Menuju konten utama

Kolaborasi Tiga Jiran Menjaga Perairan Asia Tenggara

Indonesia, Malaysia, dan Filipina akhirnya menyepakati patroli bersama untuk mengamankan wilayah perbatasan laut mereka dari pembajakan kapal. Langkah ini diambil mengingat kapal-kapal ketiga negara ini berulang kali menjadi sasaran pembajakan, khususnya di perairan Sulu di perbatasan antara Kalimantan, Malaysia Timur, dan Mindanao. Apa yang melandasi komitmen kerja sama antara ketiga negara ini?

Kolaborasi Tiga Jiran Menjaga Perairan Asia Tenggara
Ilustrasi [Antara foto/Hafidz Mubarak A]

tirto.id - Kasus pembajakan kapal di perairan sekitar Sulu, Filipina Selatan, terbukti sukses membuat Malaysia, Indonesia, dan Filipina kebakaran jenggot. Tak tanggung-tanggung, ketiga negara jiran ini sampai bersepakat untuk merumuskan strategi bersama demi menanggulangi kejahatan ini.

Kesepakatan akhirnya tercapai pada 2 Agustus 2016 lalu. Dalam pertemuan di Nusa Dua, Bali, menteri-menteri pertahanan dari Filipina, Malaysia, dan Indonesia mengumumkan peresmian Framework of Agreement (FoA) yang akan menjadi pedoman bagi kerja sama pengamanan perbatasan laut antara ketiga negara ini.

Mekanisme FoA sebenarnya telah ditandatangani sejak 14 Juli 2016. FoA pada awalnya hanya mencakup empat butir kebijakan. Selanjutnya, FoA mengalami perluasan cakupan untuk mengantisipasi berbagai dinamika dalam pelaksanaannya di lapangan.

“Jadi kalau Framework of Agreement dulu adalah 4, kemudian untuk yang kemaren ada 6 butir yang dihasilkan, yaitu pertama adalah patroli bersama, yang kedua adalah bantuan darurat, yang ke-3 adalah sharing intelligence, yang ke-4 adalah hotline communication, yang ke-5 adalah latihan bersama, dan yang ke-6 adalah automatic identification system,” papar Menteri Luar Negeri Retno LP. Marsudi dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia, http://www.kemlu.go.id.

Pembahasan FoA telah dirintis sejak Maret 2016. Perjanjian ini diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo dan kemungkinan besar dipicu oleh penyanderaan kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 di perairan Tawi-Tawi, Filipina Selatan. Penyanderaan Brahma 12 dan Anand 12 segera diikuti oleh serangkaian kasus penyanderaan lainnya.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, pada 15 April 2016, kembali terjadi pembajakan yang menimpa kapal tunda TB Henry dan kapal tongkang Cristi di wilayah perairan yang sama. Masih di bulan yang sama, giliran kapal Massive 6 menjadi korban pembajakan di perairan sekitar pulau Ligitan pada 1 April 2016. Kasus pembajakan terakhir di perairan Filipina Selatan dialami oleh kapal tugboat Charles 001 dan Kapal Tongkang Robby 152 pada Juli 2016.

Maraknya aksi pembajakan yang terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari enam bulan sepertinya cukup untuk membuat Malaysia, Indonesia, dan Filipina gerah. Malaysia dan Indonesia patut terusik mengingat kapal-kapal mereka seakan menjadi langganan pembajakan. Kapal Indonesia yang menjadi korban pembajakan antara lain Brahma 12, Anand 12, Cristi, TB Henry, Charles 001, dan Robby 152. Sementara itu, kapal Malaysia yang menjadi korban adalah Massive 6. Setahun sebelumnya, pada 1 Mei 2015, kapal tanker berbendera Malaysia, Dongfang Glory, juga menjadi korban pembajakan di perairan Kalimantan bagian utara.

Dari sisi Filipina, kasus pembajakan kapal ini tentu saja mencoreng muka mereka. Filipina patut malu mengingat sebagian besar kasus pembajakan ini berada di wilayah perairan mereka. Di sisi lain, pembajakan kapal-kapal ini diduga juga dilakukan oleh Abu Sayyaf, kelompok militan yang berbasiskan di Mindanao, Filipina Selatan. Berbagai kasus pembajakan, penyanderaan, bahkan pemenggalan sandera warga negara asing secara simbolis menunjukkan ketidakmampuan Filipina dalam mengontrol keamanan di wilayahnya.

Perairan sebagai urat nadi ekonomi kawasan

Upaya penanggulangan pembajakan kapal tidak hanya untuk menghapus rasa malu semata. Pembajakan kapal di perairan Filipina Selatan juga telah mengganggu urat nadi perekonomian ketiga negara tersebut. Hal ini terjadi karena jalur laut di Filipina Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya merupakan rute penting bagi kapal-kapal dagang internasional.

Berdasarkan data yang diperoleh Asia Maritime Transparency Initiative 2015, sekitar 35 persen dari World Seaborne Oil Trade dilakukan dengan melewati perairan Selat Malaka. Sementara itu, dalam laporan bertajuk World's Most Pirated Waters, CNBC melansir bahwa satu per tiga dari pelayaran dunia melintasi Selat Malaka dan Selat Singapura tiap tahunnya, dengan lebih dari 130.000 kapal memasuki wilayah tersebut.

Khusus untuk Indonesia, seperti diklaim oleh Kemenlu, perairan Sulu merupakan jalur utama bagi ekspor batu bara Indonesia ke kawasan Filipina Selatan. Sekitar 96 persen kebutuhan batubara Filipina Selatan dipasok dari Indonesia. Perdagangan Indonesia dan Filipina mencapai 4,6 miliar dolar AS, dengan surplus berada di pihak Indonesia (sekitar 3,19 miliar dolar), seperti dikutip dari http://www.kemlu.go.id.

Pentingnya jalur laut Filipina Selatan bagi perekonomian Filipina dan Indonesia turut disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia bahkan meminta supaya kapal-kapal yang melintas di perairan tersebut dikawal oleh militer.

"Realisasikan kesepakatan bersama itu lewat patroli bersama, pengawalan. Karena Filipina juga akan menderita nanti. Begitu kita stop batu bara, maka listrik di bagian selatan itu mati semua karena di situ ada pembangkit yaitu batu bara dan geotermal," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Kawasan perairan di Asia Tenggara merupakan urat nadi bagi perekonomian regional bahkan internasional. Gangguan dalam kawasan perairan juga akan berakibat kepada perekonomian negara-negara di dalamnya. Hal ini menyebabkan negara-negara di kawasan ini relatif sigap untuk melakukan aksi bersama dalam hal pengamanan perairan.

Tiga negara di kawasan semenanjung Indocina yaitu Thailand, Myanmar, dan Laos pernah bekerja sama dengan Cina untuk melakukan patroli bersama di wilayah aliran Sungai Mekong. Patroli ini dipicu oleh peristiwa pembajakan dua kapal barang berbendera Cina yang menewaskan 13 pelaut Cina saat berada di perairan Mekong bagian Thailand pada 5 Oktober 2011. Sungai Mekong yang melintasi wilayah keempat negara tersebut merupakan urat nadi perekonomian yang sangat vital bagi mereka.

Patroli pengamanan perairan juga pernah dilakukan oleh Malaysia dan Indonesia di perairan Selat Malaka pada 2014 lalu. Kegiatan bertajuk Operasi Patroli Koordinasi Kastam Indonesia-Malaysia (Patkor Kastima) 20 A ini dilakukan untuk mengantisipasi tingginya angka penyelundupan di wilayah ini.

"Selat Malaka merupakan jalur pelayaran dan perdagangan tersibuk di dunia, sangat rawan terhadap tindak pidana penyelundupan yang membutuhkan kerja sama dengan negara jiran untuk mencegahnya," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai Agung Kuswandono seperti dikutip Antara.

Dalam konteks pembajakan kapal di perairan Filipina Selatan, Indonesia dan Filipina bahkan telah memulai patroli bersama sejak 25 Mei hingga 1 Juni 2016 lalu. Operasi bertajuk "Coordinated Border Patrol Philippines-Indonesian XXX-16" (Corpat Philindo XXX-16) ini menyasar pulau-pulau terluar dari kedua negara, khususnya yang berada di perairan sebelah utara Kalimantan.

Hanya untuk Abu Sayyaf?

Keputusan patroli bersama antara Malaysia, Filipina, dan Indonesia dirancang pascaperistiwa pembajakan dan penculikan oleh Abu Sayyaf. Momen kunci yang mendorong kerja sama dari ketiga negara ini salah satunya adalah pemenggalan sandera asal Kanada, John Risdel, pada 25 April 2016. Kesimpulan sementara yang bisa ditarik adalah, ketiga negara ini memfokuskan patroli bersama untuk secara spesifik menghadapi kelompok Abu Sayyaf.

Seperti dikutip dari Wall Street Journal, perjanjian tripartit ini memberikan keleluasaan bagi angkatan laut dari ketiga negara untuk melintasi batas maritim saat mengejar komplotan pembajak yang melarikan diri. Di sisi lain, perundingan masih membicarakan kemungkinan pengejaran lintas batas negara di darat.

“Kami masih harus mendiskusikannya [pengejaran lintas batas darat], karena kami masih menemui beberapa hambatan dari segi konstitusi....Kamu masih harus mengonsultasikan metode pengejaran lewat darat tersebut,” tandas Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana seperti dikutip Wall Street Journal.

Protokol khusus untuk pengejaran lintas batas ini ditambahkan untuk sehingga angkatan laut dari negara manapun yang mengetahui pembajakan dapat langsung mengambil tindakan yang dibutuhkan tanpa dirintangi oleh kendala-kendala legal terkait perbatasan. Aturan ini diperlukan untuk mengejar kelompok Abu Sayyaf yang terkenal sering kabur dan bersembunyi di pulau-pulau kecil di sekitar perairan Sulu dan Mindanao. Dalam konteks ini, keterlambatan sedikit saja akan memberi ruang bagi Abu Sayyaf untuk meloloskan diri.

Protokol ini kemungkinan besar diperjuangkan oleh angkatan bersenjata masing-masing negara, khususnya Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, mengingat merekalah yang paling menguasai kebutuhan taktikal dalam pengejaran di lapangan.

Patroli perbatasan tripartit ini untuk sementara akan difokuskan di wilayah sekitar perairan Filipina Selatan. Namun, ketiga negara ini, atau negara-negara ASEAN pada umumnya, sebaiknya membuka peluang untuk melakukan patroli serupa di perairan Asia Tenggara lainnya, khususnya Selat Malaka.

Berdasarkan peta yang dilansir oleh ICC International Maritime (lihat infografik), kasus pembajakan kapal di Selat Malaka cenderung lebih banyak dibandingkan di perairan Filipina Selatan. Motif pembajakan di kedua daerah ini pun berbeda. Pembajakan di Filipina Selatan dilakukan oleh kelompok militan Abu Sayyaf yang bertujuan untuk meminta tebusan (kidnap & ransom) sedangkan pembajakan di Selat Malaka dilakukan oleh perompak yang tidak memiliki landasan ideologis tertentu dan hanya bertujuan untuk merampas muatan barang, khususnya kapal tanker.

Negara-negara di ASEAN tentu saja harus menyikapi fenomena pembajakan di wilayah perairannya dengan bijak. ASEAN tidak boleh hanya berfokus dalam melawan “kelompok teroris” Abu Sayyaf semata. Masih banyak ancaman lain yang menunggu untuk diselesaikan, seperti maraknya penyelundupan, perdagangan narkotika, perdagangan manusia, manusia perahu, serta pencurian ikan. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah mengemukakan bahwa perjanjian tripartit ini akan diperluas untuk menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, khususnya masalah pencurian ikan.

Laut adalah urat nadi bagi perekonomian ASEAN. Sudah sepantasnya ASEAN melindungi urat nadinya supaya kelak tidak sampai kehabisan darah.

Baca juga artikel terkait KERJA SAMA PATROLI BERSAMA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti