tirto.id - Apa jadinya bila Garin Nugroho membuat sebuah film horor?
Pertanyaan tersebut mungkin telah sekian lama menjadi pertanyaan banyak orang. Film Puisi Cinta yang Membunuh, yang disutradarai oleh Garin Nugroho menjawab rasa penasaran tersebut.
Film ini dibuka dengan penampilan Rendy (Morgan Oey). Ia merupakan seorang chef selebriti yang sering menebar pesona kepada sekumpulan pemasak pemula, termasuk kepada Ranum (Mawar Eva de Jongh). Sang chef lantas mendatangi apartemen Ranum dan melemparkan segudang kata-kata memabukkan meskipun Ranum tak tertarik.
Dalam pesta ulang tahun pacarnya yang bertemakan Halloween, Rendy hendak menyuguhkan sebuah hidangan kejutan yang ia klaim takkan terlupakan. Tanpa ia duga, seseorang tengah mengintipnya. Malam itu berakhir dengan kepala sang chef tersaji sebagai hidangan utama.
Penghakiman terhadap manusia yang telanjur mengumbar kalimat penuh kasih sayang kepada Ranum ternyata tidak mengenal jenis kelamin. Ibu Deren (Kelly Tandiono), dosen Ranum sekaligus perancang busana kenamaan, turut meregang nyawa.
Teror kemudian seakan-akan berhenti tatkala sebuah sekte penghancur iblis menjebak Ranum dan menghujaninya dengan macam-macam ritual pengusir setan. Ranum lantas diselamatkan oleh pendamping konselingnya, Anna (Raihaanun Soeriaatmadja), beserta bibinya Laksmi (Ayu Laksmi).
Sepanjang menjalani proses pemulihan, Ranum bertemu dengan Hayat (Baskara Mahendra), seorang seniman yang berkonsentrasi pada sastra puisi. Teror datang lagi, dan Ranum harus berpacu dengan waktu guna menyelamatkan orang yang mungkin benar-benar ia cintai.
Memori yang Terdistorsi
Dalam suatu sekuens di tengah film, Hayat membawa Ranum menjelajahi beberapa lokasi yang menyimpan kesan mendalam baginya. Namun rupanya Ranum merasa familiar dengan tempat-tempat tersebut, walaupun ia tak mampu mengingat persis bagaimana ia bisa mengenal lokus-lokus dimaksud.
Contoh di atas seakan menjadi bukti bahwa Garin tampak bermain-main dengan penyimpangan ingatan dalam mengurai narasi filmnya. Pilihan-pilihan penyuntingan turut memperkuat persepsi tersebut melalui moda perpindahan cepat antar sekuens, asumsi tentang selisih waktu yang terlompati, serta kondisi psikologis setiap karakter yang berubah-ubah antar adegan.
Walaupun demikian, Garin menyelipkan sekelumit petunjuk linear dari kisah yang diutarakan Laksmi kepada Anna mengenai masa kecil Ranum, dan stigma negatif yang diderita keluarga besarnya selama beberapa generasi.
Petunjuk itu, berpadu dengan upaya Ranum membongkar “selaput” yang mengaburkan daya ingatnya, menuntun kita kepada sebuah penyingkapan penting menjelang klimaks film. Hanya setelah memahami penyingkapan krusial itulah, Ranum memiliki kekuatan anyar untuk menyelamatkan Hayat dari tragedi yang menunggu di depan pintu.
Semiotika Horor
Garin Nugroho membangun nuansa horor dengan mengeksplorasi beragam jenis trauma yang dihadapi oleh karakter-karakter dalam film. Tataran pertama berada pada sisi kolektif. Kita mengamati Anna membawakan materi kuliah seputar riwayat kekerasan pada anak-anak yang pernah dialami masyarakat Indonesia pada suatu masa.
Ada pula trauma yang terjadi pada tataran personal dalam frekuensi lebih tinggi. Kesendirian Ranum, sikap histeria Anna pada darah, serta kebrutalan Laksmi melawan perundungan semasa kecil merupakan contoh-contoh kuat yang timbul.
Keengganan Hayat menggunakan pensil ayahnya bahkan membuka celah bagi entitas astral yang ingin mencelakakan dirinya. Keseluruhan trauma tersebut menjadi pemantik efektif bagi kemunculan rasa takut, yang secara perlahan mendominasi pribadi masing-masing karakter.
Tentu lahir pula bentuk pemberontakan sebagai antitesis alamiah. Kita menyaksikan bagaimana Laksmi meneriaki Anna untuk melawan ketakutan Anna melihat darah, atau Ranum yang memberanikan diri merayakan ulang tahun seorang diri.
Khusus mengenai perayaan ulang tahun Ranum, saya menggarisbawahi sebuah keputusan kreatif guna memaksimalkan permainan simbol. Sedari awal, Garin secara konsisten menampilkan bayangan tangan selaku representasi metafisik. Setiap kali sosok tangan itu tiba, tandanya teror siap menyergap.
Namun setelah Ranum mengetahui rahasia penyingkapan secara utuh, tangan tersebut perlahan bertransformasi. Ia menjumpai Laksmi yang sedang memainkan lagu kesukaan keponakannya, seakan mengajak beliau bermain petak umpet yang sangat disenangi Ranum.
Lambat laun tangan ini lenyap, berganti dengan siluet gadis kecil. Ia menghampiri kamar apartemen Ranum di malam perayaan ulang tahunnya. Secara cerdik Garin menunjukkan bahwa siluet gadis kecil itu “merasuki” kamera. Maka kamera pun menjadi tubuh astral.
Di saat bersamaan, Ranum berhasil mengalahkan traumanya. Ia meruntuhkan fourth wall dengan memandang kamera tanpa sekalipun berkedip. Ia menyambut tangan sang peneror dengan berbekal sukacita baru. Kini tangan itu bukan lagi seonggok bayangan, melainkan tangan manusia yang memiliki kulit dan daging.
Melalui sebentuk bingkai sinematografi tunggal, Garin menggambarkan kemenangan karakter protagonis atas rasa takutnya, sembari memulai rekonsiliasi dengan aktor utama di balik teror pembunuhan yang selama ini “meminjam” wajah Ranum.
Trauma tidak membutuhkan deskripsi kronologis. Ia dapat tampil secara acak dan terpisah-pisah. Ia melawan arus waktu yang bergerak lurus ke depan. Terkadang ia bisa dikenang secara parsial, lain waktu ia tampil tanpa aba-aba dan mengejutkan semua pihak.
Agaknya, itulah alasan utama mengapa trauma, pada hakikatnya, adalah senjata mematikan yang menembakkan suasana horor ke segala penjuru. Ia pula penyebab utama mengapa sebagian manusia, negara, atau bangsa repot-repot mengubur sejarahnya sendiri jauh di kedalaman bumi.
Kemasan Puitis
“Aku tidak menjahit baju. Aku menjahit tubuh dan perasaan.”
Esensi yang kokoh tetap butuh bungkus sensasional. Maka, setiap eksekusi pembunuhan dalam film pun ditaburi bumbu syair-syair puitis sebagaimana tergurat di atas. Rangkaian syair tersebut lahir dari trauma juga, spesifiknya bersumber dari sebuah komik masa kecil yang kerap dilarang Ibu Kandung Ranum (Imelda Therinne) untuk dibaca.
Proses mekarnya bunga cinta diantara Ranum dan Hayat tidak terpisahkan dari sajak-sajak serupa. Ranum meminta Hayat menciptakan puisi termanis sebagai kado ulang tahun baginya, namun proses kreatif penciptaan itu justru dimanipulasi sedemikian rupa oleh entitas astral yang ingin mencelakakan Hayat.
Hayat kemudian sanggup mengatasi trauma personalnya. Ia menggoreskan bukti cinta sejati pada Ranum yang sedang berjuang menghalau sang peneror dengan pensil ayahnya yang telah ia hindari hampir seumur hidup.
Lompatan psikologis seperti itu tak pelak menahbiskan Hayat sebagai pasangan yang layak, seorang partner sepadan, serta pendamping yang setara bagi Ranum. Hati Hayat meranum matang dan berbuah tepat pada masa panen terbaik.
Pada akhirnya, bukan puisi cinta yang membunuh semua korban. Pelakunya adalah ketidakpercayaan yang tumbuh dari benih-benih trauma, dan kita baru menyadarinya tepat pada pengujung film. Puisi cinta semata-mata mempermanis sajian darah pengkhianatan itu.
Secara keseluruhan, Puisi Cinta yang Membunuh menyajikan kombinasi nuansa horor dan slasher nan puitis khas Garin Nugroho.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi