tirto.id - Dalam pembebasan sandera, Letnan Jenderal L.B. "Benny" Moerdani turun langsung ke lapangan. Padahal sudah ada Letnan Kolonel Sintong Panjaitan dari Kopassandha yang memimpin pasukan penyergap. Mengatasi lima pembajak pesawat Woyla sebenarnya cukup dipimpin seorang mayor dengan dibantu puluhan anggota pasukan terlatih.
Jadi, keterlibatan Sintong, sebagai perwira tertinggi dalam pasukan itu, sudah lebih dari cukup. Tak perlu seorang jenderal yang turun langsung. Jika pun ada jenderal di situ, seharusnya cukup memantau dari kejauhan.
Benny dengan pakaian safari ikut berdesak-desakan dengan pasukan pembebas Kopassandha di dalam VW Combi menuju pesawat DC-9 Woyla, yang sedang parkir di avron Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Tak hanya itu, Benny menyandang senjata. Meski begitu, tetap saja, pasukan yang menyerbu ke dalam pesawat sudah diatur oleh Sintong.
Operasi pada akhir Maret 1981 itu sukses. Personel yang terlibat diganjar penghargaan dan kenaikan pangkat luar biasa. Zaman itu, Panglima ABRI dijabat Jenderal Muhammad Jusuf. Ia menduduki kursi panglima sejak 28 Maret 1978.
Ada yang menuding jika pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla nomor penerbangan 206 adalah "rekayasa" dari staf-staf Benny, yang saat itu menjabat Asisten Intelijen Hankam sekaligus Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Buku Pergulatan Tanpa Henti Volume 3 (2004), yang disusun Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan, menyebut bahwa dugaan atas rekayasa tersebut. Buyung menyebut reyakasa ini dilakukan oleh "intel di zaman rezim Soeharto."
Menurut pengakuan Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004), Letjen Benny Moerdani sebagai Asintel dan Kepala BAIS "sengaja menggalang kekuatan ekstrem Islam" untuk melakukan aksi pembajakan. (hlm. 334)
Buyung Nasution dikenal sebagai pembela HAM terkemuka dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum. Sementara Kivlan adalah kawan Prabowo Subianto, yang dikenal di kalangan internal militer memang tidak suka terhadap Benny Moerdani.
Ketika pembajakan berlangsung, Benny seharusnya di Ambon. Ada rapat para jenderal di sana. Kivlan Zen menyatakan, "Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon [...] langsung mengatasi pembajakan ini sendiri.” (hlm. 68)
Benar-tidaknya tuduhan kepada Benny ini dibantah oleh Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf. Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007) menyebut bahwa Jusuf membela Benny.
"Bukan dia yang bikin. Kalau dia yang bikin, [...] saya pecat dia hari ini juga," kata Jusuf, sambil menoleh kepada Benny. Saat itu Benny hanya diam. Pour juga menulis bahwa Benny bukan tipe "orang yang senang merancang sebuah rekayasa.” (hlm. 229)
Karier Melejit Benny Usai Sukses Membebaskan Sandera
Pada 1981, Benny, yang masuk ketentaraan dengan pangkat pembantu letnan, sudah berkarier sekitar 29 tahun. Sebelum jadi perwira intelijen, ia adalah perwira di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), cikal bakal Kopassandha yang saat ini bernama Komando Pasukan Khusus alias Kopassus. Jabatan komandan terakhir yang dienyam Benny adalah komandan batalyon di korps baret merah.
Setelah itu, ia menjadi perwira operasi di Kostrad, tempat Ali Moertopo menampungnya. Belakangan, Moertopo adalah seorang jenderal menjadi asisten pribadi Presiden Soeharto serta Wakil Ketua Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Moertopo disebut-sebut seorang jenderal intelijen yang dekat dengan kelompok Islam, yang berseberangan dengan pemerintah. Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 146-145), Ken Conboy menyebut bahwa Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Moertopo dalam pemberantasan komunis di Indonesia “bersinergi dengan kaum ekstremis berkedok agama,” di antaranya adalah kelompok bekas Darul Islam (DI).
Sekitar 1968, ada juga kelompok yang disebut Komando Jihad. “Yang menangani proyek Komando Jihad ini adalah Pitut Soeharto,” tulis Conboy.
Kelompok-kelompok macam ini, yang diarahkan melawan musuh negara (baca: orang-orang komunis), tak lepas dari reputasi Moertopo sebagai “seseorang yang berpikir di luar kebiasaan normal.”
Ketika pembajakan pesawat Woyla, Moertopo tak lagi menjadi orang penting di intelijen; ia menjabat Menteri Penerangan sejak 1978. Sementara Benny adalah perwira penting dalam intelijen.
Pada 1981, usia Benny menjelang 49 tahun. Kurang dari 10 tahun Benny memasuki usia pensiun. Namun, pembajakan Woyla telah mengangkat namanya.
Ia adalah kepala intel dan berada di lokasi pembajakan pesawat di Don Mueang. Orang-orang yang terlibat pembajakan Woyla, apa pun agama dan motifnya, adalah "musuh negara" bagi Benny. Teorinya, Soeharto yang demen stabilitas politik pasti setuju saja dengan Benny. Setelahnya, bintang Benny mengilap.
“Benny Moerdani, seperti umum diketahui, tidak punya pengalaman teritorial. Tidak punya pengalaman staf, tanpa pengalaman sebagai pendidik dan juga tidak pernah mengikuti Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad)," tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 80). "Nyaris seluruh pengalamannya berlangsung di pasukan khusus dan intelijen.”
Dari situlah terlihat betapa kecil kans Benny untuk menjadi orang nomor satu di ABRI, sebutan saat itu TNI.
Apa pun alasannya, di Indonesia-nya Orde Baru, perintah Soeharto sulit dihentikan. Jika Soeharto sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Ketika Soemitro tak setuju Benny dijadikan Panglima ABRI lantaran belum melalui jabatan teritorial, Soeharto hanya bilang ke Soemitro: “Tidak ada waktu lagi.”
Begitulah yang terjadi. Benny akhirnya menjadi orang Katolik Indonesia berdarah Jerman pertama yang menduduki kursi Panglima ABRI. Beberapa jenderal lain, seperti Himawan Soetanto—yang secara usia lebih senior dan di mata Soemitro pernah menjabat komandan teritorial sebagai Panglima Siliwangi—dilampaui oleh Benny Moerdani.
M. Jusuf pun digantikan Benny pada 1983. Langkah Soeharto jalan terus, yang memang pintar memainkan orang-orang di sekitarnya untuk saling bersaing. Sang diktator itu percaya selama ada orang-orang yang loyal kepadanya, kekuasaannya bakal langgeng. Ali Moertopo meninggal pada 1984, Benny Moerdani meninggal pada 2004, dan Soeharto wafat pada 2008.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan