tirto.id - Perang kelas dan komentar sosial sudah menjadi ciri khas sinema Korea Selatan, seperti yang terlihat pada film “Parasite” yang mendapatkan Best Pictures pada perhelatan piala Oscar tahun 2019. Tetapi “Concrete Utopia” memberikan perubahan pada elemen-elemen ini.
Bersetting kota Seoul yang hampir seluruh bagian kotanya hancur akibat gempa bumi, film ini bercerita tentang penghuni Hwang Gung Apartments, sebuah kompleks apartemen yang secara ajaib selamat dari bencana alam.
Aktor veteran Lee Byung-hun berperan sebagai Yeong-Tak, “Bapak Delegasi” yang dipilih oleh warga setempat untuk melindungi kompleks apartemennya dari serangan orang luar yang berbondong-bondong ke apartemen mereka untuk mencari kelangsungan hidup.
“Saya pikir ini masalah yang sulit. Apakah menerima pihak luar atau hanya mengikuti kepentingan warga?,” terang Lee saat konferensi pers film “Concrete Utopia” yang diadakan di cabang Lotte Cinema World Tower di Distrik Songpa, Korea Selatan.
“Oleh karena itu, dalam filmnya, para karakter tidak mengungkapkan pemikirannya secara langsung, melainkan memilih untuk memberikan suara terhadap permasalahan ini.”
Lee sebelumnya dikenal lewat aktingnya di film Joint Security Area produksi tahun 2000 yang berhasil memecahkan rekor film terlaris Korea, yang sebelumnya dipegang oleh Shiri. Pada 2009, karier Lee Byung Hun semakin bersinar. Ia ikut bermain dalam film produksi Hollywood, G.I. Joe: Rise of The Cobra. Selain itu ia juga ikut membintangi film Hollywood seperti: RED 2 dan Terminator Genisys.
Lee mengatakan bahwa ia mengambil peran Yeong-Tak – yang menyimpan rahasia yang akan terungkap melalui plot twist yang mengejutkan di babak kedua film ini – karena dualitas karakter tersebut. Yeong-Tak adalah karakter yang awalnya dipuja oleh seluruh warga kompleks atas keberaniannya memadamkan kebakaran di salah satu rumah apartemen. Karena keberaniannya ini, warga kompleks memilihnya sebagai Bapak Delegasi.
Dengan kendali di tangannya, Yeong-Tak mengatur stabilitas di dalam komplek apartemen, termasuk semua permasalahan yang terjadi didalamnya. Namun dengan perangainya yang mudah tersulut emosi dan gampang marah, membuat beberapa warga apartemen merasa terintimidasi. Hal ini secara pelan-pelan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Yeong-Tak tiba-tiba mengubah haluan kompleks rumah apartemen ini, yang semula komunal diubah menjadi entitas dengan membagi jatah makanan berdasarkan kontribusinya karena keterbatasan persediaan makanan. Ia kemudian memimpin sekelompok warga pria bersenjatakan pentungan dari besi dan kayu untuk mencari persediaan makanan dari tempat-tempat yang sudah tertimbun reruntuhan.
Kehadiran seorang wanita muda di tengah meriahnya pesta warga kompleks setelah menemukan tempat persediaan makanan yang begitu besar, membuat Yeong-Tak menghentikan nyanyiannya. Melalui mikropon ia kemudian melontarkan ancaman terselubung kepada wanita muda itu, “Tetangga harus saling mengenal wajahnya satu sama lain”.
Namun di balik raut wajahnya yang begitu menakutkan saat memandang tajam wanita muda itu, ia sebenarnya telah membuat rencana kecil yang nantinya justru menjadi petaka bagi keberlangsungan hidup warga kompleks dan dirinya sendiri.
Dibantu oleh para pemeran yang luar biasa lainnya, seperti Park Seo-Joon yang berperan sebagai Min-Seong protagonis yang pemalu, penonton diajak untuk mempelajari tentang dia seiring berjalannya film. Ketika masa-masa sulit yang membutuhkan tindakan mendesak, penonton bisa melihat karakter yang bisa beradaptasi dengan baik, yakni Myeong-Hwa yang diperankan oleh Park Bo-Young. Karakter ini mampu memberikan sentuhan halus pada perannya yang bijaksana dan penuh kasih sayang.
Tapi bagaimanapun, peran Lee Byung-Hun-lah yang paling unggul sebagai Kim Yeong-Tak. Karakter yang pertama kali digambarkan sebagai penyendiri sebelum menjadi Bapak Delegasi warga Hwang Gung. Akting Lee yang seperti bunglon ini tidak diragukan lagi adalah salah satu penampilan terbaiknya dari film-film yang ia bintangi sebelumnya.
Concrete Utopia dalam menggambarkan tiap karakternya seperti berada pada batas yang curam dari apa yang disebut dengan kebaikan dan kejahatan. Dua sifat dasar manusia ini, secara bersamaan, di dalam masing-masing karakternya, digambarkan dengan sangat realistis. Lantas apa yang akan terjadi jika karakter-karakter tersebut dikumpulkan bersamaan pula pada situasi yang sangat sulit?
Dengan premis yang mengkritik pembaharuan pola masyarakat urban di Korea Selatan melalui pembangunan apartemen secara masif, film ini bisa dijadikan studi karakter yang menarik. Film ini juga menggambarkan secara gamblang tentang mentalitas kelompok, dinamika kekuasaan, dan pertanyaan tentang, “di manakah rasa kemanusiaan?”, ketika seorang ditikam hanya karena ingin mempertahankan apartemennya.
Di film ini, karakter dan sifat manusia pada saat bencana jadi terlihat. Ini juga pada akhirnya bisa membuat bertanya, sekaligus berdebat, tentang sisi mana yang kita pilih. Misalkan, ada seorang pemilik apartemen yang sah memilih untuk mengusir para pendatang yang sekadar ingin bertahan hidup.
"Apartemen ini hanya untuk penghuni," kata si pemilik.
Dari sini kamu bisa bertanya-tanya: masih pentingkah hak milik di dunia yang sudah nyaris hancur? Atau apakah si pemilik apartemen juga benar, bahwa mempertahankan sesuatu di tengah dunia yang kacau itu adalah naluri manusia?
Begitu pula dengan adegan-adegan yang mempertanyakan nilai-nilai kemanusiaan.
“Di tengah keadaan dunia yang sudah rapuh, tidak ada lagi perbedaan antara seorang pembunuh dengan pendeta.”
Concrete Utopia membawa narasi ini dengan sangat efektif. Bahkan di satu sisi, narasi ini terlihat seperti parodi lucu dari absurditas komunal di Korea Utara.
Sutradara Um Tae-hwa, yang juga menulis Concrete Utopia ini, mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membuat film yang mengajukan pertanyaan tentang isu-isu sosial yang sedang berlangsung di Korea Selatan, seperti kesenjangan perumahan dan pembangunan apartemen di bawah standar.
Film ini bermaksud merefleksikan sejarah apartemen di Korea Selatan dan kota Seoul itu sendiri. Um yang juga menyutradarai film Vanishing Time: A Boy Who Returned (2017) berhasil menggunakan teknologi CGI dengan apik. Menghasilkan pemandangan distopia yang luar biasa, memperlihatkan dunia yang sedikit lagi menuju punah.
Mayat bergelimpangan di mana-mana, bangkai mobil berserakan bertumpuk. Gedung yang awalnya menjulang tinggi, kini hancur menjadi puing-puing yang entah masih bisa dihuni atau tidak.
Meski dengan dalih seperti itu, Tae-Hwa berhasil menyajikan cerita di luar batas genre film bencana alam pada umumnya seperti pada karya-karya Rolland Emmerich, sutradara film Hollywood yang banyak mencetak box office dengan tema film bencana alam.
Pada film sejenis, seperti 2012 atau The Day After Tommorow, dua dari karya Emmerich, penonton selalu disuguhkan drama kemanusiaan yang heroik dengan memunculkan beberapa karakter yang berhasil mengatasi bencana alam yang terjadi. Namun berbeda dengan Concrete Utopia, Tae-hwa hanya menjadikan bencana alam sebagai latar belakang dan konteks metaforis yang mengeksplorasi sisi gelap sifat manusia. Concrete Utopia berpusat pada seberapa jauh seseorang akan berusaha melindungi rumah dan keluarganya demi kelangsungan hidup. Bukan mencari jalan keluar bagaimana bisa lepas dari bencana yang dialaminya.
Karakter orang-orang angkuh yang menimbulkan ketakutan pada orang-orang papa menjadikan film ini tidak lantas terjebak pada aksi gila penuh baku hantam, tapi Concrete Utopia melangkah lebih jauh dengan melontarkan berbagai kelokan efektif agar drama tetap mengalir.
Dengan durasi sekitar 130 menit, kejelian Tae-hwa membuat Concrete Utopia tidak berasa terlalu panjang atau berat. Meski ada kejanggalan seperti tidak adanya penjelasan tentang mengapa bantuan dari pihak luar tak kunjung datang, atau bagaimana tiba-tiba seorang warga yang cacat kakinya bisa memimpin warga dari luar untuk melakukan pemberontakan di saat semua sandiwara Yeong-Tak terkuak, Concrete Utopia adalah bukti bahwa, bahkan dalam genre yang klise dan sering diceritakan seperti film bencana sekalipun, sebuah film yang dikemas apik mampu memberikan twist yang menggugah pikiran dengan tema-tema yang relevan, penceritaan yang menarik, dan akting yang solid.
Sekali lagi, jagat sinema Korea Selatan dengan cara bertutur yang sederhana mampu menciptakan ketegangan tak terduga dengan kepiawaiannya. Dan bisa jadi, setidaknya dalam penilaian saya, Concrete Utopia adalah salah satu film bencana alam terbaik satu dekade ini dengan plot twist yang nyaris tak pernah (atau malah belum?) dibuat oleh jagat sinema manapun.
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Nuran Wibisono