Menuju konten utama
Misbar

Last Film Show, Surat Cinta bagi Sinema & Dunia di Baliknya

Kisah yang dituturkan Last Film Show agaknya memang telah umum. Namun, ia tetap berhasil sebagai persembahan untuk dunia sinema dan orang-orangnya.

Last Film Show, Surat Cinta bagi Sinema & Dunia di Baliknya
Film Last Film Show. FOTO/IMDB

tirto.id - Mengembalikan kenangan ke sekitar satu dekade lalu rasanya belum terlalu jauh. Namun bagi sebagian orang, nostalgia yang dihadirkan bisa saja tetap istimewa. Demikianlah sutradara Pan Nalin mengenang masa kecilnya.

Kala itu, dia hanyalah seorang penjaja teh di kereta. Sampai kemudian, dia memutuskan pergi pada usia belasan awal demi mengejar gairahnya untuk menjadi pembuat film. Demikianlah latar dari kisah semi autobiografis Last Film Show (atau Chhello Show).

Film ini mengambil latar waktu sekitar 2010 di Chalala, sebuah kota kecil tepi rel di Gujarat, India. Waktu seolah beku di sini. Bahkan Galaxy Cinema, nama sebuah bioskop di sana, terkesan hadir dari masa yang lebih jauh lagi, mungkin 30-an atau 40-an tahun lalu.

Masa kecil sang sutradara dipaparkan lewat wujud bocah bernama Samay (Bhavin Rabari). Untuk pertama kalinya sejak balita, Samay diajak ayahnya pergi nonton film di bioskop—kali ini film religius ihwal Dewi Mahakali.

Samay sontak takjub dengan pertunjukan gambar bergerak, bahkan terpukau melihat kinerja proyektor seluloid. Seketika, dia menemukan lingkup yang memunculkan hasrat “aku-ingin-berada-di-sana”: sinema. Sayangnya, tentu saja perjalanannya bakal tak mulus.

Menurut sang ayah, Bapuji (Dipen Raval), dunia film adalah dunia yang kotor. Meski dunia itu sejatinya tampak lebih menjanjikan ketimbang kondisi hidup mereka sebagai anggota kasta Brahmana, ia berlawanan dengan nilai-nilai yang mereka anut.

Last Film Show merupakan kisah coming-of-age yang berfokus pada innocent-nya anak-anak, dengan harapan-harapan mereka yang penuh bunga. Samay bercerita via gambar di kotak korek api, membayangkan dunia dengan warna-warna berbeda alias menerapkan color grading dengan botol beling.

Demi menyaksikan Zulmi atau Jodhaa Akbar juga melihat aksi Shah Rukh Khan atau Anil Kapoor, Samay rela mencuri uang hasil jual teh untuk membeli tiket bioskop dan lebih sering lagi menyelinap. Kian jauh dari tipe ideal boy yang diproyeksikan sang ayah kepadanya.

Samay pun makin sering membolos sekolah dan malah berteman dengan operator pemutar film di Galaxy Cinema, Fazal (Bhavesh Shrimali)--yang disogoknya dengan chapati atau apa pun bekal yang biasa dibuat ibunya.

Sadar perlengkapan pembuat filmnya begitu terbatas, Samay mengajak rekan-rekannya mencuri rol-rol film dari bioskop, menggunting, dan mengambil sebagian dari film itu.

"Kita tidak bisa bikin film, tapi kita bisa membuat pertunjukan film!"

Berulang kali dipelasah sang ayah dan diempaskan ke luar oleh pengelola bioskop, tak membuat Samay berhenti. Hingga akhirnya, aksi dia dan teman-temannya ketahuan aparat. Samay pun mesti mendekam di penjara anak.

Lagi-lagi, Samay enggan berhenti begitu saja. Berbekal peralatan yang mereka kumpulkan dari bank sampah, Samay dkk. akhirnya berhasil menghadirkan pemutaran film yang cukup layak, yang juga disaksikan warga sekitar.

Momen yang sama mendorong perubahan cara pandang sang ayah terhadapnya.

Pengingat Gairah akan Gambar Bergerak

Di dunia sekarang ini, hanya ada dua kasta di India. Pertama, mereka yang berbahasa Inggris. Dan yang kedua, yang tidak bisa berbahasa Inggris,” tukas guru Samay di sekolah.

Ini menyingkap beberapa aspek sekaligus. Pertama, soal pertaruhan yang mesti dilakukan oleh anak dari luar kota besar demi meraih mimpi. Bagi Samay, itu berarti harus meninggalkan Chalala. Kedua, ia menyoroti iklim sosial di India.

Adapun kedua poin tetap terasa universal. Sebagaimana plotnya sendiri yang banyak meminjam dari Cinema Paradiso-nya Tornatore dan menghadirkan kisah yang bisa jadi cukup umum. Ia bisa terjadi di belahan dunia mana pun senyampang ada bioskop berdiri. Ide-idenya bisa mendarat di kepala bocah mana saja yang tertar pada film.

Infografik Misbar Last Film Show

Infografik Misbar Last Film Show. tirto.id/Fuad

Pemilihan latar waktulah yang justru memberikan dimensi tambahan untuk Last Film Show. Pada masa yang sama, setidaknya di Galaxy Cinema dan Gujarat, proyektor seluloid tergantikan dengan proyektor film digital. Ketika digabungkan dengan faktor kasta rendahan (dalam konteks tak bisa bahasa Inggris), ia memunculkan isu baru ketika Fazal sang proyektor film seluloid kini tak dibutuhkan lagi tenaganya.

Lapisan-lapisan itu membuat plot utama upaya merakit mimpi sekaligus merebut ruang hiburan ketambahan aspek manusiawi yang lebih intim, yakni menyelamatkan orang terdekat, laki-laki yang jangankan bermimpi, bisa menghidupi keluarganya saja sudah bagus.

Sementara itu, mesin-mesin pemutar film lantas dilebur menjadi sendok makan dan bergulung-gulung rol film dilelehkan didaur ulang menjadi bangle (gelang berwarna-warni).

Ketakjuban serupa di mata Samay dan teman-temannya juga bertahan dalam naratifnya. Sedari mula, Last Film Show telah menampilkan kredit untuk Lumiere brothers dan sederet sutradara seperti Tarkovsky dan Kubrick.

Begitu juga di akhir film. Nama-nama sutradara dan aktor populer disebut satu persatu selaku "avatar" dari gelang warna-warni yang dilihat Samay. Proses pembuatan sendok dan gelang yang diberikan porsi lebih di pengujung cerita, bisa jadi menunjukkan bahwa meski kini telah berubah fungsi, film-film itu tetap hidup dan berguna selamanya.

Pada periode saat film bisa diakses dengan satu klik atau ketukan jari, Last Film Show berupaya mengingat dan mempersembahkan sebuah tribut untuk para penggiatnya yang pernah dan masih ada. Tak hanya sutradara, tapi juga proses bagaimana gambar-gambar bergerak itu bisa sampai ke hadapan kita. Ada upaya menunjukkan kuatnya mimpi yang dihadirkan sinema.

Dengan modal set desa yang menyenangkan dan akting cukup meyakinkan dari para cast, Last Film Show dalam durasinya yang tak sampai dua jam bisa dibilang sukses menyampaikan poin-poinnya. Tak begitu istimewa, memang, tapi ia cukup ampuh mengembalikan gairah kita terhadap film berikut beragam aspek di baliknya. Mengingatkan kita akan ketakjuban yang kadang memudar.

Baca juga artikel terkait SINEMA atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi