tirto.id - Film drama kejahatan terbaru dari AS berjudul 7 Days in Entebbe sudah tayang di bioskop Indonesia, khususnya di CGV Cinemas, sejak 11 April 2018. Dibintangi Daniel Brühldan Rosamund Pike, cerita di film ini berangkat dari kejadian nyata tentang pembajakan pesawat Air France pada 1976 silam.
Ketika empat pembajak mengambil alih pesawat dalam perjalanan dari Tel Aviv ke Paris pada 27 Juni lalu, 248 penumpang tidak menyadari cobaan mengerikan yang menanti mereka.
Dipaksa dengan todongan senjata, mereka mematuhi tuntutan penyandera untuk melepas paspor, sementara sebagian diam-diam menyembunyikan identitasnya.
Dua dari pembajak adalah anggota dari front radikal pembebasan Palestina. Sementara dua lainnya, adalah radikal kiri Jerman yang bersimpati kepada Palestina.
Setelah berhenti mengisi bahan bakar di Yaman, pembajak memaksa pesawat dialihkan ke Entebbe, Uganda. Di sana, mereka bertemu dengan diktator Idi Amin yang diperankan Nonso Anozie.
Di lokasi itu, mereka menunggu kabar dari otoritas Israel tentang apakah mereka bersedia merundingkan pembebasan warganya. Sebab, ini bertentangan dengan kebijakan yang mereka nyatakan.
Berita pembajakan itu dengan cepat sampai pada Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (Lior Ashkenazi) di Yerusalem. Ia dan Menteri Pertahanan Shimon Peres (Eddie Marsan) memperdebatkan apa tanggapan Israel seharusnya.
Peres mendesak Rabin untuk tidak bernegosiasi dengan para pembajak yang menuntut $5 juta dolar dan pembebasan lebih dari 50 militan pro-Palestina yang dipenjarakan di seluruh dunia. Sebaliknya, ia menyarankan pada Rabin untuk melancarkan sebuah militer rahasia, demikian dikutip Focus Features.
Di bawah tekanan yang memuncak dari keluarga korban dan ancaman pertumpahan darah massal, Rabin mengesahkan misi penyelamatan yang berani: "Operasi Thunderbolt."
José Padilha duduk mengarahkan 7 Days in Entebbe di bangku sutradara. Ia sebelumnya dikenal sebagai pengarah serial televisi Narcos dan film RoboCop tahun 2014.
Melalui penelitiannya, Padilha mengetahui bahwa “Meskipun Rabin berpikir operasi [Thunderbolt] itu diragukan, dia harus menyetujuinya ... Sangat sulit bagi Israel dan Politisi Palestina untuk bernegosiasi.”
Seperti dilansir Variety, puncak ketegangan film ini bukan dari keluarga dan orang-orang yang terancam nyawanya akibat pembajakan, melainkan dari ruang pemerintahan Israel.
Pada adegan itu, baik Shimon Peres yang seorang oportunis cerdik maupun Yitzhak Rabin yang seorang pragmatis mencoba untuk melepaskan sandera. Namun, keduanya tetap mencari keuntungan politik paling maksimum dari kejadian itu.
“Meskipun film ini memuncak saat adegan aksi, dalam bentuk serangan yang berisiko, ketika pasukan komando Israel menyerbu kompleks bandara [Entebbe], adalah intrik antara Rabin dan Peres yang membuat drama paling menarik,” demikian yang dipaparkan Variety.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari