tirto.id - Rapi Films yang menuai sukses bombastis tahun lalu melalui Pengabdi Setan 2: Communion merilis produk horor perdana di tahun 2023 lewat Waktu Maghrib.
Waktu Maghrib merupakan debut penyutradaraan film panjang Sidharta Tata yang lebih dulu tenar melalui film pendek Natalan maupun Hitam the Series.
Film ini mengimajinasikan ulang kisah lawas yang sering dilantunkan orang tua kepada anak-anaknya terutama di daerah pedesaan: segera masuk rumah bila magrib tiba, atau kamu akan diculik setan-setan yang berkeliaran menjelang malam.
Tiap-tiap daerah biasanya memiliki versi lokal dari mitos itu. Agaknya kesadaran atas keragaman ini yang membuat pendekatan estetik, termasuk konstruksi makhluk astral, dalam Waktu Maghrib dirancang agar penonton dari daerah manapun merasakan kedekatan dengan semesta narasinya.
Mengambil latar tahun 2002 di sebuah desa marjinal di seputaran Jawa Tengah, Waktu Maghrib sepenuhnya berfokus pada alam pikir anak-anak yang berasal dari dua linimasa berbeda: masa lalu dan masa kini.
Kata orang bijak, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Demikian pula kesalahan anak-anak di masa lalu kerap terulang di masa sekarang dengan plot yang nyaris sama: melanggar pantangan untuk kelayapan setelah magrib .
Budaya Kolektif
Rasanya hampir seluruh kampung/desa di Indonesia memiliki dongeng mistis lokal yang berkutat dengan anak-anak dan senja. Variasi ceritanya memang amat beragam, namun intisari yang sama kadung jauh tertanam.
Magrib selaku penanda transisi dari terang siang ke gelap malam kerap dikisahkan secara turun temurun sebagai periode waktu di mana roh-roh jahat keluar dari sarang mereka dan berkeliling mencari mangsa. Anak-anak yang masih polos pun menjadi sasaran empuk.
Adi (Ali Fikry) dan Saman (Bima Sena) adalah sepasang sahabat yang duduk di bangku kelas 1 SLTP. Mereka seringkali terlambat masuk sekolah hingga selalu menerima hukuman dari gurunya, Bu Woro (Aulia Sarah).
Di sisi lain teman sebaya mereka, Ayu (Nafiza Fatia Rani), merupakan siswa kesayangan Bu Woro. Ia memiliki seorang paman bernama Karta (Andri Mashadi). Kondisi kejiwaan Karta terganggu sehingga ia dibiarkan tinggal sendirian di pinggir hutan desa.
Karta adalah penyintas tunggal dari sebuah peristiwa traumatik yang terjadi di desa itu sekitar 30 tahun silam. Bersama dua temannya, Wati (Bebe Gracia) dan Drajat (Adyano Rafi Bevan Putra), mereka bermain sampai magrib dan harus menanggung konsekuensi fatal.
Saman mengulangi kesalahan Karta di masa kini. Ia mengajak Adi menonton pertunjukan wayang di kampung tetangga ketika hari sudah malam. Dalam perjalanan, mereka membahas ketidaksukaan kepada Bu Woro hingga Saman mendadak menyumpahi gurunya itu. Alhasil, teror lama kembali hadir mengusik warga desa.
Fenomena sadis datang silih berganti, berkamuflase menjadi semacam parasit yang menjangkiti tubuh anak-anak tersebut. Pada titik ini, kesamaan warisan kultural yang eksis di masing-masing kampung/pedesaan di seantero Indonesia kemudian terpampang nyata.
Di tengah penetrasi teknologi yang kian masif, budaya menakut-nakuti anak-anak agar segera pulang ternyata terus terpelihara khususnya di kawasan rural. Meskipun film ini berlatar 4 tahun pasca Reformasi 1998 tatkala ekosistem digital belum seekspansif sekarang, relevansinya masih terasa kuat.
Atas dasar itu, Waktu Maghrib memang diniatkan untuk menggugah ingatan lama dari generasi terdahulu yang kini telah berusia paruh baya sekaligus menanamkan benih mitos tersebut dalam benak generasi muda kekinian, tanpa perduli dari mana pun asal mereka.
Lantas timbul secercah pertanyaan: apakah pengaruh hal-hal mistis sudah sedemikian kokoh terpatri dalam tradisi kolektif masyarakat Indonesia?
Ironi Senja Kala
Melalui film Kala (2007), sebuah karya noir yang tidak banyak meraup penonton pada masa tayangnya di bioskop namun kerap kali diperbincangkan, Joko Anwar secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia merupakan negeri yang identik dengan keyakinan mitologis.
Satu setengah dekade berselang, pernyataan tersebut tetap sahih dalam banyak dimensi kehidupan sosial kita, tak terkecuali eksplorasi imajinatif film-film horor. Joko turut mengembangkan ciri serupa lewat dwilogi Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam.
Ekosistem gaib memang telah menjadi komoditas hiburan paling menjanjikan dalam industri film nasional selama bertahun-tahun, namun ruang lingkup semacam itu pula yang menghalangi epistemologi masyarakat kita untuk naik kelas.
Dunia yang semakin bergerak maju berkat akselerasi teknologi, konstruksi realitas virtual, serta pembongkaran batas-batas konvensional membuat seluruh penduduk bumi sejatinya bertransformasi menjadi warga kampung global (global village).
Dalam semesta kampung global yang sedemikian kental dengan dasar rasionalitas, akan cukup sulit menemukan tempat yang sesuai bagi penduduk yang berasal dari Indonesia. Kebenaran materiil tentu nyaris mustahil berpadu dengan keyakinan metafisik.
Keyakinan tersebut nyatanya tampil gamblang dalam progresi naratif Waktu Maghrib.
Jimat penangkal bala, suguhan hibrida jin dan manusia, motif pembongkaran makam Saman oleh karakter Adi versi zombie, serta beberapa plot device lain tidak repot-repot membangun basis logika di balik setiap pengambilan keputusannya.
Rasionalitas dalam film ini seakan merupakan anak haram, sebagaimana rasionalitas adalah anak tiri dalam kerangka berpikir kolektif rakyat. Sepanjang fenomena tak kasat mata memperoleh deskripsi berbau spiritual, maka logika material tak lagi bernilai penting.
Pasrah dan ketakutan alih-alih mengkritisi dan berupaya mencari penjelasan empirik, masih sebanal itulah cerminan budaya kolektif kita di era 4.0. Persis seperti warga desa yang menarik anak-anaknya untuk pulang seraya menutup pintu rumah rapat-rapat begitu adzan senja kala berkumandang di kejauhan.
Sidharta Tata mungkin asyik mendedah kenangan masa kecilnya sembari mengajak penonton filmnya bernostalgia. Sayangnya ia mengabaikan kesempatan membangun kreasi horornya di atas fondasi rasionalitas yang lebih sesuai dengan konteks zaman dewasa ini.
Berkaca dari kenyataan itu, Waktu Maghrib tampaknya hanya berkonsentrasi menjelajahi tradisi kolektif masa lalu tanpa melempar gagasan transformatif mengenai paradigma kolektif masa depan, yang kian mendekati garis senja kala.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi