tirto.id - Sekitar pukul 09.00, pesawat GA-206 milik maskapai Garuda Indonesia Airways transit di Bandara Talang Betutu, Palembang. Sambil menunggu proses transit, beberapa penumpang rehat di ruang tunggu bandara. Tjipto Harsono, salah seorang penumpang, mengingat suasana bandara cukup ramai kala itu.
“Di Palembang itu ruang tunggu bandaranya seperti warteg saja. Karena tidak ada pengamanan, bandara dan jalanan itu tidak ada pagarnya. Jadi orang luar bebas saja masuk,” kenangnya.
Di ruang tunggu, Tjipto semeja dengan seorang penumpang yang akan naik dari bandara itu. Tjipto berbaik hati membelikannya kopi dan mereka pun ngobrol kemudian.
Di meja lain, seorang penumpang bernama Anwar terlihat gelisah. Sejak masuk ruang tunggu, perasaannya tak jenak saat melihat suasana bandara yang pengamanannya begitu longgar.
Anwar makin gelisah melihat dua orang dengan gerak-gerik yang menurutnya mencurigakan. Seorang di antaranya membawa tas warna cokelat. Semula ia berniat memberi tahu petugas di tangga pesawat tetapi urung karena ia juga tergesa-gesa memasuki pesawat.
Di pesawat, ia menuturkan firasatnya itu kepada Budianto Salim, yang duduk di sebelahnya. Seperti Anwar, Budianto juga sempat ngobrol dengan "penumpang yang aneh" itu.
“Setelah itu saya ajak minum, tapi dia menolak,” cerita Budianto Salim seperti dikutip harian Kompas (4/4/1981).
Orang itu bercerita bahwa ia pernah tinggal di Jalan Gambir, Medan. Ia juga bercerita ia pernah ditangkap polisi dan berhasil meloloskan diri. Beda dari Anwar yang gelisah, Budianto terlihat tenang-tenang saja.
Pesawat bernama Woyla dengan rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan itu lepas landas lagi pada pukul 09.05. Semua hal berjalan sebagaimana biasanya. Tjipto, Budianto, dan Anwar duduk di bangkunya masing-masing ketika pramugari membagikan makanan.
Saat itulah beberapa penumpang bangun, berlari ke bagian depan kabin, dan berteriak, “Jangan bergerak! Jangan bergerak! Siapa yang bergerak akan saya tembak!”
Tjipto, yang masih belum sepenuhnya mencerna maksud lima orang bersenjata itu, menoleh ke penumpang di sebelahnya. “Dok, ini bercanda apa, ya?”
Ternyata ada pembajak yang mendengarnya. Pembajak itu segera menghampirinya dan menodongkan pistol.
“Saat itulah saya percaya kalau itu sungguh-sungguh. Ada yang bawa pistol, ada bawa granat,” ujar Tjipto.
Itulah awal dari drama pembajakan pesawat Woyla yang menggegerkan khalayak Indonesia pada Sabtu, 28 Maret 1981, tepat hari ini 38 tahun lalu.
Pesawat Woyla yang dibajak dibelokkan rutenya menuju Penang, Malaysia, dan kemudian ke Bangkok, Thailand. Para pembajak, yang kemudian diketahui adalah anggota Jamaah Imran, menguasai pesawat hingga dilumpuhkan pada Selasa, 31 Maret.
Dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah (1981), Wiwoho menyebutkan bahwa para pembajak mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah Indonesia, di antaranya meminta pembebasan "80 teman" mereka yang dipenjara (hlm. 115-116).
Teman yang mereka maksud adalah orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981; kelompok Warman yang melakukan aksi teror di Rajapolah pada 22 Agustus 1980; kelompok H. Ismail Pranoto; kelompok A.Q. Jaelani; dan beberapa nama di antaranya Abdullah Sungkar, Timzar Zubil, Lukaman Samra, dan Bardan Kendarto.
Para tahanan itu diminta diterbangkan ke suatu tempat di luar Indonesia yang belum ditentukan. Disebut pula para pembajak menuntut disediakan uang tunai sebesar 1,5 juta dolar AS. Mereka mengancam akan meledakkan pesawat jika tuntutan-tuntutan itu tidak dipenuhi.
Merencanakan Perlawanan dengan Kode
Bagi para penumpang yang disandera tiga hari pada akhir Maret 1981 itu, momen penyanderaan adalah saat-saat berat yang menguras mental dan fisik. Kelompok pembajak, yang dikomando Mahrizal, tak segan melakukan kekerasan terhadap sandera.
Dalam penerbangan ke Penang, para pembajak menyita semua dompet dan barang berharga penumpang. Mereka juga memeriksa identitas para penumpang kalau-kalau di antara mereka adalah tentara.
Tjipto Harsono, yang mengenang peristiwa 37 tahun lalu itu, mengisahkan kepada saya bahwa seingatnya di antara para penumpang, ada yang punya kartu Resimen Mahasiswa. Para pembajak menyeret si penumpang ke depan dan dipukul.
"Saat itu saya bawa cincin tapi tidak saya serahkan. Saya masukkan cincin itu ke mulut selama pembajakan,” ujar Tjipto.
Pada jam-jam pertama pembajakan, para pembajak menceramahi penumpang. Isinya menjelek-jelekkan pemerintah, karena saat itu rezim Soeharto memang getol menyudutkan kelompok Islam politik. Para sandera tak boleh berkomentar apa-apa, tetapi juga tak boleh mengabaikannya. Melengos sedikit saja, kata Tjipto, pukulan dan sepakan pembajak menghampiri.
“Sehari itu bisa dua-tiga kali mereka ceramah. Yang paling pinter ceramah itu si Mahrizal. Di awal-awal itu, kalau bicara, dia seakan-akan menampakkan diri paling suci. Tapi lama-lama malah mengumpat dan omongannya sudah tidak enak didengar lagi,” kenang Tjipto, yang kini pensiunan pegawai negeri sipil.
Bersandarkan pengakuan para penumpang, Sinar Harapan (4/4/1981) melaporkan bahwa sejak dibajak di atas udara Pekanbaru menuju Penang, semua tangan penumpang harus diangkat ke atas dan kedua telapak tangan harus di bagian atas sandaran kursi. Para penumpang baru boleh menurunkan tangannya saat pesawat Woyla terbang menuju Bangkok, Thailand.
“Rasanya tangan mau patah, keram, dan susah bernapas,” ungkap salah seorang penumpang.
Pesawat Woyla mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Sabtu sekitar pukul 17.00.
Bagi Tjipto, di bandara itulah penderitaan baru benar-benar dimulai. Para pembajak sengaja tak memberi sandera makan kecuali selapis roti tawar dan air putih. Penjagaan pembajak sangat ketat, termasuk soal urusan buang hajat.
“Kalau mau ke toilet itu tidak boleh ditutup pintunya. Laki-laki atau perempuan sama saja. Kasihan yang ibu-ibu,” kenang Tjipto. Para penumpang juga dipaksa membersihkan toilet secara bergiliran.
Namun, tak semua pembajak berlaku beringas. Dalam pandangan Tjipto, hanya si pimpinan Mahrizal dan pembajak bernama Zulfikar yang benar-benar tanpa ampun. Tjipto baru sadar bahwa salah satu pembajak adalah orang yang ditraktirnya minum kopi saat di pesawat Woyla transit di Palembang. Orang ini masih mau berbaik hati memberinya minum secara diam-diam.
“Tapi dia dipukul oleh pemimpinnya saat ketahuan,” kata Tjipto.
Saat di Don Mueang, bahan bakar pesawat menipis dan karenanya mesin pesawat dimatikan. Otomatis pendingin udara tak berfungsi. Para sandera disergap pengap dan udara kabin yang panas. Lebih-lebih di hari kedua pembajakan, Bangkok sedang terik-teriknya. Banyak penumpang yang lemas karena kekurangan oksigen.
Di saat-saat seperti itu, beberapa sandera ada yang merencanakan perlawanan. Kepada wartawan harian Kompas, mereka mengaku merencanakan perlawanan dengan memakai kode tangan dan mata untuk menghindari kecurigaan pembajak. Anwar adalah salah satu penumpang yang ingin melawan, dan bercerita bahwa mereka saling memberi kode ketika akan pergi ke toilet.
“Suatu saat memang terasa ada kesempatan. Batang aluminium di bawah kursi duduk cukup mudah dibuka. Dengan cepat, saya bisa buka untuk dijadikan senjata pukul. Tapi berapa besar tenaganya? Sekali pukul sudah bengkok,” ujarnya sebagaimana dikutip Kompas (4/4/2018).
Namun, rencana perlawanan itu tak pernah dilakukan. Selain pertimbangan keselamatan, kesempatan melawan pun kian sulit usai dua penumpang nekat kabur dari pesawat.
Sebagaimana dilaporkan Sinar Harapan (4/4/1981), penumpang yang kabur itu adalah Robert Wainwright dan Carl Schnider. Wainwright kabur melalui pintu darurat pesawat pada Minggu siang dan Schnider sore harinya. Namun, malang bagi Schnider, ia tertembak di bagian bahu saat meloncat dari pesawat.
Setelah kejadian itu, para pembajak bersikap lebih galak. Seluruh penumpang diharuskan mengencangkan sabuk pengaman dan dilarang bicara. Para sandera juga tak diberi makan setelah insiden Wainwright yang kabur.
Hanya Bisa Pasrah
Penderitaan para sandera mereda ketika Jenderal Yoga Sugama berhasil mengelabui pembajak dengan berpura-pura mengabulkan semua tuntutan mereka pada hari ketiga. Negosiasi itu hanyalah upaya mengulur waktu hingga tim antiteror dari Kopassandha siap bergerak.
“Begitu dengar permintaan-permintaan mereka dikabulkan pemerintah, pembajak itu menari-nari di dalam pesawat. Saat itulah kami bisa makan enak. Kami dikirimi nasi ayam. Karena tiga hari sudah tidak makan, makanan saat itu serasa makanan terenak di dunia,” kenang Tjipto.
Operasi pembebasan pesawat Woyla akhirnya dilaksanakan pada Selasa pukul 02.30 waktu Thailand. Tim antiteror yang dikomandoi Letkol Sintong Panjaitan dan dinamakan Operasi Don Mueang itu berlangsung cepat. Para pembajak yang sudah lengah, meskipun sempat mengadakan perlawanan, relatif mudah dilumpuhkan tim antiteror Kopassandha. Sekitar pukul 02.46, operasi pun selesai.
“Saat-saat terakhir di dalam pesawat itu perasaan saya sudah pasrah saja. Kalau mati ya biarlah, kalau bisa bebas ya alhamdulillah. Saya tenang-tenang saja sudah waktu itu,” ujar Tjipto Harsono.
Ia dan seluruh penumpang dan kru pesawat lain berhasil diselamatkan setelah 65 jam disandera. Namun sayang, Kapten Pilot Herman Rante dan Ahmad Kirang dari Kopassandha tewas saat penyerbuan berlangsung.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 28 Maret 2018 sebagai bagian dari laporan mendalam tentang pembajakan pesawat Woyla. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan