Menuju konten utama
Misbar

Intoleransi dan Alienasi pada Film Karya Keisuke Yoshida

Film karya Keisuke Yoshida ini merupakan salah satu dari 14 film lintas genre yang mengisi line-up Japanese Film Festival 2022.

Intoleransi dan Alienasi pada Film Karya Keisuke Yoshida
Intolerance. foto/imdb

tirto.id - Seorang gadis remaja bernama Kanon Soeda (Aoi Ito) kabur setelah tertangkap basah mencuri di sebuah minimarket. Dalam proses pelarian, ia mengalami kecelakaan fatal hingga tewas. Ayahnya, Mitsuru Soeda (Arata Furuta), dikenal punya temperamen buruk. Setelah menerima kabar duka itu, ia memilih meledakkan kesedihannya ke segala penjuru, sehingga memicu reaksi beruntun yang nyaris meluluhlantakkan duniany,a beserta dunia mendiang putri semata wayangnya.

Film karya Keisuke Yoshida ini merupakan salah satu dari 14 film lintas genre yang mengisi line-up Festival Film Jepang 2022 dan masih bisa disaksikan pada:

  • Minggu 20 November 2022, 11.00 WITA @ CGV Panakkukang Square, Makassar
  • Minggu 4 Desember 2022, 11.00 WIB @ CGV Paris van Java, Bandung
Akumulasi Pengasingan, Reduksi Empati

Berangkat dari premis di atas, Intolerance mendedah alienasi demi alienasi yang menghantam secara simultan pasca tragedi mengerikan dimaksud. Alienasi pertama tak pelak menjadi milik karakter sang ayah.

Berprofesi sebagai nelayan merangkap orang tua tunggal, ia konsisten meremehkan dan merundung hampir seluruh individu yang berinteraksi dengannya sehari-hari, mulai dari satu-satunya kru kapalnya (Kisetsu Fujiwara), mantan istrinya Shoko (Tomoko Tabata), bahkan anaknya sendiri.

Ketika manajer minimarket, Naoto Aoyagi (Tori Matsuzaka), memergoki Kanon hingga berujung pada kematian si gadis, Mitsuru secara frontal menyudutkan Naoto bersama seorang wanita muda pemilik mobil yang pertama sekali menabrak anaknya (Masumi Nomura).

Mitsuru menolak segala bentuk permohonan maaf, menyangkal narasi bahwa Kanon kedapatan mengutil, menyerang pihak sekolah putrinya dengan asumsi pribadi bahwa telah terjadi perundungan atas Kanon yang gagal terdeteksi para guru, sampai membuntuti Naoto sebagai bentuk teror halus.

Judul film ini pun kian gamblang merujuk pada Mitsuru sebagai protagonis, dimana ia gagal bersikap toleran terhadap opini maupun keyakinan yang tidak sejalan dengan pendapat pribadinya. Di sisi lain, judul dalam bahasa Jepang - Kuhaku, yang bermakna “kosong” – menegaskan bahwa kematian Kanon menyingkap fakta bahwa eksistensi sang gadis selama ini bermakna sedikit sekali bagi guru dan teman-teman sekelasnya.

Benar adanya bahwa rasa kehilangan secara tiba-tiba yang dikombinasikan dengan guncangan pada jiwa sanggup membuat manusia kehilangan kemampuannya berpikir jernih. Dalam konteks film ini, karakteristik Mitsuru yang tampak tidak memiliki empati sedari awal film semakin memburuk.

Kemarahannya meledak ke segala arah, membuat orang-orang terdekat yang tadinya merupakan sekutunya kini berbalik menghindar. Alih-alih membangun kolaborasi dengan berbagai pihak dalam usahanya mencari kebenaran dan keadilan, si ayah justru membuat dirinya tambah terisolasi dan paranoid.

Infografik Misbar Intolerance

Infografik Misbar Intolerance. tirto.id/Fuad

Alienasi kedua menimpa Naoto. Dalam satu wawancara dengan media lokal, kalimat-kalimat penyesalan terbungkus kegamangan yang ia lontarkan kepada seorang reporter yang tampak bersimpati justru disunting sedemikian rupa hingga mengesankan bahwa ia gagal berempati terhadap keluarga korban.

Media lantas memperparah kondisi tersebut dengan meniupkan polarisasi opini publik secara berlebihan. Hal ini terlihat dari kertas-kertas ancaman dan hardikan yang diterima Mitsuru maupun nasib minimarket tempat Naoto bekerja yang pelan-pelan ditinggal oleh para pelanggan setianya.

Dalam situasi semakin terpojok dan terasing, Naoto kesulitan mengekspresikan tekanan psikologis yang ia dapatkan dari Mitsuru dan masyarakat umum. Himpitan tersebut lantas membuatnya berpikir mengambil jalan pintas.

Alienasi berikutnya mungkin merupakan bentuk yang paling fatal dan itu mendera pengendara sekaligus pemilik mobil pertama yang menabrak Kanon. Menyadari bahwa permintaan maafnya sia-sia belaka di mata Mitsuru, ia lebih dulu memilih jalan pintas.

Ibu si pengendara, Midori Nakayama (Kataoke Reiko), memutuskan melakukan konfrontasi dengan Mitsuru. Walaupun sifatnya paling destruktif, keterasingan dimaksud justru merupakan titik balik bagi pandangan dan pilihan Mitsuru ke depan.

Alienasi terakhir tidak secara langsung tercipta sebagai konsekuensi logis dari konflik sentral dalam film, dan ini adalah satu-satunya alienasi yang melibatkan empati. Asako Kusakabe (Shinobu Terajima), seorang pegawai minimarket paruh baya yang diam-diam mencintai Naoto yang berusia jauh lebih muda, adalah benteng pertahanan tunggal yang berkali-kali membela sang manajer.

Pada puncaknya ia menjadi penyelamat Naoto, namun kasih sayang itu tidak berbalas sesuai harapannya. Selain kehilangan pekerjaan, cintanya juga terpaksa pupus.

Peran Media

Film-film kontemporer Jepang terlatih untuk menunjukkan betapa media, baik di tingkat lokal maupun nasional, memelihara asupan kekacauan dan social shaming atas nama preferensi publik. Fenomena sedemikian rupa bahkan dialegorikan dengan pengaruh cuaca buruk terhadap Gunung Fuji selaku salah satu simbol utama Negeri Sakura.

Di film ini Keisuke Yoshida menyuguhkan bagaimana media massa merespon suatu peristiwa tragis dan sensasional beserta langkah-langkah lanjutannya dalam bentuk liputan terkini atau talkshow, dan keputusan media tersebut membongkar sikap intoleransinya sendiri. Pada titik ini, sasaran kedua dari makna yang terkandung dalam judul film turut tersingkap.

Alih-alih mendinginkan temperatur sosial akibat kematian Kanon, media massa justru memperkeruh suasana. Intolerance cukup berhasil menyajikan realita telanjang bahwa media mengakselerasi alienasi antar individu yang terlibat maupun individu dengan lingkungan sekitarnya, membelah publik ke dalam kutub-kutub opini ekstrem yang saling bertentangan, seraya merawat polarisasi yang kemudian menghancurkan penghidupan orang-orang di dalam pusaran tragedi itu.

Secara cerdik pula kita menyaksikan bagaimana benih-benih rekonsiliasi dan titik balik menjelang klimaks konflik dimunculkan ketika tak terdapat satupun kamera atau awak media. Keputusan kreatif sang sutradara dalam pilihan narasinya tak pelak menguatkan asumsi terkait kecenderungannya untuk menelanjangi sisi gelap media massa tatkala memotret fenomena sosial tertentu yang berpeluang besar menyedot atensi masyarakat umum.

Bahwa sesungguhnya masih tersedia ruang-ruang privat yang tak tersentuh media nirempati, ruang-ruang interaksi yang paling berpotensi menemukan jalan tengah bersama bagi seluruh individu yang terasingkan, merupakan secercah kabar positif yang membawa angin segar. Celetukan spontan Mitsuru saat menonton televisi yang tak lagi menyajikan program berita seputar dirinya atau kasus sang anak sangat lugas menggambarkan perihal dimaksud.

Pada kesudahannya, Intolerance tidak mengejar perdamaian antar individu sebagai tujuan akhir. Ia menunggu dengan sabar perdamaian yang sama tumbuh perlahan dalam diri setiap karakter, sebentuk perdamaian yang bisa memancing seorang monster sosial untuk kembali bertransformasi menjadi manusia biasa dengan segala kompleksitas kepribadiannya.

Sebab bagaimanapun juga, kesadaran diri adalah kunci utama demi menerima kenyataan serta kejutan-kejutan yang hadir setelah penerimaan krusial tersebut.

Sebut saja petunjuk-petunjuk tak terduga tentang karakteristik asli Kanon yang mencuat secara implisit dari karya-karya seninya semasa hidup.

Bahwa Kanon bukanlah seorang gadis remaja “kuhaku”, sebuah pengetahuan sederhana yang menyiratkan buncahan kelegaan setelah segala bentuk kesusahan yang dilalui oleh Mitsuru, Shoko, gurunya, dan tak terkecuali Naoto dalam proses mereka meratap panjang satu demi satu.

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi