Menuju konten utama
Misbar

Sri Asih, Paradigma Gender, dan Kepahlawanan

Penjabaran karakter Alana jelas sekali keluar dari pakem individu wanita yang terkungkung budaya patriarki.

Sri Asih, Paradigma Gender, dan Kepahlawanan
Film Sri Asih. FOTO/IMDB

tirto.id - Setelah dibuka dengan penampilan yang cukup meyakinkan dari Gundala yang sanggup meraup 1.699.433 penonton (dilansir dari laman filmindonesia.or.id) pada 2019 silam, Jagat Sinema Bumilangit/Bumilangit Cinematic Universe kembali menghentak melalui film keduanya yang berjudul, Sri Asih.

Film ini merupakan adaptasi dari seri buku komik klasik tanah air karya R.A. Kosasih yang telah rilis sejak 1954. Pada masanya, komik Sri Asih sangat laris di pasaran dan penjualannya pernah menembus angka 3000 eksemplar cetakan.

Sri Asih memulai kisah tentang seorang anak perempuan yatim piatu bernama Alana (Messi Gusti) dimana kedua orangtuanya tewas dalam bencana letusan gunung berapi. Film ini mengetengahkan perjuangan Alana dewasa (Pevita Pearce) melawan gejolak amarah yang kerap mengintimidasi dirinya melalui parade mimpi buruk secara berkala dalam proses tumbuh kembang di bawah asuhan ibu angkatnya, Sarita Hamzah (Jenny Zhang). Sarita diceritakan memiliki sasana pribadi, Sarita Fighting Club, sebagai wadah khusus untuk mendidik dan melatih para petarung muda profesional.

Di tengah pergumulan personal demi menaklukkan temperamen buruk tersebut, Alana bersinggungan dengan dunia kalangan kelas atas dan jejaring mafia. Ia bersua Mateo Adinegara (Randy Pangalila), anak tunggal pewaris konsorsium bisnis milik Prayogo Adinegara (Surya Saputra).

Sang ayah menyimpan ambisi guna membangun sebuah tatanan kota (dan kemudian negeri) yang hanya berisi satu kelas sosial ekonomi dengan cara menyingkirkan seluruh orang miskin sesegera mungkin.

Konflik yang menyeruak antara Alana dengan keluarga Prayogo sebagai konsekuensi langsung dari kegagalannya mengontrol emosi nyaris membuatnya luluh lantak sebelum diselamatkan oleh Eyang Mariani (Christine Hakim), sesosok tunanetra misterius, bersama anaknya, Kala (Dimas Anggara).

Pada sisi lain, kita menyaksikan pula bagaimana seorang aparat penegak hukum bernama Jatmiko (Reza Rahadian) mengalami dilema psikologis yang tampak begitu berat. Sebagai oknum polisi dengan kepribadian yang cenderung pasif namun selalu total dalam menjalankan tugas, posisinya terhimpit di antara cengkeraman dominasi Prayogo dalam internal kepolisian dengan penerimaan masyarakat yang semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi tempatnya berkarir.

Lain halnya dengan Jagau (Revaldo). Tangan kanan Prayogo Adinegara ini sehari-hari menjalankan tugas-tugas kotor sang bos sembari mengawasi gerak-gerik Mateo yang seringkali bersikap kekanak-kanakan. Kita juga akan diperkenalkan kepada Tangguh (Jefri Nichol), teman karib Alana semasa kecil di panti asuhan sekaligus seorang wartawan yang berkomitmen menginvestigasi kasus pembakaran rusun dan kawasan kumuh secara sistematis.

Kemudian Gilang (Fadly Faisal), selaku kompatriot latihan Alana di sasana yang sudah dianggap seperti adik sendiri oleh sang protagonis, serta Ghani Zulham/Ghazul (Ario Bayu), aktor intelektual dengan kontribusi yang sangat signifikan di balik nyaris seluruh peristiwa kekacauan yang terjadi dalam film Gundala. Ghazul digambarkan turut berkomplot dengan Prayogo dalam upaya mereka menciptakan tatanan kota (kemudian tatanan negeri) baru.

Pada akhirnya, Eyang Mariyani dan Kala memutuskan menyingkap sebuah rahasia besar yang tersimpan sejak Alana lahir ke dunia: bahwa ia adalah titisan Dewi Asih (Maudy Koesnaedi) selanjutnya yang akan menanggung tugas berat demi mengembalikan keseimbangan semesta fisik dan spiritual.

Satu-satunya cara guna mengembalikan keseimbangan tersebut adalah dengan mengalahkan amarah dalam dirinya beserta segenap antek-antek Dewi Api (Dian Sastro).

Dinamika transformasi Alana dari yang tadinya pemarah menjadi figur Sri Asih yang tenang, cerdik, dan berbelas kasih pun tak terlepas dari kreativitas penggambaran kepribadiannya sepanjang film.

Transisi Paradigma Gender

Sedari belia, Alana adalah sosok anak gadis yang berani, tangkas, to the point, namun juga temperamental serta tak sungkan menggunakan metode kekerasan dalam upayanya membela teman yang tertindas.

Melalui pengejawantahan itu, kita telah mendapati sepasang sifat mulia yang esensial dari karakter protagonis, yaitu empatik dan percaya diri. Maka ketika Ibu Sarita menyadari kandungan sifat yang sama, ia memilih metode terbaik untuk mendidik Alana.

Dengan memperkenalkan anak angkatnya kepada olahraga kickboxing dan teknik bela diri secara umum, Ibu Sarita bermaksud mengajari Alana mengendalikan emosi seraya mengeluarkan bakat-bakat terpendam dalam ruang kekerasan fisik yang termoderasi. Sekali tembak, dua burung jatuh.

Penjabaran karakter Alana jelas sekali keluar dari pakem individu wanita yang terkungkung budaya patriarki. Petarung profesional, mengayomi para remaja laki-laki yang merupakan teman-teman terdekatnya di sasana, terbiasa dengan praktik kekerasan, lantang dan tajam menyuarakan pendapat, pantang menyerah, hingga tidak mudah percaya pada orang asing membuatnya seakan menjadi individu liyan di tengah hegemoni patriarkal.

Perhatikan saja ketika Sri Asih menengahi Kala dan Tanggung yang sedang terlibat persaingan tak kasat mata, atau ketika Alana secara estetik menghajar sekelompok anak buah Jagau di rumah sakit. Adegan ini tak pelak mengingatkan pada sebuah sekuens fenomenal dalam karya legendaris Park-Chan Wook bertajuk Oldboy yang rilis tahun 2004.

Dalam kerangka karakterisasi, Sri Asih terlihat menyerap kualitas-kualitas terbaik dari pribadi Alana sembari memadukannya dengan kata-kata penguatan khusus yang hanya dilafalkan oleh sang titisan Dewi Asih.

Dalam bingkai itulah ia mampu tampil menawan selaku pahlawan super perempuan pertama yang menghiasi semesta sinematik Indonesia. Dalam konteks pengendalian diri Alana, kita akan diingatkan pada sebuah kalimat punchline yang dilontarkan Bruce Banner/Hulk: “That’s my secret, Cap. I’m always angry.

Menunggu momen-momen genting saat Sri Asih harus menghadapi "ujian" temperamen yang dieksploitasi sedemikian rupa adalah hal yang menarik di film ini. Sri Asih kemudian berhasil menjadi setara dengan karakter pahlawan super lainnya, terutama Gundala yang kelak menjadi salah satu sahabat terbaiknya.

Transisi Empati

Sesaat setelah mengetahui status istimewanya sebagai pewaris kekuatan luar biasa milik Dewi Asih, pikiran Alana mutlak fokus pada usaha memuaskan ego pribadinya, yaitu membalas perlakuan brutal orang-orang Prayogo terhadap Ibu Sarita.

Sri Asih memang tidak kebablasan tatkala memberi "pelajaran" kepada orang-orang yang bertanggung jawab. Karena ketika Alana berada dalam balutan wujud Sri Asih, sifat belas kasihan yang melekat pada Sri Asih, menahan gejolak darah panas Alana. Namun, fakta bahwa Alana membalaskan dendam terlebih dahulu, baru kemudian beralih pada kasus bumi hangus misterius, tak boleh dikesampingkan.

Bila pemaknaan di atas tepat, maka Alana memiliki tantangan mendesak yang perlu segera dituntaskan. Penampilan sebagai Alana dan sebagai Sri Asih kini jelas membawa state of mind yang berbeda. Maka reaksinya terhadap segala bentuk provokasi akan sangat tergantung pada ‘baju’ mana yang sedang ia kenakan, bila ia tak benar-benar mengontrol desakan kemarahan yang membuncah sebagai Alana.

Inti kekuatan Sri Asih bisa dianggap terletak pada ketenangan, kedamaian, serta belas kasihan yang melingkupi lingkungan di sekitarnya. Titisan manapun yang sanggup menguasai ketiga unsur tersebut, secara utuh akan mampu mengakses potensi terkuat yang dikaruniakan oleh Dewi Asih.

Oleh karena itu, sifat empati dalam diri Alana (yang temperamental), harus selalu dipastikan lebih unggul daripada godaan amarahnya. Transisi pendominasian diri ini bernilai krusial, sebab tanpa itu Alana akan selalu bergantung pada wujud Sri Asih untuk menjadi pahlawan. Atau lebih parah lagi, mengembangkan dualitas identitas yang kian terpisah satu sama lain, seperti Bruce Wayne dan Batman.

Hanya dengan energi empatik yang luar biasa besar, Alana/Sri Asih akan dapat memenuhi panggilan luhurnya, demi mengembalikan kestabilan dan keseimbangan kosmik manusia yang terancam oleh sinyal kebangkitan Dewi Api beserta kelima panglima setianya.

Saat titik kulminasi itu tercapai pada waktunya nanti, saat itu pula ia akan resmi bertransformasi menjadi sebenar-benarnya pahlawan yang mementingkan jaminan keselamatan banyak orang, jauh di atas keberlanjutan hidupnya maupun hidup orang-orang terkasihnya.

Baca juga artikel terkait SRI ASIH atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi