tirto.id - Dari bandara lawas Talang Betutu, dekat Bandara Sultan Mahmud Badaruddin saat ini, Garuda DC-9 Woyla dengan nomor penerbangan 206 hendak bertolak menuju Bandara Polonia, Medan. Sabtu, 28 Maret 1981, pesawat yang berangkat dari Jakarta itu transit di Kota Palembang.
Di antara para penumpang itu ada Wendy Muhammad Zein dan kawan-kawannya. Mereka terlibat penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, dua minggu sebelumnya.
Sekitar pukul 10.10, setelah melewati Pekanbaru, pesawat Woyla dibajak. Para pembajak memaksa agar Woyla, yang mengangkut 48 penumpang, diterbangkan ke Srilanka.
Kapten pilot Herman Rante mengatakan bahwa bahan bakar tak akan cukup jika Woyla harus melintasi bagian utara Samudera Hindia. Para pembajak menerima penjelasan tersebut.
“Melihat kenyataan itu akhirnya Mahrizal (salah seorang pembajak) setuju terbang ke Penang,” demikian keterangan dalam Memori Jenderal Yoga (1990: 307), yang disusun B. Wiwoho dan Bandjar Chaeruddin.
"Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia," kata Mahrizal.
Para pembajak itu terlihat profesional. Mereka menuntut beberapa hal, di antaranya: pembebasan 80 tahanan yang disebut anggota dari Komando Jihad; uang tebusan 1,5 juta dolar AS; pengusiran orang-orang Israel dari Indonesia; dan pencopotan Adam Malik sebagai wakil presiden.
Ketika pesawat mengisi bahan bakar di Bandara Bayan Lepas, Penang, para pembajak meminta peta dan makan. Seorang nenek berusia 76 tahun bernama Hulda Panjaitan Boru Tobing, yang terus-terusan menangis, diturunkan di Penang. Dari Penang, para pembajak memaksa pilot untuk terbang menuju Bandara Don Mueang, Bangkok.
Di Cijantung, Jakarta Timur, markas besar Kopassandha (nama saat itu untuk Kopassus), Letkol Sintong Panjaitan tengah memulihkan kakinya yang cedera saat menerima kabar pembajakan pesawat Woyla.
Sintong saat itu menjabat Asisten Operasi Kopassandha. Perwira kelahiran Tapanuli Utara berusia 41 tahun ini menerima telepon dari Komandan Jenderal Kopassandha Brigjen Yogie Suwardi Memed.
Saat itu, elite tempur Angkatan Darat tersebut belum punya kesatuan penanggulangan teror, atau lebih dikenal Detasemen Khusus 81 (Sat-81). Kesatuan ini baru dibentuk setahun berikutnya, diisi para prajurit terbaik dari seluruh personel TNI.
“Sintong, kau saya tunjuk memimpin operasi pembebasan sandera," ujar Brigjen Yogie, seperti tertulis dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 260-262). "Cari anggotamu dan rencanakan dengan baik.”
Sintong pun segera menyiapkan anggotanya. Ia mengerahkan 30 personel. Seandainya saat itu Kapten Luhut Panjaitan (lulusan Akabri 1970) tidak sedang latihan anti-teror di Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9/ Densus Anti-teror) di Jerman Barat, sangat mungkin Panjaitan yang lebih junior ini diajak Panjaitan senior ke tim penyergap.
Tapi pasukan di bawah Sintong tak langsung naik pesawat. Mereka latihan dulu di Bandara Kemayoran.
“Dalam latihan itu, teknisi dari Garuda mengajari kami cara memasuki pesawat saat tertutup, sehingga kami mengetahui dari pintu-pintu mana kami bisa masuk. Selain itu juga cara-cara membuka pesawat," ujar Subagyo Hadi Siswoyo dalam Subagyo H.S.: Kasad dari Piyungan (2004: 83-84), yang disusun Carmelia Sukmawati.
Pasukan pembebasan sandera itu tak memakai senapan serbu M-16 buatan Colt Amerika , tapi senapan mesin ringan MP5 buatan Heckler & Koch dari Jerman Barat. Sintong selalu ragu dengan senjata baru, sebelum ia mencobanya.
Ia ingat pengalaman pertama kali memakai AR-15 (versi sipil M-16) yang macet sewaktu pembersihan komunis di Jawa Tengah. Ia khawatir MP5 yang baru dipakai itu macet. Setelah berdebat ringan dengan Letjen L.B. "Benny" Moerdani (saat itu Asisten Intelijen Hankam sekaligus Kepala BAIS), Sintong dan pasukannya diizinkan mencoba menembakkan senjata itu.
Terbuktilah, senapan anti-teror itu macet. Mereka harus meminta bawahannya agar mengambil peluru-peluru baru dari Tebet. Setelah peluru-peluru itu tiba, senapan MP5 dan pelurunya dicoba lagi dan sukses. Maka, pesawat DC-10 Sumatera siap membawa mereka ke Bangkok setelah dua hari mereka berlatih.
Operasi Penyergapan
Dinihari, 30 Maret 1981, DC-10 Sumatera mendarat di Don Mueang. Sebelum menyerbu, pasukan yang disiapkan Sintong Panjaitan itu berlatih lagi, dengan pesawat DC-9 Digul milik Garuda. Semula pasukan hendak menyerbu lewat pintu kiri depan dan belakang, tetapi Sintong mengubahnya lewat pintu darurat dekat sayap.
Hendro Subroto, yang menyusun buku biografi Sintong Panjaitan (2009: 280-283), mengisahkan kronologi penyergapan pesawat Woyla.
Subtim perintis 1 disiapkan menyerbu lewat pintu kiri pesawat, yang dipimpin oleh Kapten Untung Suroso. Dua orang disiapkan untuk membuka pintu dan menahan karet darurat dekat pintu pesawat. Sesudahnya regu ini menyergap ke kokpit.
Subtim perintis 2 dikerahkan untuk mendobrak pintu darurat sebelah kiri, yang dipimpin oleh Letnan Dua Rusmin AT. Dua personel akan memegang tangga. Subtim perintis 3 datang dari tangga belakang, yang dipimpin oleh calon perwira (Capa) Ahmad Kirang. Ia akan diikuti dua penyergap lain, disertai seorang personel yang membuka tangga hidrolik pesawat.
Subtim perintis 4 bertugas mengevakuasi sandera dan korban terluka. Terakhir, subtim perintis 5 akan mengamankan dan mengawasi area operasi. Mayor Subagyo H.S. disiapkan siaga dengan senapan M16A1. Ia akan menembak ban pesawat jika pesawat bergerak pergi.
Hari sudah malam setelah anak buah Sintong itu berlatih. Sintong, yang melihat anak buahnya kelelahan, berkata tegas: “Matikan lampu, terus tidur!” Setelah satu jam, tepat pukul satu dinihari, 31 Maret 1981, pasukannya diminta terjaga.
“Lakukan persiapan," kata Sintong. "Kita jadi melaksanakan penyerbuan.”
Semula rencana penyergapan pukul 04.30 pagi, tapi dimajukan pukul 03.00 waktu setempat. Jam segitu diperkirakan para pembajak tertidur.
Dengan VW Combi, pasukan penyergap menuju arah pesawat. Mereka berjalan santai, tanpa mengendap-endap, dari arah belakang pesawat alias sudut mati pandang bagi pembajak. "Like a Sunday picnic," kata wartawan Thailand—bak piknik akhir pekan, mereka bilang.
Tanpa halangan, pesawat bisa dicapai diam-diam. Sewaktu Kapten Untung Suroso melapor pasukannya siap, saat itu masih pukul 02.40. Sintong pun segera memberi perintah lewat walkie talkie: “Masuk! Masuk!”
Lima menit kemudian, pintu kiri depan pesawat dibuka dan karet bisa ditahan. Kemudian dua penyerbu masuk. Setelahnya, giliran subtim lain memasuki pesawat lewat pintu darurat di bagian tengah kabin. Lalu disusul pintu belakang. Dalam hitungan menit, pembajak berhasil dilumpuhkan. Namun, seorang personel Kopassandha Capa Ahmad Kirang dan kapten pilot Herman Ranthe terbunuh.
Pihak intel militer Indonesia mengabarkan kepada dunia: pembajakan Woyla berhasil dilumpuhkan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam