Menuju konten utama

7 Days in Entebbe: Banjir Kebimbangan, Miskin Aksi Menegangkan

Reka ulang Operation Thunderbolt (1976), misi penyelamatan penumpang pesawat Air France, mayoritas etnis Yahudi, yang dibajak aktivis pro-Palestina.

7 Days in Entebbe: Banjir Kebimbangan, Miskin Aksi Menegangkan
Ilustrasi pesawat. FOTO/malaysiaairlines.com

tirto.id - Jose Padilha mencatat reputasi bagus dalam dua film drama kriminal arahannya, Elite Squad (2007) dan Elite Squad: The Enemy Within (2010). Ia bersinar di tanah kelahirannya, Brazil, lalu menjajaki Hollywood dengan remake RoboCop (2014). Padilha juga sempat menyutradarai dua episode Narcos (2015), serial laris perihal lika-liku hidup gembong narkoba Kolombia Pablo Escobar.

Awal tahun ini ia meluncurkan drama kriminal lain, Entebbe (berjudul 7 Days in Entebbe di Amerika Serikat). Proyek yang cukup menantang sebab mereka ulang salah satu aksi terorisme paling penting dalam konflik Israel-Palestina.

Dua orang berkebangsaan Jerman, Wilfried Bose (Daniel Bruhl) dan Brigitte Kuhlman (Rosamund Pike) adalah dua aktivis kelompok kiri radikal Revolutionary Cells yang membawa teror itu. Bekerja sama dengan dua aktivis Popular Front for the Liberation of Palestine – External Operations (PFLP-EO), mereka membajak pesawat Air France yang dipenuhi 250-an penumpang.

Penerbangan nomor 139 pada 27 Juni 1976 itu berangkat dari Tel Aviv, Israel ke Athena, Yunani. Namun, tak lama usai lepas landas, oleh pembajak dialihkan ke Benghazi, Libya. Selama tujuh jam pesawat mengisi bahan bakar, lalu dilanjutkan terbang selama lebih dari 24 jam menuju Bandara Entebbe di Uganda.

Selama tujuh hari para korban ditahan di terminal, mereka diberi fasilitas tinggal oleh diktator Uganda Idi Amin yang memakai kasusnya sebagai ajang pamer kebaikan ke dunia internasional. Idi Amin ingin memastikan para sandera dalam kondisi aman. Meski kemudian terungkap bahwa ia memang sejak awal mendukung pembajakan pesawat.

Para pembajak, yang berkali-kali meneriakkan Israel sebagai “negara fasis dan rasis”, menuntut pembebasan 50-an warga Palestina yang ditahan pemerintah Israel. Pemerintah Israel yang tak mau bernegosiasi akhirnya melancarkan operasi militer bernama “Operasi Thunderbolt”.

Jika memandang salah satu poster filmnya, Anda akan mendapat kesan garang: siluet Bose memegang senjata laras panjang berlatar warna merah darah. Namun, jangan berharap terlalu banyak. Sebagai film bergenre 'thriller', Anda hanya akan menjumpai cerita dengan bangunan ketegangan yang terlampau datar dan tanpa klimaks yang diharap-harapkan.

Padilha gagal menghadirkan perspektif baru. Kemasannya serupa dengan kisah Operasi Thunderbolt di dua film sebelumnya, Victory at Entebbe (1976) dan Raid on Entebbe (1977). Padilha sedikit banyak mengambil gaya dokumenter yang sudah dijajaki di Operation Thunderbolt: Entebbe (2000), Live or Die in Entebbe (2012), atau Assault on Entebbe (diproduksi National Geographic).

7 Days in Entebbe nampak biasa-biasa saja jika disandingkan dengan film bertema terorisme bernarasi lebih kompleks plus drama yang lebih menggigit, seperti United 93 (2006) atau Zero Dark Thirty (2012). Argo (2012) besutan Ben Afleck juga bisa jadi contoh bagaimana penyelamatan sandera yang terinspirasi dari kisah nyata bisa berjalan dengan ketegangan yang menghibur.

Berharap aksi tembak-menembak? Anda harus menunggu sampai akhir film. Penyerbuan terminal bandara juga terlampau lancar, dengan demikian, biasa-biasa saja. Para penyandera, dan tentara Uganda yang membantu mengamankan sandera, terbunuh dengan mudah. Bose dan Kuhlman, dua tokoh utama film, juga langsung tewas ditembak pasukan khusus Israel.

Segalanya berlangsung cepat. Tentara Israel berjumlah lebih banyak serta memiliki kemampuan tempur yang jauh lebih mumpuni. Tiada aksi balasan seimbang dan menuntun pada kontak senjata yang menegangkan. Sandera, yang sebagian besar warga keturunan Yahudi, diterbangkan ke Israel. Keluarga korban menyambut dengan bahagia di bandara, dan film pun berakhir.

Sepanjang tujuh hari penonton disuguhkan dengan kebimbangan-kebimbangan yang dialami kedua aktivis Jerman. Mereka saling mempertanyakan kembali motivasi menjalankan aksi. Mereka bertengkar sendiri saat salah satu pembajak dinilai kurang tegas memperlakukan sandera. Mereka juga berselisih dengan anggota PFLP-EO hanya karena miskomunikasi.

Dalam pernyataan yang dikutip sejumlah media, Padilha menyatakan ingin membuat film yang otentik. Beberapa kali ia menggunakan teknik 'flashback' untuk menjelaskan latar belakang Revolutionary Cell hingga pelatihan militer Bose, Kauhlman, serta anggota PFLP-EO di Yaman. Di awal disebutkan akan ada beberapa adegan serta dialog yang sifatnya fiksi untuk kepentingan dramatisasi.

Konflik internal juga biasa dipakai untuk membumbui film bergenre 'thriller'. Namun, dramatisasi yang disuguhkan 7 Days in Entebbe sama sekali tidak berpengaruh terhadap jalannya cerita. Kegalauan-kegalauan yang muncul lebih bersifat personal, sehingga tidak mengubah situasi penyanderaan ke titik yang ekstrem atau setidaknya signifikan.

Jadi, jika Anda mengharapkan momentum dramatis selama tujuh hari penyanderaan, bersiap-siaplah untuk kecewa. Visi Padilha untuk meraih otentisitas cerita membuat kemungkinan-kemungkinan timbulnya aksi kekerasan padam seketika.

Rasa kemanusiaan yang tumbuh sepanjang tujuh hari itu membuat para penyandera, khususnya Bose dan Kuhlman, bersikap lembek kepada korban sandera. Beberapa saat setelah berhasil membajak pesawat, Bose juga menegaskan bahwa ia dan rekannya adalah "humanitarian", sehingga tidak ada niat untuk menyakiti apalagi membunuh sandera.

Di titik ini saya merasakan kejanggalan yang sifatnya kontradiktif. Dua orang itu ingin melancarkan aksi revolusioner, melawan salah satu negara dengan bekingan militer terkuat di dunia, dengan sekali-dua kali menegaskan betapa radikal dan nekatnya modus operandi aktivis kiri Jerman, tapi dengan cara yang pasif serta tak ingin ada korban jiwa (collateral damage)?

Penonton, setidaknya saya, pada akhirnya kebingungan dengan keduanya: apa mereka sebenarnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan aktivis Palestina? Atau mereka benar-benar menjalankan misi berdasar keyakinan kuat namun kemudian menyesali tindakannya sendiri? Tidak ada penjelasan, atau minimal petunjuk yang mencerahkan, hingga keduanya terbunuh.

Padilha lebih sukses mengemas akhir film dokumenternya, Bus 174 (2002). Bus 174 menyoroti detail pembajakan bus nomor 174 di Rio de Janeiro pada 12 Juni 2000 oleh seorang pemuda bersenjata api, dan mengancam akan menembak seluruh penumpang. Detik-detik pembajakan disiarkan secara langsung oleh stasiun-stasiun televisi Brazil, dan berakhir tragis.

Dramatisasi yang lebih menarik justru ada pada bagian film yang menyoroti perdebatan antara para pembuat kebijakan di tubuh pemerintahan Israel. Pertimbangannya berlapis. Mulai dari penentuan apakah pembajakan Air France tergolong masalah nasional atau masalah negara lain (Perancis selaku negara asal pesawat atau Uganda sebagai tempat penyanderaan berlangsung), mewacanakan negosiasi, hingga akhirnya diputuskan untuk melaksanakan operasi militer.

Dua sosok kunci dalam perdebatan tersebut adalah Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (Lior Ashkenazi) dan Menteri Pertahanan Shimon Peres (Eddie Marshan). Sejak awal Peres gigih menawarkan operasi militer. Namun, Yitzhak mencegahnya, meski kemudian bingung. Pasalnya, bernegosiasi dengan teroris, apalagi memenuhi tuntutannya, akan berdampak buruk bagi gengsi Israel di mata dunia.

Pelan-pelan terungkap bahwa Peres dan Rabin sebenarnya sedang berupaya meloloskan keputusan yang menguntungkan diri sendiri, secara politis. Persis niat yang diungkap blak-blakan oleh Idi Amin. Rabin agak berat hati mendukung opsi operasi militer, namun untungnya berakhir dengan sukses. Shimon Peres meraih popularitas yang tinggi, cukup untuk mengantarkannya ke posisi perdana menteri Israel (1977, 1984-1986, 1995-1996).

infografik seven days in entebbe

Padilha masih memakai rumus klasik dalam film drama, yakni memasukkan unsur percintaan antara salah seorang tentara Israel yang ikut Operation Thunderbolt dengan pacarnya yang berprofesi sebagai penari. Agak memaksa, termasuk adegan latihan di paguyuban tempat si pacar bernaung maupun pertunjukan tari yang membarengi klimaks film saat operasi pembebasan sandera dijalankan.

Meski penyajian atas nama otentisitas membuat film terlihat datar, niat realisme yang diusung Padilha bermanfaat untuk mengungkap sejumlah fakta sejarah yang selama ini jadi alat propaganda pemerintah Israel.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu (2006-2009) selalu membanggakan Yonatan Netanyahu, adiknya, yang diklaim punya andil besar menyukseskan Operation Thunderbolt. Yonatan adalah satu-satunya tentara Israel yang meninggal, dan tercatat sebagai pahlawan nasional. Lima rekannya luka-luka, sedangkan seluruh pembajak pesawat beserta 45 tentara Uganda tewas di lokasi.

Film 7 Days in Entebbe menampilkan Yonatan sebaliknya: ia adalah sosok yang tak memiliki kontribusi penting selama perencanaan operasi. Ia bahkan hampir menggagalkan misi karena menembak seorang tentara Uganda sebelum timnya diperbolehkan meremas pelatuk.

Ini adalah fakta yang diungkap sejarawan Saul David, yang bukunya berjudul Operation Thunderbolt: Flight 139 and the Raid on Entebbe Airport (2015) menjadi sumber utama penulisan naskah 7 Days in Entebbe.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf