Menuju konten utama

Evolusi Penjara Waktu Stone Turtle

Penemuan tujuan atau sasaran dari segala yang manusia lakukan menjadikan waktu menjadi sumber daya yang luar biasa.

Evolusi Penjara Waktu Stone Turtle
Stone Turtle. foto/imdb

tirto.id - Waktu adalah jenis ukuran yang mempunyai kapabilitas paling ampuh untuk memerangkap manusia dalam siklus tak berujung yang hanya berisi stagnasi dan kondisi monoton.

Namun, seperti semua tipe penjara yang pernah eksis di dunia material, selalu tersedia jalan keluar. Kunci untuk lepas terletak pada penemuan tujuan atau sasaran dari segala yang manusia lakukan. Dengan itu, waktu berubah menjadi sumber daya yang luar biasa.

Woo Ming Jin tampak ingin mengusung premis tersebut melalui film terbarunya, Stone Turtle (2022). Mengambil latar Malaysia, kisah di persimpangan metafisik ini digawangi oleh aktris utama asal Indonesia yang sedang naik daun.

Stone Turtle mendapat sambutan meriah di 75th Locarno Film Festival dan menggondol penghargaan bergengsi, FIPRESCI Prize.

Setelah singgah ke beberapa festival lainnya, penonton di Indonesia kini dapat menikmati sajian yang memadukan ciri genre filmmaking dengan format art-house bernuansa antropologis ini lewat kanal streaming Amazon Prime Video.

Lantas, bagaimana sang sineas mengemas penjara waktunya? Serta bagaimana pula penjara waktu tersebut berevolusi mengikuti progresi narasi film?

Alegori Penyu

Stone Turtle sesungguhnya mendedah banyak topik: hak dasar imigran, penangkaran hewan yang dilindungi, sanksi religius, impian, reinkarnasi, praktik kekerasan, hingga ketidakadilan.

Seluruh isu itu terwakili oleh sebuah cerita rakyat turun-temurun tentang sepasang penyu yang tengah dimabuk asmara tapi terpaksa terpisah akibat hantaman "ombak".

Hukuman yang diterima penyu jantan akibat kegagalannya menaklukkan godaan ketamakan membuat pasangannya, penyu betina, tersiksa sekian lama dalam upayanya mencari penawar bagi kutuk tersebut.

Setelah entah berapa tahun berlalu, penawar akhirnya berhasil direngkuh dan penyu jantan lepas dari kutukan yang mengubah tubuhnya menjadi batu. Namun ia tak menemukan penyu betina, kemudian memilih menghabiskan waktu yang tiada terhingga (eternity) demi mencari sang pujaannya.

Pada pengujung kisah, masing-masing penyu terpenjara oleh sang waktu. Mereka diperbudak, terbatasi, serta mengalami situasi nelangsa sedemikian rupa. Padahal mereka sejatinya memiliki tujuan yang jelas.

Demikian halnya dengan Zahara (Asmara Abigail). Ia mempunyai skema yang jelas bagi Nika (Samara Kenzo), gadis kecil yang kini menjadi tanggung jawabnya. Ia juga merancang rencana yang komprehensif guna mewujudkan cita-citanya.

Ketika karakter Samad (Bront Palarae) yang berpura-pura mengenai maksud kedatangannya tidak sadar bahwa dirinya tengah dimanipulasi, Zahara tinggal sedikit lagi mencapai pintu yang akan melepaskannya dari jebakan siklus masa lalu yang kerap menghantui.

Tatkala ia benar-benar membuka pintu itu, ia mendapati dirinya kembali ke titik nol, seakan-akan segala yang baru saja ia alami tak pernah terjadi. Apa yang salah? Bukankah tujuannya gamblang sehingga waktu seharusnya tunduk padanya?

Ilusi Kebebasan

Rencana matang Zahara mensyaratkan tindak kekerasan pada bagian epilog. Anehnya, setiap kali kekerasan tuntas terlaksana, jalinan waktu mengalami reset. Segala isi semesta film kembali pada kondisi awal, mulai dari menit pertama. Zahara tak mengerti, ia bingung kenapa jadinya begitu.

Film ini memakai format time-loop yang memantik beragam interpretasi filosofis.

Varian-varian yang muncul kemudian sebagai konsekuensi dari pengaktifan ‘tombol’ reset dimaksud menunjukkan beberapa detail adegan yang berbeda dari adegan pendahulunya, namun esensi yang mencuat tetap sama: Zahara tidak bebas, dan ia dihukum untuk melampiaskan dendamnya sampai masa yang tak terhingga.

Dendam melahirkan dendam, demikian petuah bijak yang telah bertahan selama ribuan tahun. Saat tujuan manusia adalah membalas dendam, aksinya justru akan menciptakan dendam baru yang tak berkesudahan.

Alih-alih terbebas dari nelangsa jiwa yang menyiksa, sang pembalas dendam harus terus menuntaskan rasa dahaga yang melanda. Mirip seperti legenda Yunani kuno tentang Sisyphus yang dua kali menipu kematian.

Pada titik ini, waktu tidak bertransformasi menjadi sumber daya yang berperan strategis. Waktu malah berevolusi menjadi ahli perangkap yang lebih kompleks, memanfaatkan tujuan negatif manusia yang mengandung itikad buruk.

Mungkin Zahara gagal memahami poin tersebut. Sedari awal film, ia adalah korban ketidakadilan. Namun caranya mencari keadilan justru membawanya menyusuri pantai tak bertuan yang dipenuhi oleh jejak pemujaan atas dendam (diwakili oleh ritual pembakaran boneka penyu batu sebagai simbol penolak bala).

Kegagalan pemaknaan itu berakibat fatal. Nika menghilang secara tiba-tiba. Pencarian Zahara menelusuri bibir pantai tak membuahkan hasil. Secara visual, putusnya ikatan batin antara Zahara dan Nika direpresentasikan dengan sangat ciamik oleh ketidaksinkronan antar adegan keduanya.

Infografik Misbar Stone Turtle

Infografik Misbar Stone Turtle. tirto.id/Ecun

Memasuki periode puncak konflik, sekuens-sekuens selanjutnya justru menggambarkan gadis kecil itu melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan pada varian-varian sebelumnya seorang diri.

Meski demikian, Nika bukannya kebal dari penjara waktu. Ia tak bisa mendaftar sekolah akibat status orang tua dan kewarganegaraannya diragukan, alhasil ia terjebak di sudut terjauh dari konstruksi sosial masyarakat sekitar.

Nika memang masih terlalu belia untuk menyadari penuh jerat yang tengah mendera kehadirannya, namun ketika masanya tiba kelak, Waktu takkan buang-buang waktu menyeret dirinya sebagai penghuni penjara teranyar.

Kita lantas menyaksikan sang protagonis menghabiskan masa demi masa dalam penjara waktu yang sekarang jauh lebih sepi. Ia menemukan sisa-sisa buah tangan Nika, namun tak lagi kuasa menggapai tubuh fisik sang gadis.

Perlahan, Zahara tampak lupa pada riwayatnya. Memorinya aus digerogoti oleh waktu. Orang lain tak lagi mengenali wajahnya. Penampilan fisiknya kian abstrak, tak berbentuk, tak merupa.

Tak pelak Zahara semakin lupa siapa dirinya dalam kungkungan penjara waktu yang terus beradaptasi dan berkembang, mungkin pula amnesia terhadap tujuannya mencari Nika. Presensinya kini mewadah dalam cerita rakyat tentang hantu yang mendiami pulau terpencil.

Lama-lama, tubuh Zahara membatu. Persis seperti penyu jantan dalam dongeng lokal di atas. Ia hidup, namun ia sesungguhnya mati. Eksistensinya hampa, melayang-layang tanpa sanggup keluar dari pulau terpencil yang kini menjadi konstruksi fisik dari penjara waktu.

Shot terakhir film menggambarkan wujud akhir Zahara dengan begitu puitis: tatkala karakter protagonis benar-benar kehilangan kemampuan untuk sekadar menoleh, maka audiens tak pernah benar-benar mengetahui bagaimana rupanya, atau bagaimana kemanusiaannya, saat ini.

Baca juga artikel terkait ASMARA ABIGAIL atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Mild report
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Irfan Teguh Pribadi