tirto.id - "Kita orang Indian. Kita tak punya lahan," ujar Leon kepada putrinya Willie Jack saat keduanya pergi berburu rusa. Sementara itu, plang atau dinding di sepanjang jalan dipenuhi grafiti bertuliskan Land Back.
Mereka, orang-orang pribumi Amerika itu, tak punya tanah. Entah karena dirampas kolonialis Eropa di masa lalu atau semata karena dilego leluhur mereka.
Mereka, orang-orang suku asli itu, tentu sepenuhnya berhak memelesetkan karya Tarantino yang bertajuk Reservoir Dogs menjadi Reservation Dogs. Dan demikianlah judul serial komedi tentang remaja pribumi Amerika yang tayang di kanal FX di platform Hulu ini.
Latarnya adalah lingkungan perumahan (reservasi) di lahan enklave yang diperuntukkan bagi berbagai suku pribumi. Itu bukanlah kumpulan teepee, melainkan rumah-rumah “gaya baru” yang kaku untuk mengasimilasikan—atau mengontrol—orang-orang ini. Tak jarang, lokasinya cukup terpencil, sama sekali bukan wajah utama Amerika hari ini.
Tak banyak peluang pula tak banyak yang bisa dilakukan di lingkungan ini, tapi selalu ada yang bisa diceritakan. Dari sanalah, duet filmmaker dari Muscogee Sterlin Harjo dan sineas kenamaan asal Maori Taika Waititi mengkreasikan Reservation Dogs. Serial ini memang dioperasikan oleh para kru serta aktor pribumi.
Empat anak muda menjadi bintangnya, yaitu Elora (Devery Jacobs) yang bertanggung jawab lagi solutif, Bear (D'Pharaoh Woon-A-Tai) yang selalu uring-uringan dan kerap menganggap dirinya pemimpin kawanan, Cheese (Lane Factor) sebagai anggota termuda yang berpandangan positif dan kerap mengejutkan, serta Willie Jack (Paulina Alexis) si gadis tomboy yang juga motor kelucuan serial ini.
Reservation Dogs tak melulu berkisah soal komunitas yang kehilangan tanah leluhurnya. Malah lebih banyak. Setahun sebelum kisah utama dimulai,keempat remaja itu telah kehilangan teman, pemimpin, sekaligus role model mereka, Daniel (Dalton Cramer). Ia juga selalu soal kehilangan harapan dan arah, serta bagaimana mereka berdamai dan mengatasinya.
Santai Menertawai Diri
Laiknya anjing-anjing yang tak dipedulikan, kawanan Rez Dogs berkeliaran seantero reservasi yang berlokasi di pedesaan Oklahoma. Bikin kenakalan atau aksi kriminal “remeh” seperti merampok truk bermuatan kripik jadi hal biasa di sana.
Yang dilakukan orang-orang dewasa di sana pun tak banyak. Selain mereka yang bekerja, para penghuni reservasi kerap kali digambarkan hanya mengisap ganja, duduk-duduk di depan rumah, mengudap lele sembari bercengkerama. Siang bolong diisi dengan minum-minum di bar, bersepeda mengitari reservasi sembari berburu gosip (seperti yang dilakukan duo rapper lokal Mose dan Mekko), atau bahkan menyaksikan orang potong rambut.
Lingkungannya yang tenang dan suasana bukan main santai itu bisa jadi adalah idaman banyak orang yang terjebak di hiruk-pikuk perkotaan. Namun bagi anak-anak muda yang tumbuh nyaris tanpa harapan, ketenangan reservasi itu serupa neraka.
"Tempat ini melahap orang-orang," cetus Elora yang paling getol melontarkan ide untuk meninggalkan reservasi.
Seketika, gambar-gambar yang menguatkan kesan hening lingkungan yang relaks justru berarti shithole, perangkap bagi mereka yang justru ingin tumbuh dan melihat dunia luar—aspirasi khaspara remaja di banyak pojok dunia.
Dengan kehidupan macam demikian, humor yang terpampang pun jadi terasa berbeda. Nyaris setiap kelucuan muncul dari cara orang-orang ini mencela atau menertawai diri sendiri. Semua itu berangkat dari tragedi panjang yang menimpa bangsa mereka di masa lalu. Bahkan sampai hari ini pun, orang-orang nonpribumi “mengapresiasi” mereka layaknya makhluk fantasi.
Simak ketika Rita (Sarah Podemski) berada di ujung pencariannya akan pasangan hidup sekaligus figur ayah untuk anaknya, Bear. Lelaki kulit putih yang ditidurinya bisa dibilang hampir “sempurna”, seorang dokter lajang, kaya raya, punya rumah besar, kepribadiannya pun baik.
Namun kesan baik itu seketika runtuh kala dia menunjukkan tato di tangannya yang bergambar bendera Konfederasi Amerika danfetish-nya akan perempuan pribumi.
Setiap episode Reservation Dogs memiliki plot berbeda. Layaknya kumpulan slice of life dengan beragam kejadiannya, mulai dari kisah perampokan, perseteruan dengan geng rival (NDN mafia), hingga membantu paman menjual ganja. Kadangkala ia tak seringan itu, terlebih kala menyasar topik keluarga yang disfungsional atau penerimaan akan kehilangan.
Kendati demikian, semuanya berpusat padasatu poros cerita: mengumpulkan uang demi tujuan bersama pergi menuju tanah impian California.
Bumbu Humor Supranatural
Kesegaran dalam Reservation Dogs juga datang dari akting para aktornya yang sebagian besar baru kali ini saya saksikan penampilannya.
Zahn McClarnon mungkin menjadi satu dari sedikit nama cukup beken yang familier bagi penonton umum. Sang aktor—pernah tampil dalam filmBone Tomahawk dan serial Marvel Hawkeye—mendapat peran krusial dalam serial ini. Karakternya, Officer Big, adalah satu dari sedikit orang dewasa yang mampu mengontrol kebandelan anak-anak di reservasi.
Sebabnya, tak banyak yang rela melakukan hal serupa. Orang-orang dewasa dalam serial ini tak ubahnya manusia di dunia nyata yang acapkali tak ambil pusing akan standar kebaikan. Malah, mereka kadang kala justru ikut berbuat ulah.
Reservation Dogs menyeruakkan kekhasan yang hanya patut digarap orang-orang pribumi Amerika sendiri. Di tengah hal-hal duniawi, seperti problem eksistensial yang bisa menerpa siapa saja, atau humor yang getir, kisahnya juga menyisipkan selipan yang absurd dan sureal.
Beberapa aspek sejauh ini belum terjelaskan, atau memang tak ada penjelasannya. Misalnya, peristiwa kepala lele berjatuhan dari langit. Sebagian lagi, berguna untuk memperkuat aspek supranatural dan komedi. Roh berwujud perempuan berkaki rusa—Deer Lady, misalnya, hadir sebagai pelindung bagi orang pribumi yang berlaku baik.
Sementara itu, melalui roh pejuang kuno seperti William Knifeman alias Spirit, nilai-nilai dan tradisi dimodifikasi penyampaiannya. Kendati kadang membawa kebijakan tak terduga, kehadiran sang spirit juga lebih menyerupai poin humor sekaligus pembeda.
Dari segi bebunyian, absennya musik tema khusus dalam Reservation Dogs justru membuat para kuratornya lebih eksploratif. Musik-musik bluegrass dan americana bersanding dengan komposisi gubahan musisi pribumi Samantha Cairn. Ada pula elemen musik First Nations oleh The Halluci Nation.
Musik-musik giting dari aksi stoner/doom metal, seperti Sleep dan OM, diputar dalam episode seputar ganja. Begitu pula lagu dari Redbone mengabarkan bahwa musik dari band pribumi masa lampau masih beresonansi hingga hari ini.
Di antara episode-episode yang karaktersentris dan menyoroti keseharian, kita tetap dibuat menantikan mimpi California para Rez Dogs. Lalu, akankah para anak muda ini mendapat penghakiman selepas merampok truk dan menyusahkan sopirnya (yang notabene kaum menengah-ke-bawah seperti halnya mereka)?
Tak pernah terkesan agresif, Reservation Dogs adalah tontonan nikmat yang perlahan meresap ke dalam benak. Representasi yang pantas. Selagi dengan ringan mengungkapkan kebudayaan yang selama ini termarjinalkan, ia nyaris tak pernah menerobos permukaan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi