tirto.id - Di kalangan prajurit militer Indonesia, Jenderal M. Jusuf barangkali panglima paling populer setelah Jenderal Sudirman. Laki-laki ini aslinya bernama Andi Mo'mang alias Andi Muhammad Jusuf Amir.
Dia enggan memakai gelar bangsawan Bugisnya, Andi, dan membiarkan orang-orang mengenalnya sebagai M. Jusuf saja. Dia juga membiarkan dirinya dijadikan Panglima ABRI, meski sudah 14 tahun berkarier di luar jabatan militer dan sudah tidak yakin jadi petinggi ABRI. Dia jadi panglima dari 1978 hingga 1983.
M. Jusuf adalah panglima yang disayangi prajurit dan dikenal masyarakat. Popularitasnya melejit, meski tak sempat menanamkan pengaruh besar di tubuh militer sebelum jadi Panglima ABRI. Menurut catatan Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 49), “Soeharto dikabarkan mulai agak cemas. Jusuf sadar keadaan itu.”
Kepopuleran M. Jusuf itu sampai ke kuping Soeharto. Disebut beberapa pihak, itu tak lain berkat laporan jenderal intelijen. “Ketua G1/Hankam merangkap Asisten Intelijen ABRI Letnan Jenderal Benny Moerdani diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Jusuf kepada Soeharto […] Letjen Benny Moerdani juga melaporkan tindak-tanduk Jenderal M Jusuf kepada Soeharto, yang menyebutkan bahwa Jusuf menggalang kekuatan internal untuk menjadi presiden RI,” tulis Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004: 67).
Jusuf tahu dan bahkan tak cemas jika dirinya dimata-matai terus-menerus. Dia berusaha bersikap biasa saja pada Moerdani. Bagaimana pun, memata-matai adalah tugas Moerdani sebagai Asisten Intelijen ABRI. Tiap ada masalah sensitif, seperti ditulis Salim Said, Jusuf selalu bilang ke Benny, “Kau laporkan ini kepada Pak Harto, Ben” (hlm. 49).
Jenderal M. Jusuf bukan orang yang selalu mengikuti kemauan Soeharto. Ketika Soeharto ingin ABRI mendukung Golkar, Jusuf menghendaki ABRI berdiri di atas semua golongan. Jusuf juga yakin sekali bahwa Soeharto sangat percaya pada Moerdani. Seperti ditulis Salim Said, “konon, Jusuf pulalah yang menyarankan agar Benny saja yang diangkat menjadi penggantinya.”
Itu memang lebih baik daripada Benny terus memata-matainya sebagai panglima. Jusuf pastinya tahu, Benny memata-matainya atas kemauan orang yang lebih berkuasa daripada Benny.
Benny sendiri, meski punya pendukung di Angkatan Darat, tergolong orang yang dibenci sebagian tentara. Di antaranya adalah perwira-perwira muda yang sudah menjadi komandan batalyon. Mereka tidak suka ketika ada isu Benny Moerdani akan dijadikan Panglima ABRI menggantikan M Jusuf. Mereka yang anti Benny ini hormat dan tahu betapa potensialnya M. Jusuf.
Menolak Keinginan Kelompok Anti-Benny
Menurut Kivlan Zen, ada konflik antara Moerdani dengan M. Jusuf. "Puncak konflik antara M Jusuf dengan Letnan Jenderal Benny Moerdani terjadi ketika pada 30 Maret 1981, Jenderal M Jusuf melakukan commanders call ABRI di Ambon. Dalam acara tersebut, Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon. Bertepatan dengan acara tersebut terjadi peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok oleh Kelompok Imron yang bersimpati pada Perjuangan Islam. Letjen Benny Moerdani langsung mengatasi pembajakan itu sendiri tanpa kendali dari Jenderal M Jusuf" (hlm. 68).
Dalam acara di Ambon itu, menurut Atmadji Soemarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006), Benny sebetulnya punya sesinya sendiri, yaitu menyampaikan analisis dan evaluasi situasi keamanan nasional. Setelah dapat kabar pembajakan, M. Jusuf memerintahkan Benny untuk naik pesawat yang biasa dipakainya agar bisa terbang ke Makassar. Dari Makassar, Benny dijemput jet milik Pelita agar bisa ke Jakarta (hlm. 303-304).
Mereka yang tidak suka kepada Benny lalu menghubungi M. Jusuf ketika akan diberhentikan sebagai Panglima ABRI. Parahnya lagi, sudah sampai isu di kelompok anti-Benny bahwa Benny adalah pengganti daripada M. Jusuf. Para perwira muda itu sulit menerima kenyataan bahwa orang yang dibenci akan jadi bos besar mereka.
Akhirnya, lewat seorang perwira paling berpengaruh di antara mereka, sebuah surat kaleng bertanggal 26 Februari 1983 dilayangkan kepada M. Jusuf. Isi surat kaleng itu mencirikan si pengirim adalah orang bersemangat tinggi dan kebelet untuk melakukan gerakan yang dianggap sangat penting dan harus segera dilakukan. Bunyi surat kaleng itu adalah:
Bapak Yang Tercinta,
Saat ini adalah detik-detik bersejarah. Bapak terpanggil untuk menyelamatkan negara.
Bapak jangan goyah. Demi TNI kita yang tercinta kalau berdiri teguh sekarang—pasti menang. Dukungan cukup kuat. Kami siap membela Kepentingan Bangsa di atas segala hal lain. 1945, 1948, 1965 dan sekarang!
Kami ingin menghadap langsung untuk laporan. Tetapi Bapak dalam keadaan selalu diamati! Jangan percaya siapa saja termasuk SPRI, Walpri, Pembantu Rumah Tangga, supir. Semua ruangan Bapak di kantor dan rumah disadap. Semua telepon disadap. Semua gerakan Bapak diikuti. Kalau Bapak mau menerima kami nanti kita bisa atur pertemuan. Kalau bisa segera.
Pak Yogi juga diamati. Semua—Pak Sanif, Himawan dll. Jangan bicara terbuka di ruangan mana pun.
Mohon jawaban segera lisan, surat ini mohon segera dibakar. Kalau Bapak setuju bilang saja—Okay, atur saja. Kami akan hubungi lagi.
Demi TNI tercinta.
Surat kaleng itu memang tanpa nama pengirim, tapi Jusuf tahu siapa pengirimnya. Meski ada permohonan agar surat itu dibakar, Jusuf memilih untuk menyimpan (tampaknya juga mengarsipkannya). Salinan surat itu kemudian dimuat dalam biografi M. Jusuf karya Atmadji Sumarkidjo.
M. Jusuf tetap penyimpan rahasia yang baik. Paling tidak, nama asli si pengirim hanya diidentifikasi dengan nama Mayor Anu.
“Setelah membaca surat itu, M Jusuf langsung memanggil perwira itu [Mayor Anu], memintanya untuk mengatur sebuah pertemuan di daerah Jakarta Timur, komplek satuan yang cukup besar dan sering ia kunjungi,” tulis Atmadji Sumarkijo (hlm. 271).
M. Jusuf merasa surat itu dikirim Mayor Anu setelah tahu dirinya akan diganti.
Rumah M. Jusuf pun disatroni Mayor Anu. Tak lupa segala sudut ruangan diperiksa si Mayor Anu dengan cermat. Memastikan tak ada alat penyadap di sana. Mobil M. Jusuf disiapkan tanpa membawa pengawal dan supir. M. Jusuf lalu mengemudikan sendiri mobilnya.
“Kau ikuti aku dari belakang saja,” perintah M. Jusuf pada Mayor Anu.
Sampai ke tempat tujuan, Panglima menemui beberapa perwira menengah yang dikumpulkan Mayor Anu. Mereka kecewa dengan rencana pergantian panglima. Di situ, M. Jusuf berusaha meredam gejolak para perwira menengah yang usianya tergolong masih muda itu. Ia meminta mereka untuk tetap menjaga disiplin.
“Sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes, memberontak atau membangkang perintah,” tegasnya pada Mayor Anu dan kawan-kawan.
M. Jusuf tidak mendukung gerakan para perwira menengah yang masih muda-muda itu. Jika M. Jusuf mau, Benny Moerdani bisa saja jadi sasaran penculikan seperti Letnan Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan di tahun 1965. Tapi Jusuf lebih memilih membiarkan Benny jadi Panglima ABRI menggantikannya.
Membela Benny
Maka demikianlah, Benny akhirnya jadi panglima menggantikan M. Jusuf. Mayor Anu dan konco-konconya harus menerima kenyataan. Moerdani tak cuma jadi Panglima ABRI, bahkan diserahi wewenang yang sebelumnya dipegang Laksamana Soedomo, yaitu jabatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Jabatan itu tak diberikan Soeharto kepada M. Jusuf.
Mayor Anu dan kawan-kawan tentu harus menderita dalam menjadi saksi berkuasanya Benny di ABRI dari 1983 hingga 1988. Mereka juga mesti menahan perasaan ketika melihat foto Benny sebagai Menteri Pertahanan dan keamanan dari 1988 hingga 1993.
Setelah M. Jusuf tak jadi panglima lagi, menurut Atmadji Soemarkidjo, hubungannya dengan Benny tak bisa dibilang buruk. M. Jusuf diberi akses mudah untuk menghubungi Benny. Bahkan, tiap ada kritik kepada Benny di masa tugasnya pada era Soeharto, dia berusaha memberi pengertian yang terkesan membela Benny. Misalnya, “Ya betul, tetapi itu diperintahkan oleh Presiden” (hlm. 298-307).
Jelas adanya jika Benny, meski punya kekuatan di masa Orde Baru, adalah orang yang loyal kepada Presiden Soeharto. Benny selalu ikut perintah, termasuk dalam memata-matai dan menganalisis kepopuleran M. Jusuf. Di masa Orde Baru, dalam pikiran dan tindakan Benny Moerdani: semua demi Pak Harto.
- Perang Saudara Nasution vs Lubis Panaskan Angkatan Darat
- M. Jasin Menggebuk Bustanil Arifin Gara-Gara Putrinya Dilecehkan
- Kuasa Besar Ali Moertopo Picu Perlawanan Jenderal-Jenderal Intel
- Prabowo vs Benny Moerdani: Perseteruan Menantu & Orang Kepercayaan
- ABRI Merah-Putih vs ABRI Hijau: Sentimen Agama di Tubuh Tentara
==========
Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan