tiap 17 Juni memang belum tiba. Tapi, kado ulang tahunnya yang ke-54 datang lebih cepat. Pada 21 Mei 1993, laki-laki pendiam kelahiran Tarutung 1939 ini mendapat kado ulang tahun terbesar. Tak tanggung-tanggung, kado itu datang dari Presiden Republik Indonesia: ia diangkat menjadi orang nomor satu di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) setelah dirinya bertugas lebih dari tiga dekade di Angkatan Darat.
Feisal Edno Tanjung, begitu nama lengkapnya, adalah orang Batak kedua yang jadi Panglima ABRI (Pangab) di masa Orde Baru setelah Maraden Panggabean.
Buku Presiden RI Ke-II Jenderal Besar HM Soeharto Dalam Berita XV: 1993 (2008:629-632) rilisan Antara, mendokumentasikan artikel ketika Feisal dilantik dari harian Suara Karya (25/5/1993) dan Merdeka (25/5/1993). Pada upacara pelantikan, Presiden Soeharto berpesan agar Feisal melanjutkan program yang sudah berjalan dan meneruskan konsolidasi ABRI.
Di hadapan wartawan, Feisal Tanjung berjanji untuk meningkatkan mutu semua anggota ABRI. Dia juga menjelaskan seperti apa posisi ABRI dalam sosial-politik.
“Jika situasi dan kondisi sudah sesuai dengan konstitusi, ya ABRI mendorong. Tapi kalau belum menuju pada itu semua, ABRI harus berada di tengah dan di depan, sebab ABRI bertanggungjawab penuh terhadap kemajuan bangsa dan negara,” tegas Feisal.
Ketika menjabat, Feisal Tanjung dihadapkan pada masalah perbatasan dengan Malaysia, yakni soal Pulau Ligitan dan Sipadan. Di dua pulau tersebut, ada investasi Malaysia yang masuk.
Salah satu sejarah yang tercatat dari zaman Feisal Tanjung adalah diadakannya pangkat kehormatan Jenderal Bintang Lima. Itu bukan untuknya sendiri. Bintang di pundak Feisal cuma empat dan sudah yang paling tinggi di ABRI. Bintang Lima itu untuk Jenderal Sudirman, Jenderal A.H. Nasution, dan pastinya Jenderal Soeharto.
Pemberian pangkat jenderal bintang lima itu diadakan pada 5 Oktober 1993, di acara peringatan HUT ABRI ke-48. Kala itu, Feisal Tanjung ikut menyambut Abdul Haris Nasution yang akan diberi pangkat kehormatan tersebut.
Dalam perayaan itu, Soeharto menyebut ABRI sudah didominasi oleh “anggota-anggota baru yang bergelombang memasuki dinas militer setelah pertengahan tahun 60an” (Kompas, 6/10/1993). Soeharto juga menyebut bahwa “ABRI bukan kekuatan yang berdiri sendiri.”
Representasi ABRI Hijau
Era 1990-an adalah masa ketika Soeharto berusaha mengurangi ketergantungannya kepada ABRI. Kemungkinan besar, ini dilakukan karena omongan kritis jenderal-jenderalnya. Era 1990-an juga merupakan masa kemesraan Soeharto dengan Islam politik dan zaman emas ABRI Hijau.
Sebagai Pangab, Feisal adalah orang yang loyal kepada Soeharto. “Bagi Feisal, terpilihnya kembali Soeharto untuk ketujuh kalinya sebagai presiden, sudah diduga sebelumnya,” tulis Solemanto dan Aziz Ahmadi dalam Feisal Tanjung, terbaik untuk rakyat terbaik bagi ABRI (1999: 613).
Sebelum muncul gejolak besar anti-Soeharto, tentu apa yang terlihat di mata Feisal Tanjung adalah banyaknya elemen pendukung Soeharto yang terus menjabat. “la lebih terkesan dengan terpilihnya BJ Habibie sebagai wakil presiden, lantaran datang dari warga sipil,” tulis Solemanto dan Aziz Ahmadi.
Feisal Tanjung sudah berdinas di ABRI setelah lulus Akademi Militer Nasional 1961. Setelah bertugas di Kodam Pattimura, dia bertugas di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
“Dulu di tahun 1960an yang namanya Kompi Tanjung itu kompi legendaris,” tutur Z.A. Maulani dalam Melaksanakan kewajiban Kepada Tuhan dan Tanah Air: Memoar Seorang Prajurit TNI (2005: 257).
Dia terlibat pembersihan PKI di Jawa dan pernah memimpin Operasi Lembah X di Papua. Kariernya dihabiskan di Kostrad, RPKAD (kini Kopassus), lalu Pusat Kesenjataan Infanteri. Dia pernah jadi Panglima Kodam di Kalimantan (Tanjungpura). Dari Tanjungpura, Feisal Tanjung kemudian ditunjuk sebagai Komandan Seskoad pada 1988 dan cukup lama menempati posisi itu.
Feisal Tanjung menyandang pangkat mayor jenderal selama 7 tahun. Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 155) mencatat, Feisal Tanjung mengaku kariernya terhambat oleh “teman-teman Pak Benny.” Feisal Tanjung termasuk perwira yang mengagumi Panglima ABRI M. Jusuf.
Menurut Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004: 76), Feisal Tanjung tergolong dalam kubu ABRI Hijau. Di kubu itu ada pula R. Hartono. ABRI Hijau adalah golongan yang merasa diri terpinggirkan di zaman kepanglimaan Benny Moerdani. Benny dan pengikutnya dianggap sebagai ABRI Merah-Putih. Salah satu pengikutnya yang terkenal adalah Edy Sudradjat.
Tenggelam di Seskoad, lalu Moncer
Sebelum 1990, orang-orang yang dianggap ABRI Merah-Putih berjaya di posisi penting kemiliteran. Kelompok ABRI Merah-Putih yang dicap "orang-orangnya Benny" itu, menurut Salim Said, akhirnya dibersihkan oleh Soeharto yang tidak lagi percaya pada Benny (hlm. 154).
Kivlan Zen menyebut adanya upaya menjatuhkan Soeharto dengan isu suksesi yang "mulai didengungkan Jenderal Benny Moerdani di Hotel Ambarukmo Yogyakarta pada 1989 bersamaan dengan rencana pembentukan Yayasan Panglima Sudirman" (hlm. 77). Benny dan kelompoknya pun menuju kesuraman dan jadi sasaran pembersihan di ABRI. ABRI Merah-Putih surut dan giliran ABRI Hijau berkibar.
Peristiwa Santa Cruz Dili 1991 adalah jalan pembersihan itu. Dili, ibu kota provinsi Timor Timur, termasuk dalam wewenang Mayor Jenderal Sintong Panjaitan selaku Panglima Kodam Udayana. Sintong dianggap bagian dari kubu ABRI Merah-Putih. Sintong yang junior Feisal Tanjung ini akhirnya disidangkan.
Atas perintah Soeharto, sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dipimpin Mayor Jenderal Feisal Tanjung digelar. Masih menurut Kivlan, posisi Feisal Tanjung sebagai Ketua DKP membuatnya dikenal oleh Soeharto. Sementara itu, karier Sintong, yang pernah sukses dalam pembebasan sandera Woyla, makin suram (hlm. 77).
“Terlalu lama ‘terpendam’ di Bandung sebagai komandan Seskoad, nama Feisal memang nyaris tak terdengar, dan karena itu lolos dari ‘radar pengamatan’ Soeharto,” tulis Salim Said (hlm. 153).
B.J. Habibie, Azwar Anaz, dan Prabowo Subianto dianggap sebagai orang yang membuat Feisal Tanjung ditarik dari Bandung. Banyak yang memperkirakan dia akan pensiun tanpa pernah jadi Panglima ABRI. Mula-mula dia diberi posisi Kepala Staf Umum ABRI. Tak lama jadilah dia Panglima ABRI.
Tongkat komando Pangab baru lepas dari tangan Feisal Tanjung pada 20 Februari 1998. Itu tongkat diserahkan kepada Jenderal Wiranto, mantan ajudan daripada Soeharto.
Merah-Putih atau Hijaukah Wiranto?
Nyatanya dia adalah kader Soeharto. Dia bernasib seperti Try Sutrisno yang pernah jadi ajudan presiden.
Era kepanglimaan Feisal Tanjung adalah masa ketika Soeharto tak sepenuhnya bergantung kepada ABRI. Soeharto sudah melirik kelompok Islam dan berharap mereka mau jadi kendaraan politiknya. Tak heran, saat itu Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan jilbab bisa hidup di Indonesia.
Setelah lepas dari posisi Pangab, Feisal Tanjung diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) dalam kabinet terakhir Soeharto, Kabinet Pembangunan VII (14 Maret 1998-21 Mei 1998). Setelah tak menjabat lagi, nama Feisal dikait-kaitkan pula dengan kasus orang hilang jelang lengsernya Soeharto.
==========
Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan