tirto.id - Nobuto Urita (Kenichi Matsuyama) sedang mengalami kekalahan beruntun dalam rangkaian pertandingan tinju, dan satu-satunya motivasi yang membuatnya bertahan adalah kecintaannya pada olahraga tersebut.
Di sisi lain, pesaingnya, Kazuki Ogawa (Masahiro Higashide), mempunyai talenta dan kemampuan mumpuni yang digadang-gadang sanggup memenangi kejuaraan tinju tingkat nasional di Jepang.
Sayangnya perhatian Kazuki yang hanya tertuju pada tinju dan kebiasaan lupa menetapi janji membuat kehidupan pribadi dan relasi personalnya berantakan, terutama dengan Chika Amano (Fumino Kumira). Chika sendiri merupakan cinta pertama Nobuto sepanjang hidupnya. Alhasil lingkaran, relasional itu memicu skema klasik drama cinta segitiga.
Plot selanjutnya menyajikan dinamika Tsuyoshi Narasaki (Tokio Emoto) yang melancarkan pendekatan romantis sekian lama dengan rekan kerjanya, Tae (Ayuri Yoshinaga). Suatu hari, Tsuyoshi dihajar hingga babak belur oleh seorang remaja. Tae yang membantunya saat itu membelanya dengan mengatakan, Tsuyoshi tidak melawan balik karena ia sesungguhnya adalah seorang petinju.
Demi menyembunyikan rasa takutnya atas kondisi pertarungan jalanan, Tsuyoshi menerima pembelaan Tae tersebut. Namun kemudian ia menyadari bahwa pengakuannya saat itu, menggiringnya untuk memulai karir tinju profesional di bawah naungan Nobuto, bila tak ingin mendapat reputasi sebagai ‘pembual/pembohong’.
Sepasang cerita di atas termaktub dalam Blue, salah satu dari total 14 film yang mewarnai line-up utama Festival Film Jepang 2022. Blue akan tayang di Bandung dan Makassar, dengan rincian jadwal sebagai berikut:
- Sabtu, 19 November 2022, 18.25 WITA, CGV Panakkukang Square, Makassar
- Sabtu, 3 Desember 2022, 16.10 WIB, CGV Paris Van Java, Bandung
Gambaran Pertarungan yang Taktis Sekaligus Emosional
Keisuke Yoshida, sang sutradara, adalah seorang pemerhati olahraga tinju sepanjang lebih kurang tiga dasawarsa. Dan melalui film ini, ia menyajikan sebuah penghormatan elegan terhadap genre sports action movie yang dilengkapi dengan pernyataan provokatif: bahwa proses transformasi multidimensi seorang manusia, tak jarang lahir dari pengalamannya menghadapi tantangan-tantangan personal yang paling menyeramkan.
Selaku karya audio-visual yang tergolong dalam kategori sports action movie, Blue mengingatkan kita pada film bertema seni bela diri profesional serupa, berjudul Warrior (Gavin O’Connor, 2011).
Keduanya berbagi topik sentral yang sejenis, yakni upaya pencarian dan kerinduan mendalam atas rekonsiliasi - lebih tepatnya, katarsis emosional.
Perbedaannya terletak pada kerangka sinematik Blue, yang mengeksplorasi beragam metode representasi maskulinitas guna mengakali problematika ‘kejantanan’, baik secara harfiah maupun alegoris.
Hal ini terlihat dalam proses pengembangan karakteristik para protagonis. Seperti saat Nobuto yang amat mencintai olahraga tinju mendapati dirinya tak memiliki bakat alamiah. Hal ini disimbolkan oleh sudut biru dari ring tinju yang kerap berkelindan dengan karakter ini. Sudut biru dalam tradisi tinju Jepang, diperuntukkan bagi penantang underdog.
Kemudian saat Kazuki bergumul dengan tanda-tanda degradasi fisik yang merupakan dampak langsung dari berbagai benturan dan pukulan yang diterimanya selama bertarung. Serta, spirit tak kenal menyerah Tsuyoshi demi mendapatkan hati Tae, yang hampir selalu tersabotase oleh ketakutannya sendiri terhadap segala bentuk konflik fisik apalagi perkelahian.
Guna menegaskan disrupsi yang timbul akibat problematika ‘kejantanan’ di atas, komposisi visual Blue mengadopsi sebentuk pola yang konsisten berulang dalam rupa gerakan kamera yang bergoyang/shaky.
Sekuens-sekuens pertandingan tampak identik dengan gaya sinematografi yang berpadu dengan pilihan fokus close-up, sehingga menghasilkan nuansa pertarungan nan cepat, taktis, brutal dan seringkali ceroboh, namun secara cerdik justru menghindari momentum klimaks yang biasa dijumpai di akhir pertandingan tinju.
Antara Kompetisi Diri dan Lainnya
Keisuke Yoshida juga secara sadar menghindari penggunaan tinju sebagai metafor bagi perihal apapun yang berkaitan dengan ranah kehidupan manusia.
Yoshida seakan membantah dengan keras perihal persepsi kebanyakan orang yang menganggap ekosistem tinju sejatinya bersifat kompetitif; dengan menampilkan karakter-karakter yang kerap gagal berkompetisi dengan dirinya masing-masing.
Setiap orang mungkin memiliki naluri berkompetisi dengan orang lain sekecil apapun itu dalam dirinya. Namun bagaimana bila seseorang kemudian ‘dipaksa’ berkonfrontasi dengan pribadi kompetitifnya tersebut?
Atas dasar itu, ihwal tinju di sepanjang durasi film hanya terdefinisi dan ditampilkan secara telanjang sebagai sebentuk olahraga praktikal yang bersinggungan erat dengan ihwal kekerasan fisik. Dan keberhasilan memaknai secara literal itulah yang akan menyingkap sebuah poin krusial: bahwa Blue bisa jadi merupakan salah satu karya kontemporer sports action movie paling jujur yang berasal dari Jepang, setidaknya sepanjang dekade ini.
Yang jelas apapun ceritanya, emosi positif bakal tetap mengungguli emosi negatif. Film Blue terlihat mengamini premis sederhana tersebut dengan memperkuat konflik sentral yang digaungkan.
Trio protagonis film yang tengah mencari jalan keluar bagi pergumulan pribadi mereka, berhadapan dengan sebuah "pukulan tajam" menohok di babak ketiga/third act, tatkala film secara drastis beringsut kembali memasuki tahapan naratif yang cenderung konvensional.
Problem ‘kejantanan’ yang menghantui sedari awal, pada titik puncak penghabisan terlihat seperti kehilangan arah haluan.
Namun melalui Blue, Yoshida cukup berhasil mengutarakan argumentasinya. Baik sebagai penghormatan pribadinya selaku penggemar berat olahraga tinju, sekaligus perannya sebagai sutradara dalam semesta film Blue.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi