Menuju konten utama
Misbar

Mengecap Ragam Horor Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities

Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities menyatukan ragam kisah & bentuk horor dalam satu antologi. Tetap menarik, meski tak selalu memberi kebaruan.

Mengecap Ragam Horor Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities
Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities. FOTO/Netflix

tirto.id - Jelang Halloween lalu, delapan episode Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities dirilis di Netflix. Sesuai judulnya, serial antologi horor ini memuat kisah-kisah yang dikurasi oleh Maestro of Monsters Guillermo del Toro.

Selain sebagai kreator, filmmaker asal Meksiko itu juga berlaku sebagai produser eksekutif dan penulis tandem untuk salah dua episode serial. Bagi mereka yang familier dengan kiprah sang sutradara selama nyaris lima dekade ini (Pan's Labyrinth, Hellboy, The Shape of Water), lazim saja bereksptasi akan adanya produksi yang mewah lagi mendetail, set cerita zaman lampau, estetika ciamik dengan unsur gothic, dan monster yang tak lazim tapi berkesan.

Del Toro juga hadir pada setiap pembuka episode bersama kabinet mekanis bergaya clockpunk dengan banyak laci dan ruang tersembunyi. Sang kreator hadir sebagai pengantar cerita—sekadar pengantar, lantaran delapan cerita itu digarap oleh delapan sutradara berbeda.

Dan inilah delapan sutradara, delapan cerita, delapan kengerian berbeda.

Lot 36

Sutradara: Guillermo Navarro

Diangkat dari cerita karangan del Toro

Mengambil latar tahun 2003, episode pertama serial ini sekaligus menjadi kisah dengan latar “paling modern” dalam katalog serial. Nick Appleton, seorang veteran perang yang juga seorang sayap kanan dan xenofobik, memenangi lelang lot (kapling) kepunyaan seorang lelaki tua Jerman, yang ternyata seorang okultis di pihak Nazi selama Perang Dunia II.

Dalam kaplingnya, si orang Jerman itu meninggalkan bukan hanya barang-barang antik yang bisa dijual Nick dengan harga tinggi demi menebus utangnya, melainkan juga setan yang dibelenggu ke dalam tubuh saudarinya sendiri. Build up panjang kisah yang cukup memikat seketika “dirusak” oleh karakter utama yang dengan gegabah melanggar pentakel yang membelenggu sang setan.

Episode ini cukup mencekam dengan suasana terjebak bersama setan yang desainnya imajinatif. Sementara itu, Tim Blake Nelson juga berakting dengan baik sebagai bukan-orang-baik. Dalam waktu sekitar 40-an menit, Lot 36 sanggup menyertakan pula isu sosial soal prasangka rasial dan tentunya pesan moral.

Episode ini mungkin akan jadi lebih baik lagi jika antagonisnya juga mendapat porsi penyelesaian kisahnya sendiri.

Graveyard Rats

Sutradara: Vincenzo Natali

Diangkat dari cerpen berjudul sama karya Henry Kuttner

Berbagi tema serupa dengan episode sebelumnya, Graveyard Rats juga menampilkan karakter utama yang kalap mengejar harta demi melunasi utangnya. Masson (David Hewlett) si perampok kuburan rela mengorbankan martabat sekaligus ketakutannya pada tikus dan ruangan sempit demi merampok harta orang mati.

Yang ditemuinya tak hanya monster tikus raksasa, tapi juga kerangka hidup di kuil bawah tanah (Black Church). Episode ini dipenuh detail adegan yang tergolong gore dengan pewarnaan kusam dan scoring bernuansa fantasi. Ia menjadi episode yang menyajikan kengerian bertahan hidup dan sama sekali bukan tontonan tepat untuk pengidap klaustrofobia dan musofobia.

Layaknya horor klasik, dua episode pertama hadir dengan pesan-pesan moral. Meski sangat mungkin terasa tak begitu segar bagi penikmat horor maupun bukan, keduanya tetap dikemas dan dieksekusi dengan pantas.

The Autopsy

Sutradara: David Prior

Diangkat dari cerpen berjudul sama karya Michael Shea

Ketimbang dua episode sebelumnya, The Autopsy hadir dalam durasi lebih panjang, hampir satu jam. Sebagian besar durasinya difokuskan pada satu kegiatan, otopsi, yang melibatkan Carl Winters (F. Murray Abraham) dan mayat-mayat tanpa darah. Mereka mati misterius usai meledaknya “bom” dari luar dunia di sebuah tambang.

Aksi otopsi yang ditampilkan dengan rinci itu menjadi kian intens dengan berujung pada aksi otopsi diri sendiri, bahkan perusakan tubuh sendiri. Ini terjadi lantaran kehadiran alien parasit kecil yang menjuluki dirinya Traveler. Itulah biang kerok kematian dan menghilangnya warga.

Traveler punya tujuan mengambilalih tubuh yang dihinggapinya. Sang alien menggunakan tubuh inangnya untuk bergerak dan bicara, menerangkan semua motif dan modus operandinya.

Horor ini bakal mengingatkan kita pada film Alien (1979). Bayangkanlah ada makhluk asing memasuki tubuhmu saat tidur dan mengambilalih jiwa dan ragamu. Ia tiba-tiba terasa lebih mengkhawatirkan ketimbang membobol kuburan atau menemui setan yang dipekerjakan Nazi.

Cerita dan kengeriannya efektif, begitu juga dialognya. Salah satu episode terbaik, kalau bukan yang terbaik, dalam serial ini.

The Outside

Sutradara: Ana Lily Amirpour

Diangkat dari komik "Some Other Animal's Meat" karya Emily Carroll

"Penerimaan sejati, harmoni, kedamaian, keilahian. Semua itu bohong belaka. Kita semua hanya ingin menjadi enak dilihat."

Kata-kata itu terpacak dalam iklan produk kecantikan belaka. Namun bagi Stacey (Kate Micucci), ia adalah segalanya, terlebih poin terakhir. Segala bentuk penerimaan dari suaminya tidaklah cukup. Bagi perempuan berambut mullet dengan hobi taksidermi itu, penerimaan dari rekan-rekan kerjanya di bank (para perempuan berpenampilan necis dan gemar membincangkan penis) jauh lebih darurat.

Meminjam kisah The Ugly Duckling (yang juga disimbolkan di sini) dengan trope makeover dalam suasana bagai kisah komedi romantis, The Outside nyatanya adalah satir sinis terhadap iklan, TV, dan tentunya industri kecantikan.

Ia hadir dalam bentuk horor yang sepenuhnya berbeda. Gaya penceritaannya yang menarik juga menjadi penyegaran di tengah serial. Meski begitu, kengeriannya akan terasa lebih mumpuni bila disertai penjelasan atas sikap denial Stacey dan mengapa dia membeo copywriting iklan kala berargumen dengan suaminya.

Apakah itu semata didasari insekuritasnya? Ataukah itu efek samping dahsyat lotion Alo Glo (yang hanya terjadi pada dirinya)?

Tentu tak semua kisah, termasuk horor, mesti disertai pesan moral atau nasihat. Namun, level kesinisan The Outside akan terasa kian kuat jika disertai poin-poin argumen yang lebih solid.

Pickman's Model

Sutradara: Keith Thomas

Diangkat dari cerpen berjudul sama karya H.P. Lovecraft

Pelukis muda Will Thurber (Ben Barnes) selalu mencari kesenangan dan keindahan dalam segala hal. Dia nyaris selalu menemukannya, kecuali dalam karya-karya rekannya Richard Pickman (Crispin Glover). Tak sekadar eksentrik, goresan kuas Pickman selalu soal interpretasi akan objek dan dunia yang gelap.

Lukisannya mendatangkan visi bagi Thurber dan kemudian penampakan suara-suara pemujaan terhadap entitas mengerikan dalam semesta Lovecraft. Singkatnya, karya-karya Pickman mengacaukan sense of reality bahkan hidup Thurber.

Karya-karya itu bukan semata datang dari dalam kepala Pickman. Itu adalah hidupnya. Jika ditarik lebih jauh, Pickman's Model bisa jadi juga cerita soal kecemburuan antarseniman.

Tak hanya soal kaitan dengan kondisi sosial-budaya, episode ini juga menunjukkan bahwa horor selalu berangkat dari “benih” yang ditebar. Putra Thurber, misalnya, baru menyaksikan penampakan usai bertemu dan terpapar cerita-cerita Pickman.

Di samping memeriksa kaitan pengalaman seniman dan horor, Pickman's Model menyoroti seni yang tak ubahnya seperti virus yang mampu menginfeksi mereka yang terpapar. Ini adalah kisah sederhana yang menyibak sarang berdiamnya rasa takut dengan ending yang cukup mengejutkan.

Dreams in the Witch House

Sutradara: Catherine Hardwicke

Diangkat dari cerpen berjudul sama karya H.P. Lovecraft

Walter Gilman (Rupert Grint) menyaksikan saudari kembarnya diseret oleh spirit menuju Forest of Lost Souls, limbo untuk mereka yang belum siap move on dari hidup. Pencarian akan cenayang atau medium yang bisa membawanya menuju “hutan” itu mengantarkan Gilman pada obat-obatan bikinan pribumi Amerika dan rumah yang dihantui Keziah Mason, penyihir yang dieksekusi pada masa lampau.

Sebagaimana episode sebelumnya, alih wahana karya Lovecraft ini juga menghadirkan karakter utama yang obsesif. Ia menampilkan batasan kabur antara kegilaan personal dan horor yang nyata. Ia masih juga bicara tentang kaitan seni (lukis) dan kengerian.

Pencarian akan gerbang antardimensi hanyalah satu dari sekian manifestasi "semesta sebagai rumah hantu besar" bagi Lovecraft. Manifestasi itu disertakannya dalam kisah ihwal penerimaan akan kehilangan orang terdekat, bahkan mungkin alegori untuk kecanduan obat-obatan. Meskipun dari aspek fantasinya (dengan tikus berkepala manusia) cukup menarik, secara keseluruhan, episode ini agaknya belum bisa digolongkan dalam deretan yang terbaik.

The Viewing

Sutradara: Panos Cosmatos

Ditulis bersama oleh sutradara Panos Cosmatos & Aaron Stewart-Ahn, The Viewing mengambil latar pada akhir dekade 1970-an. Laki-laki kaya raya Lionel Lassiter (Peter Weller) mengundang beberapa orang berpengaruh di bidangnya masing-masing ke dalam suatu pertemuan rahasia di rumahnya yang aneh.

Aneh, abnormal, ganjil, semuanya bisa disebutkan untuk menggambarkan The Viewing. Kita bisa mengabaikan mengapa orang-orang berpengaruh ini tak menolak menghadiri undangan misterius itu lantaran ceritanya akan lebih berfokus pada pertemuan mereka kelak. Kita juga bisa menganggap segala suasana dan penyampaiannya (dengan beat dan musik synth, atmosfer tak tergambarkan yang disampaikan lamat-lamat) sebagai upaya Cosmatos menghadirkan suasana yang betul-betul asing dan tak nyaman, tapi tetap enak disaksikan.

Percakapan panjang antarkarakternya (soal Gaddafi, kehampaan individual, dsb.) dengan wiski, ganja, dan racikan kokain Peru jelas keunikan yang melenakan, membuat kita lupa bahwa sedang mengikuti sesuatu yang berkaitan dengan del Toro.

Kisah ini pun mengarah pada horor aneh kala benda langit koleksi Lassiter menelurkan alien akibat terpapar asap ganja. “Kelahiran” alien itu pun menewaskan sebagian tamu. Konstruksi kisahnya yang panjang nan lamban bermuara pada entitas yang sejatinya butuh pertolongan.

Ia merasuki tubuh Lassiter dan membuatnya bisa menghadirkan energi listrik. Ia berakhir tanpa penyelesaian selain tiba di kota dan memengaruhi listrik di sekitarnya.

Ini kisah tentang kolektor yang berbalik jadi koleksi. Episode ini mungkin membuat opini penonton terbelah: menjadi sangat menyukai The Viewing atau justru menganggapnya cerita mubazir belaka.

The Murmuring

Sutradara: Jennifer Kent

Diangkat dari cerita karangan del Toro

Pasutri Nancy (Essie Davis) dan Edgar Bradley (Andrew Lincoln) baru kehilangan bayi mereka. Meski berduka, keduanya tetap mampu bekerja dengan baik pada bidang mereka, ornitologi. Kesuksesan pasangan ini sebagai peneliti berbanding terbalik dengan kehidupan intim mereka. Rumah tangga mereka pun perlahan retak.

Balutan horor dalam episode ini mudah ditebak. Ia “hanya” bermodalkan suasana mencekam dan jump scare. Bisa jadi, ia membosankan bagi sebagian penonton. Namun di lain sisi, tema kehilangan dan penerimaan atasnya sebetulnya membuat The Murmuring menjadi drama gelap yang menarik.

Ada akting meyakinkan dari Essie Davis untuk karakter utama yang simpatik, tapi sangat sulit disukai. Suasana dan latarnya yang indah memekikkan melankolia, tapi syukurlah tak jatuh sepenuhnya menjadi kisah yang depresif.

Infografik misbar Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities

Infografik misbar Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities. tirto.id/Ecun

Antologi yang Lumayan

Selain horor, tak ada benang merah di antara setiap cerita dalam antologi ini. Kisah-kisahnya juga tak melulu datang dari masa yang benar-benar jauh di belakang, seperti kebiasaan del Toro. Pengadilan Penyihir Salem (Salem Witch Trials) hadir melatari beberapa kisah. Begitu juga kehadiran tikus sebagai bagian dari plot di beberapa episode.

Sebagian besar cerita bangkit dari rasa penasaran manusia atau insting survival yang justru mencelakakan. Sementara itu, beberapa cerita menyelami rasa kehilangan dan penerimaan. Semuanya dikemas baik—nyaris setara seperti produksi film-film del Toro—dengan tampilan grotesque mengagumkan untuk subjek yang seringkali gore (terutama desain monster dan makhluknya).

Pastinya, terdapat banyak variabel yang perlu diterapkan hanya untuk mencapai kesimpulan "horor yang bagus". Entah itu bentuk, naratifnya, seberapa membosankan plot, seberapa baru atau segar, dan sebagainya. Opini dari para penikmatnya juga sangat mungkin berbeda-beda, berangkat dari beragam pengalaman, psikologis, latar belakang, hingga kebudayaan berbeda.

Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities mungkin tak cukup menakutkan. Ia jelas tak begitu menekankan kebaruan ataupun eksperimentasi sebagaimana judul-judul horor populer belakangan. Sejumlah judul di dalamnya pun agaknya lebih cocok hadir dalam durasi lebih panjang. Ada judul-judul yang memperkaya varian kengeriannya, ada judul-judul yang tak lama akan segera kau lupakan.

Terlepas dari itu semua, sebagai sebuah antologi, rasanya tak ada kesenjangan kualitas yang mencolok antarepisode. Menjadikannya hidangan beragam rasa yang cukup menarik diikuti. Masing-masing diiringi kisah fantasi atau drama yang cukup pantas disaksikan dalam momen Halloween maupun bukan.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi