tirto.id - “Presiden Berkali-kali Menghapus Air Matanya” tulis Koran Kompas pada 30 Maret 2008. Artikel tersebut menceritakan emosi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah selesai menonton film Ayat-Ayat Cinta (2008). Tak sendiri, SBY juga membawa 107 politisi, 53 diplomat asing, artis dan wartawan (Heryanto, 2014:53). Tak hanya berhasil menarik hati 3,7 juta penonton awam, ketika itu menonton Ayat-Ayat Cinta menjadi strategi para politisi untuk mencitrakan diri sebagai seorang "muslim yang setia", tulis Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2014).
Dalam Gender and Islam in Indonesian Cinema (2016), Alicia Izharuddin menyatakan bahwa tak berlebihan jika mengatakan Ayat-Ayat Cinta adalah film yang menjadi pemicu bangkitnya genre film Islamidi layar lebar Indonesia. Setelah Ayat-Ayat Cinta, film dengan struktur narasi dan elemen simbolisme yang sama bermunculan mulai dari Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 (dua film ini dirilis di tahun yang sama, 2009), Dalam Mirhab Cinta (2010), 99 Cahaya di Langit Eropa Part 1 & Part 2 (2013 dan 2014), Assalamualaikum Beijing (2014), dan Surga yang Tak Dirindukan 1 dan 2 (2015 dan 2017) mengikuti jejak film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo itu.
Dalam arus yang sama namun dengan sutradara yang berbeda (Guntur Soeharjanto) akhirnya Ayat-Ayat Cinta 2 (selanjutnya AAC 2) pun dirilis di layar kaca pada 21 December 2017—sembilan tahun setelah film pertama yang fenomenal itu. Film ini melanjutkan kisah Fahri sebagai sosok intelektual muda, modern, dan sadar diri dan lingkungan. Namun, di AAC 2 ia sudah bukan seorang mahasiswa proletar, malah telah pindah ke Inggris dan menjadi dosen Filologi di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Dalam kesehariannya, Fahri mengenakan jas modern, diantar jemput dengan mobil pribadi oleh Hulusi (asisten rumah tangga), dan tentu tak berjanggut.
Konflik di AAC 2, seakan senada dengan film yang pertama, masih didominasi oleh peran ajaran Islam dalam menyelesaikan permasalahan cinta dalam ranah personal. Akan tetapi, bukan berarti film ini tak mencoba untuk menggali pembaharuan ajaran Islam sebagai kompas yang relevan dalam menjawab berbagai isu-isu sosial—mulai dari isu keragaman budaya, Islamofobia, dan konflik Palestina-Israel coba diangkat oleh film yang diproduksi oleh Manoj Punjabi ini. Sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin terlebih dahulu membahas anatomi film bergenre Islami.
Menilik Genre Film Islami
Hal pertama yang perlu diklarifikasi adalah definisi film Islami (masih) berada dalam kontestasi. Bahkan pembuat film Islami memilih untuk tidak mengklaim atau mempromosikan film mereka sebagai 'film Islami', agar tidak mengurangi potensi penonton mengingat pemahaman terhadap Islam yang juga beragam. Akan tetapi, bukan berarti formulasi genre film Islami tidak dapat dilakukan. Dalam “Independent versus mainstream Islamic cinema in Indonesia; Religion using the market or vice versa?” (2012), Tito Imanda menjelaskan bahwa film Islami adalah film yang merepresentasikan kehidupan penganut agama Islam.
Adapun bagi kritikus Ekky Imanjaya, film Islami memiliki tujuan untuk menuntun muslim agar mempraktikkan perilaku muslim yang dipandang baik dan memperkuat iman. Sementara itu, Izharuddin (2017) menjelaskan bahwa film Islami mengkombinasikan penggunaan ayat-ayat Al-Quran, masjid, kerudung, jilbab, cadar, atau/dan pesantren sebagai simbol-simbol utama yang ditampilkan dalam film. Selain itu, ada juga representasi mengenai etika-etika keislaman yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Film bergenre Islami setelah runtuhnya rezim Orde Baru layaknya Ayat-Ayat Cinta, terang Ariel Heryanto, merupakan produk hibrida yang menggabungkan simbol dan teks Islami dengan elemen non-Islam yang berasal dari Bollywood dan Hollywood. Argumentasi ini masih sangat relevan untuk AAC 2, di mana imaji kesalehan muslim digabungkan dengan imaji muslim kelas menengah—kaya, pintar, dan kosmopolitan.
Namun, definisi film Islami tidak semestinya hanya sebagai produk budaya yang menuntun kesalehan individu saja tetapi menjadi sebuah karya yang menunjukkan potensi dan relevansi Islam dalam menjadi solusi terhadap berbagai masalah sosial. Melalui esainya yang bertajuk "'Muslim Sosial' dan Pembaharuan Islam dalam Beberapa Film Indonesia" (2011), kritikus film Eric Sasono juga menerangkan dalam kasus film Islami “pembaharuan bisa dipahami ketika kita berusaha memahami konteks bagi film-film tertentu yang dianggap membawa gagasan untuk memperbaharui Islam itu.” Kacamata pembaharuan sosial ini yang akan saya gunakan sebagai lensa utama dalam mengulas AAC 2.
Ayat-Ayat Cinta 2: Usaha Pembaharuan yang Setengah Matang
Fahri kembali berada dalam situasi cinta segitiga yang sedikit berbeda. Kali ini Fahri memutuskan untuk menikahi Hulya (sepupu Aisha). Keputusan ini dilakukan karena Aisha telah lama menghilang dan tak ada kabar. Hanya ada informasi simpang siur bahwa Aisha bersama temannya menjadi korban serangan militer Israel di Jalur Gaza.
Dalam menjawab kegamangan karena hilangnya Aisha, ajaran Islam berfungsi sebagai solusi bagi Fahri dalam menjawab dilema ini: ikhlas menerima kenyataan bahwa hilangnya Aisha adalah wujud kekuasaan Allah sekaligus menerima bahwa Hulya adalah takdir cinta baru Fahri. Dalam konflik ini, kekuatan ajaran Islam kembali dikerangkeng ke ranah yang personal, seolah-olah agama adalah jawaban bagi tiap masalah percintaan. Tak hanya itu, Fahri yang digambarkan sebagai sosok lelaki saleh, kaya dan modern seakan tak mengalami dilema batin soal Aisha, yang cukup ia selesaikan seusai satu kali salat dan bercakap selama 30 detik dengan temannya.
Ketika Ayah Hulya bertemu dengan Fahri untuk menawarkan putrinyasebagai istri, Hulya merasa tak siap karena ingin konsentrasi melanjutkan pendidikan magister (Fahri pun akhirnya menolak tapi bukan karena ia peduli dengan pentingnya pendidikan buat Hulya melainkan karena ia belum menyelesaikan kegundahannya tentang Aisha). Setelah Fahri menyelesaikan kegundahannya tentang Aisha di bangku sebuah taman ia kemudian melontarkan proposal pernikahan kepada Hulya. Alih-alih Hulya ngomong soal rencananya untuk konsentrasi S2, ia malah menerima proposal dari sang lelaki sempurna dengan tawa dan air mata.
Kontradiksi antara raison d'etre para karakter perempuan dengan perilaku/pandangan mereka pada babak konflik maupun resolusi tak hanya terjadi pada karakter Hulya (yang sejak awal film digambarkan sebagai sosok intelektual yang kecerdasannya menyaingi Fahri). Karakter Keira misalnya, di awal film ia digambarkan sebagai seorang pemain biola berbakat yang ingin berkarier secara global.
Namun, usaha ini terhambat karena ayahnya terbunuh dalam sebuah serangan teroris di London sehingga tak ada lagi uang untuk les biola. Keira yang tinggal tepat di depan rumah Fahri, melampiaskan kemarahannya terhadap realita itu kepada Fahri sebagai tetangga muslimnya dengan menulis ‘Monster’ di mobil Fahri. Akan tetapi Fahri sebagai seorang sosok yang lagi-lagi sempurna, diam-diam membayar guru les biola terwahid untuk mengajar Keira. Setelah Fahri menikah dengan Hulya, Keira kemudian mengetahui kebaikan hati Fahri.
Kira-kira apa yang Keira katakan/janjikan sebagai bentuk balas budi kepada Fahri? Berlatih lebih keras sebagai seorang pemain biola agar bantuan Fahri tak sia-sia? Tentu tidak.
Keira meminta Fahri untuk menikahinya. Karakter Keira tiba-tiba berubah dari seorang pemimpi besar menjadi pengemis cinta. Padahal karakter Keira yang asli Skotlandia dan Fahri yang Muslim Melayu bisa menjadi awal untuk menggali aras intelektual dan sosial Islam dalam menghadapi isu Islamofobia dan keberagaman (yang merupakan isu panas semenjak 9/11, War on Terror, dan isu pengungsi Suriah di Eropa). Sayangnya, isu sosial ini justru kembali direduksi dalam ranah yang personal yang lagi-lagi berkubang dalam urusan cinta.
Kontribusi AAC 2 dalam pembaharuan Islam sedikit terlihat dalam kasus Nenek Catarina yang seorang Yahudi. Fahri membantu Nenek Catarina untuk lepas dari kejahatan anaknya (mantan anggota militer Israel). Dalam suatu adegan, Hulusi menolak untuk mengantar Nenek Catarina ke Sinagoga. Fahri pun marah. Ia mengatakan bahwa sikap mengutuk tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (seperti yang dilakukan militer Israel) harus dibedakan dengan sikap kebencian kepada orang yang dianggap sebagai representasi identitas dari pelaku kejahatan tersebut. Untuk isu ini, penjelasan Fahri yang mengikutsertakan teks Islami sangat relevan dalam mendorong sebuah pembaharuan. Pernyataan yang mau disampaikan: ada bedanya mengutuk zionisme (sebuah tindakan kejahatan-imperialis) dan membenci orang Yahudi hanya karena mereka Yahudi.
Narasi mengenai Yahudi dan Islam di AAC 2 juga dilekatkan dengan cerita mengenai Aisha ketika menjadi tahanan tentara Israel. Ketika menjadi tahanan Aisha memilih untuk merusak wajahnya dan vaginanya agar tidak diperkosa. Ia, singkatnya, tidak ingin "kehormatannya" direnggut. Namun, narasi otoritas Aisha terhadap tubuhnya menjadi sangat kontradiktif ketika berulang kali melalui monolog/dialog ia merasa hancur dan "bukan Aisha yang sama" karena pengalaman tersebut. Pada titik ini, AAC 2 tidak kemana-mana: ia meletakkan kehormatan perempuan semata pada pada tubuhnya. Saya pun bertanya-tanya: "Apa sudah gila film ini? Lalu bagaimana dengan kehormatan para penyintas kekerasan seksual atau pemerkosaan?"
Pada akhirnya, AAC 2 sebagai sebuah film bergenre Islami masih penuh dengan kontradiksi dalam pesan pembaharuan yang ingin disampaikan kepada penonton. Masalah-masalah sosial yang menjadi tantangan Islam dalam era ini justru malah direduksi menjadi drama soal cinta penuh dengan romantisasi kesalehan Fahri sebagai sosok lelaki muslim yang "sempurna" ... di tengah perempuan-perempuan yang digambarkan "tidak sempurna", mudah jatuh cinta, bahkan irasional.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Windu Jusuf