tirto.id - Adipati Dolken pakai wig jelek—yang kelihatan tak cocok dengan bentuk kepalanya—lalu dengan gaya bicara yang dicadel-cadelkan, dan tangan yang mengepit ketiak seperti boneka unyil, ia memerankan Ditto Percussion yang masih anak SMP.
Seolah-olah dandanannya tak bikin risih mata dan logika, tubuh jangkung Adipati makin terlihat menjulang ketika dia bertemu Vanesha Prescilla, yang memerankan Ayudia Bing Slamet versi SMP. Aktor 26 tahun itu mungkin memang terlihat lebih muda dari usia sebenarnya, tapi bukan berarti sampai separuh umur begitu.
Untungnya, Vanesha masih tertolong untuk dipaksa "kelihatan" seperti anak SMP.
Adegan itu memang cuma berjalan sebentar—semacam potongan singkat agar kita paham kapan pertama kali calon suami-istri itu bertemu. Seperti judulnya: #TemanTapiMenikah, kita memang sudah dikasih spoiler kalau mereka kawan menikah di ujung cerita.
Film ini diangkat dari buku laris Ayudia Bing Slamet dan suaminya Ditto Percussion berjudul sama. Dua selebritas ini rupanya sudah berteman sejak SMP, tetapi nasib Ditto—yang lebih dulu jatuh hati pada Ayu—harus terjebak dalam wilayah pertemanan (friendzone) selama 12 tahun. Ia harus menunggu selama itu karena takut ditolak, tak rela kehilangan kesempatan untuk terus dekat dengan sang sahabat.
Kurang lebih itulah intisari dari film berdurasi 102 menit ini. Sekaligus jadi satu-satunya konflik yang berhasil dipanjang-panjangkan hingga jadi satu film. Memang nyaris tak ada konflik berarti: tak ada orang tua yang melarang, agama yang berbeda, pemerintah utopis yang bikin undang-undang perkawinan nyeleneh, jurang dalam antara si miskin dan si kaya, atau kapal tenggelam seperti dalam Titanic. Satu-satunya yang bikin film ini mirip Titanic, adalah bahwa kita tahu ujungnya: Titanic tenggelam, sementara Ditto dan Ayu akan menikah.
Konflik utama mutlak hanya karena Ditto berhasil memendam perasaannya 12 tahun. Dan bukannya dicap cemen atau chicken, film justru membingkai pilihan Ditto sebagai resolusi berfaedah yang mengajarkan: sabar.
Keseluruhan film dipacak lewat perspektif Ditto. Adegan pertamanya adalah dentuman ritme perkusi dibalut gaya Kubrick, demi menguatkan latar belakang Ditto yang ahli perkusi. Cukup kuat dan menarik sebagai adegan pembuka. Alurnya juga dibuat maju-mundur, dengan sinematografi bernada sepia—yang ingin bilang kalau plot film ini adalah peristiwa masa lalu. Nada sepia itu nantinya akan hilang di adegan terkahir.
Perintilan-perintilan ini jadi poin positif untuk Rako Prijanto, sang sutradara.
Lewat satu-dua poin kecil itu, kita tak bisa mengelak kalau ia cukup kreatif mengolah naskah dan novel adaptasi yang amat biasa-biasa saja ini. Prianto juga memangkas jumlah sebenarnya pacar Ayu dan Ditto, seperti yang tertulis di novel. Keputusan itu jadi cukup baik, sehingga bencana kebosanan yang terkandung dalam cerita cinta Ditto dan Ayu lumayan tertolong—ya, lumayan.
Potensi romansa Ditto dan Ayu untuk meledak macam kisah Ratna dan Galih, Cinta dan Rangga, atau bahkan Fahri dan perempuan-perempuannya (film terakhir memang sangat misoginis), memang lemah. Selain konflik yang nyaris konyol dan tak berarti, kisah cinta mereka juga abai konteks. Padahal rentang waktu 12 tahun yang direkam film ini cukup panjang untuk diolah.
Kamera Prijanto hanya fokus pada dua karakter utamanya. Tokoh-tokoh lain mutlak cuma tempelan yang tak diberi ruang berkembang agar naskah lebih dalam. Pacar-pacar Ditto dan Ayu hanya hadir untuk menampilkan adegan-adegan yang memaksa penonton ngeh kalau dua sahabat itu punya chemistry kuat. Begitu pula karakter orang tua mereka yang sesekali muncul.
Bukan cuma karakter-karakternya, aksesori-aksesori lain dalam plot juga diciptakan semata-mata fokus pada Ditto dan Ayu meski tak di tempat semestinya. Misalkan, adegan ketika Ayu menonton Ditto yang akhirnya masuk televisi sebagai musisi. Meskipun ia bukan penampil utama, kamera TV berulang kali hanya merekam si calon suami Ayu. Bahkan ketika Ditto mengiringi Iqbaal Dhiafakhri a.k.a Iqbaal CJR yang menjadi Iqbaal di film itu.
Entah sengaja atau tidak, intinya Prijanto ingin kita fokus bahwa: Ayu dan Ditto itu jodoh.
Hal ini tentu saja keputusan ganjil. Latar belakang Ditto yang musisi dan Ayu yang aktor jadi tak tergali. Naskah tak memberi kita ruang untuk paham skena seni yang digeluti dua seniman ini—kalau tak tepat disebut pengisi dunia hiburan belaka. Lagi, rentang 12 tahun persahabatan Ditto dan Ayu tak dimanfaatkan baik untuk diisi konteks, agar film ini lebih bermakna dan ada faedah.
Miskin konteks ini berdampak pada karakter Ditto dan Ayu yang akhirnya berujung dangkal.
Mungkin, penghambat Prijanto untuk menghadirkan plot yang lebih kaya adalah fakta bahwa film ini diadaptasi dari novel—yang kisah nyata pula. Sehingga akan berlebihan jika ia justru mereka-reka karakter utama yang tak sama dengan dunia nyata. Ini berdampak pada Adipati dan Vanesha yang juga kehilangan kesempatan untuk memerankan peran yang dalam dan kharismatik.
Namun, Adipati—meski didandani dengan wig jelek, dan dihidangkan naskah sekenanya—tetap harus diberi tepuk tangan. Lakonnya jadi satu-satunya pencuri pertunjukan. Ia berhasil meniru gaya bicara khas Ditto yang familiar bagi penontonnya di televisi dan Youtube. Bahkan, beberapa kali Ditto yang diperankan Adipati melemparkan lelucon-lelucon yang lebih jitu dan kocak ketimbang Ditto asli yang dikenal garing.
Vanesha juga berhasil lepas dari karakter Milea yang melambungkan namanya, dalam film Dilan 1990. Ia tampil lebih eksentrik, ekspresif, dan kocak. Gaya bicaranya mirip Ayudia Bing Slamet pada era 90-an dan awal 2000-an yang sering muncul di teve. Hanya saja, ada yang aneh dengan performa Vanesha. Dialog dan suaranya sangat meyakinkan dan dinamis, tapi tidak dengan ekspresi mukanya yang datar dan statis. Tangis tanpa air matanya juga cukup mengganggu.
Untung, Iqbaal CJR berperan jadi Iqbaal, bukan Dilan. Jadi, kita tetap bisa fokus pada Ditto dan Ayu saja, persis seperti tujuan Prijanto dan para penulis naskah. Tujuan itu terhitung berhasil, sebab isi film ini memang semesta milik sejoli Ditto dan Ayu belaka. Bak pepatah lama, konteks dan hal penting lainnya cuma ngontrak saja.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf