Menuju konten utama
Misbar

Yang Dicari dalam Panduan Mempersiapkan Perpisahan

Panduan Mempersiapkan Perpisahan karya Adriyanto Dewo, tayang secara eksklusif di kanal Bioskop Online.

Yang Dicari dalam Panduan Mempersiapkan Perpisahan
Panduan Mempersiapkan perpisahan. FOTO/IMDB

tirto.id - Adriyanto Dewo kembali dengan karya anyar. Sineas yang menyutradarai Tabula Rasa (2014) dan Mudik (2019) kini merilis Panduan Mempersiapkan Perpisahan yang tayang secara eksklusif di kanal Bioskop Online.

Sekilas, film ini seperti menyiratkan keberlanjutan dengan karya Dewo sebelumnya yang bertajuk One Night Stand (2021). Keduanya sama-sama menggunakan latar suasana khas Kota Yogyakarta, dan salah satu peristiwa utama dalam One Night Stand adalah pemakaman yang notabene merupakan representasi perpisahan.

Calon penonton sudah pasti bisa menebak tentang apa jalan cerita filmnya cukup dari judul di atas. Pertanyaan yang lebih penting mungkin hadir dalam benak masing-masing: kenapa perpisahan butuh semacam panduan? Lagipula, siapa sebenarnya yang hendak berpisah?

Permainan Bentuk

Pertama-tama, saya tertarik mendedah desain visual yang diterapkan oleh Dewo dalam film terbarunya. Sedari babak pembuka, film ini tampak jelas memakai narasi nonlinear. Penonton diperkenalkan pada Bara (Daffa Wardhana) dan Demetria Florencia (Lutesha) dalam jalinan kisah dengan alur maju mundur.

Tanpa banyak basa-basi, kongkow perdana sepasang karakter protagonis di layar langsung mengisyaratkan sebuah referensi kreatif yang saya duga hampir pasti mengisi kepala sang sutradara selama proses produksi.

Demetria asyik mengungkit sebuah karya lokal legendaris yang berasal dari dasawarsa 1960-an. Pembuatnya pun bukan tokoh main-main. Film dimaksud berjudul Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1969), besutan sutradara kenamaan Asrul Sani.

Menurut pemahaman Demetria, karakter Palupi adalah individu yang labil, cepat bosan, serta tidak jelas maunya apa. Pada akhirnya, Palupi tak mendapatkan apa-apa. Ia hanya menjadi korban dari kepuasan semu dan kedamaian palsu.

Yang menarik, Demetria kemudian tanpa sadar menjadi serupa dengan Palupi. Perkembangan karakter Demetria tak ubahnya reinkarnasi Palupi di era pascamodern. Transformasi secara perlahan itulah yang lantas memantik terciptanya momen perpisahan.

Hal menarik kedua yang saya amati tak jauh-jauh dari kerangka estetika visual. Bila film terdahulu sangat terkenal dengan beragam penafsiran atas penggunaan warna yang amat membekas, maka film berikutnya turut bermain-main di ranah serupa.

Dewo tetap memanfaatkan dikotomi masa kini dan masa lalu dalam struktur narasi nonlinear pilihannya. Namun, ia memutuskan untuk menunjukkan penanda periode dengan warna yang terbalik. Bila biasanya warna hitam putih digunakan sebagai penanda masa lalu, ia justru menggunakan warna ini guna merujuk masa kini, dan framing berwarna untuk peristiwa masa lalu.

Keputusan kreatif semacam ini sesungguhnya sederhana sekali. Tapi dalam konteks yang tepat, penggunaannya berpeluang menghadirkan sensasi sinematik yang luar biasa. Belum lagi ketika eksplorasi warna itu berpadu dengan efek cermin (mirror effect) antar tokoh.

Konklusi naratif pun tak muluk-muluk. Tidak ada plot twist yang membuat orang bergumam, “hah, kok gini?”. Segalanya berjalan sesuai persepsi semula, bahwa muaranya akan berupa perpisahan belaka.

Maka bentuk-bentuk visual yang diutak-atik sepanjang film bisa dibilang melayani satu tujuan: mendedah seraya membedah perjalanan Bara bersama Demetria menuju titik perpisahan dimaksud. Mengapa dan bagaimana adalah pertanyaan nomor kesekian, sebab penggalian rasa (pathos) yang terutama.

Di sepanjang perjalanan itu terdapat banyak titik dan momen yang layak dijadikan panduan bagi siapapun yang hendak menggali kedalaman ontologis dari sebuah perpisahan. Namun bagi mereka yang getol menyangkal perpisahan, mungkin film ini bukan untuk kalian.

Infografik Misbar Panduan Mempersiapkan perpisahan

Infografik Misbar Panduan Mempersiapkan perpisahan. tirto.id/Fuad

Permainan Narator

Dewo mengawali penceritaannya dengan menampilkan kumpulan teks putih di layar yang dibacakan oleh karakter Bara. Penonton dapat langsung menangkap bahwa semesta kisah tersebut diperkenalkan dari sudut pandang sang protagonis laki-laki.

Pilihan yang sedemikian rupa tak pelak memunculkan sepasang konsekuensi: di satu sisi ia mampu lebih efektif menggiring emosi audiens sesuai kehendak sutradara, di sisi lain ia menyiratkan ketimpangan bercerita yang lahir akibat ketiadaan perspektif Demetria.

Menilik gaya narasi di atas, wajar adanya bila Demetria seakan diposisikan sebagai figur antagonis di sini. Namun, siapa bilang segala pernyataan tekstual Bara otomatis membuat dirinya menjadi narator yang terpercaya?

Persepsi yang dikemukakan oleh editor sebuah penerbit yang tertarik mempublikasikan buah tangan Bara cukup mewakili argumentasi di atas. Di mata sang penyunting naskah, Bara tampak memadupadankan pengalaman (atau imaji?) personal dalam kemasan fiksi.

Lebih lanjut, bila Bara memang merupakan seorang narator dengan kredibilitas teruji, maka ia mustahil mengetahui pergumulan batin Demetria yang luar biasa hebat beberapa jam sebelum pernikahannya berlangsung.

Siapa yang kiranya memberitahu Bara mengenai peristiwa teramat personal seperti itu? Mereka berdua tidak punya mutual friend sama sekali, kecuali gerbong kereta yang menjadi saksi bisu kedatangan Demetria ke Jogja sembari menjadi penanda transisi tiap babak.

Jika kita kaitkan dengan permainan bentuk yang saya bahas dalam subjudul pertama, akan terlihat pula bahwa penggambaran tokoh Demetria begitu konsisten sejak perjumpaan perdana mereka di galeri seni. Di sini perihal konsistensi memegang peranan penting.

Sang perempuan datang dan pergi sesuka hatinya, ia doyan menggoda Bara hingga rasa pria tersebut luluh lantak, serta mahir memainkan diksi yang segar bagi kedua belah pihak. Di atas semuanya, Demetria kerap menegaskan bahwa ia “kabur” ke Jogja, menjauhi hidupnya yang monoton di Jakarta.

Segala konsistensi itu runtuh tatkala sekuens kegalauan Demetria mencapai puncak dan siap meledak di hadapan keluarga serta calon suaminya. Lagi-lagi, bila Bara memang seorang narator yang akuntabel, penonton takkan pernah sadar akan seluruh rentetan luapan emosi itu.

Apakah Bara sedang semata-mata curhat melalui ungkapan-ungkapan tekstualnya? Atau justru ia tengah memposisikan diri sebagai korban dan terus menerus menyalahkan Demetria tanpa mengeluarkan usaha yang cukup guna mencari kebenaran tentangnya?

Mungkin salah satu alasan mendasar mengapa integritas karakter Bara selaku narator tunggal semakin sering dipertanyakan seiring progresi durasi film adalah karena ia mengabaikan hal-hal lain demi tekad mengejar sebuah sasaran spesifik. Ia cuma ingin mempersiapkan diri menghadapi rupa perpisahan yang tidak sanggup ia hindari.

Dalam proses yang ia jalani, secara tidak langsung ia telah turut berkontribusi terhadap pengonstruksian semacam panduan bagi mereka yang juga tengah menyongsong perpisahan. Meskipun begitu, yang mampu Bara tawarkan tak lebih dari sekadar remah-remah petunjuk.

Sebab sesungguhnya perpisahan adalah pengalaman yang sangat privat, sangat individual, serta sangat membekas terhadap sanubari orang per orang. Reaksi mereka pun akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain ketika menyikapi dampak fenomena perpisahan.

Panduan Mempersiapkan Perpisahan tidak mungkin memberi petunjuk arah yang baku dan terperinci tentang bagaimana menyongsong sebuah perpisahan. Film ini hanya sanggup memantik pertanyaan fundamental dalam diri setiap orang tentang cara menangani perpisahan.

Masing-masing kita harus mencari "standard operational procedure" yang paling sesuai untuk kita sendiri. Dan bila kamu telah memahami substansi tersebut, sudahkah kamu tahu apa yang akan kamu cari dalam panduan mempersiapkan perpisahanmu kelak?

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Mild report
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi