tirto.id - Saya tak begitu ingat mengapa akhirnya menonton film ini. Tak ada yang merekomendasikan, tiada pula ekspektasi apa pun.
Ia sudah beredar untuk beberapa waktu sejak rilisnya di layanan streaming MUBI. Namun, rasanya ia tak cukup sering dibicarakan dan sepertinya tak juga masuk ke dalam nominasi ajang-ajang kusala film mayor. Setidaknya sejauh ini.
Memori memang bekerja dengan cara yang aneh, acap kali subjektif lagi penuh distorsi. Demikian halnya bagi Sophie (Frankie Corie). Untungnya, dia sempat menangkap banyak momen dalam kumpulan footage mini DV. Dia bisa melihat lagi polahnya semasa kecil sekalian mengenang sang ayah, Calum (Paul Mescal), dalam rekaman video liburan terbaik mereka.
Aftersun hanya tentang itu, tadinya. Film debut yang ditulis dan diarahkan Charlotte Wells ini sepenuhnya mengikuti liburan sepasang ayah-anak dari Skotlandia di sebuah resor di Turki.
Ia berjalan teramat ringan dan mudah diikuti. Seolah hanya film seputar ayah-anak yang "just vibing" diselingi detail-detail kegiatan semasa liburan. Sesekali, ia diselingi dialog menohok atau pertanyaan “ajaib” khas anak-anak (bagaimana bisa ayah dan ibunya bilang "I love you" meski sudah tidak bersama?)
Sinematografi garapan Gregory Oke lebih menyerupai video melancong (yang berkualitas). Itu dikawal scoring yang santai, lebih sering mengawang, gubahan Oliver Coates. Keseluruh bagian kemasannya rada melenakan, selayaknya liburan.
Pada pusatnya, ada chemistry luar biasa antara sang ayah dan anak. Jelas salah satu pasangan akting terbaik tahun 2022. Baik Frankie Corio yang lucu dan menggemaskan secara alami, maupun Paul Mescal yang sebagian besar waktunya sukses meyakinkan Sophie—dan penonton—bahwa segalanya baik-baik saja.
Sophie berulang kali ditampilkan tertegun menatap aktivitas orang dewasa, yang tak jauh dari mabuk-mabukan, bercumbu, hura-hura. Sementara pada banyak waktu, Calum akan melakukan gerakan-gerakan tai chi. Sisanya, dia akan berenang di laut pada tengah malam dan, yang bisa jadi mudah terlewatkan, meludahi bayangannya sendiri di cermin.
Aftersun menerapkan dengan baik teknik "show, don't tell". Selain tindak-tanduk Calum saat anaknya sedang tak berada di sisi, pada satu waktu kita mendapati fakta bahwa dia telah memiliki anak pada usia muda melalui orang-orang di hotel—yang mengira Sophie adalah adiknya.
Detail-detail subtil di setiap pojokan plotnya yang menjadikan naratif Aftersun istimewa.
Duka yang Disegel Rapat
Satu jam lebih durasi film menuturkan narasi yang nyaris sepenuhnya terasa upbeat dengan suasana yang senantiasa riang. Namun setelah itu, barulah Charlotte Wells membuka selubung untuk menunjukkan wajah asli kisahnya: duka.Di malam terakhir sebelum liburan usai, Calum mendesak putrinya untuk berdansa bersama tatkala Under Pressure milik David Bowie dan Queen dilantunkan. Adegan Sophie kecil ogah-ogahan berdansa dengan ayahnya lantas dengan brutal menyeruak ke layar seiring adegan Sophie dewasa yang berusaha menggapai Calum yang menari dalam kegelapan, berusaha mendekapnya erat agar sang ayah tak pernah pergi.
Selepas build up-nyayang menenangkan, itulah momen crescendo dalam Aftersun. Under Pressure di sini mendadak jelas ditujukan untuk Calum, sang ayah yang didera depresi berkepanjangan.
Tak ada diagnosis pasti, memang, tapi kita sebelumnya telah diperlihatkan gejala-gejala depresi berat yang dialami Calum. Bukan hanya meludahi bayangan sendiri, menceburkan diri di laut tengah malam, atau tersedu-sedan di kamar, melainkan juga ketika ekspresinya berubah drastis ketika Sophie berujar bahwa dia tahu ayahnya tak punya cukup banyak uang. Atau, ketika Calum—dengan enteng—menyebut dirinya tak menyangka mampu hidup mencapai usia 30-an.
Penolakannya terhadap ajakan Sophie untuk berkaraoke, bahkan kini sangat mungkin muncul lantaran lagu pilihan putrinya, Losing My Religion oleh R.E.M yang sejatinya berangkat dari frasa ihwal kehilangan kesabaran, didera frustrasi, dan depresi.
Saat cerita terasa tak begitu jelas hendak di bawa ke mana, Aftersun memanggil kembali setiap detail yang telah dipaparkannya.
Fragmen-fragmen kejadian tiba-tiba menjelma satu kumpulan utuh. Gerakan-gerakan tai chi yang diperagakan Calum tak ubahnya caranya meredam monster dalam diri.
Gambar-gambar yang berganti lini masa menuju Sophie dewasa menunjukkan pemahaman dan pemaknaan berbeda. Itu adalah gambaran sang putri yang kini paham akan wajah apa yang tak pernah ditampilkan seseorang, hidup macam apa yang dijalani orang dewasa, terlebih ayahnya. Bukan hanya hura-hura.
Pada hari ulang tahunnya, Sophie ingat betapa semringahnya sang ayah ketika menerima ucapan serupa darinya. Dia ingat akan liburan terbaiknya—yang diakuinya dalam adegan yang genial, di mana kamera semata menyoroti keluarnya warna pada cetakan foto polaroid keduanya.
Sekuens dansa hebat untuk lagu Under Pressure jugalagi-lagi menegaskan teknik show, don't tell-nya Aftersun.
Ingatan akan percakapan ayah-anak di tengah danau menyoal keterbukaan hanya menambah luka. Saat itu, Calum ingin Sophie terus bercerita apa pun kepadanya ketika sang anak tumbuh dewasa. Momen dansa kembali menyiratkan dengan kuat bahwa hal itu tak pernah terjadi di kemudian hari. Pasalahnya, dalam adegan dansa yang sama, yang terjadi dalam kepala Sophie dewasa, ayahnya tak pernah menua.
Aftersun tak pernah menyebut ke mana gerangan Calum pergi, selain ditampilkan menghilang ke balik pintu aneh di bandara menuju sebuah rave party.
Adapun berkat segala kejadian yang telah dipaparkan, ia justru mengimplikasikan “kepergian” Calum tidaklah lepas dari kesehatan mentalnya. Menyisakan Sophie dengan memori terakhirnya akan sang ayah, lengkap dengan hantu penyesalan dan duka akibat kejadian di luar kuasanya.
Aftersun Bukan hanya soal indahnya momen liburan. Bukan pula sekadar fragmen kejadian tanpa jalinan benang merah. Ialebih dari sekadar eksplorasi waktu berkualitas ayah dan anak yang hidup dan tumbuh terpisah belaka.
Aftersun adalah sebuah karya memesona, terlebih dengan statusnya sebagai debut sang sutradara.
Ia pantas mengantarkan Charlotte Wells memperoleh predikat sebagai pencerita ulung yang layak dinantikan karyanya. Bahkan bila sehabis ini dia tak pernah bisa menghasilkan karya yang berteriak pilu sekeras ini di relung-relung terdalam di benak.
Saya tak begitu ingat mengapa saya akhirnya menonton film ini. Namun, saya tak menyayangkan dampaknya yang membuatUnder Pressure tak lagi terdengar sama. Saya juga sama sekali tak menyesali suguhan ending yang menggores dalam-dalam.
Setidaknya, saya bakal ingat untuk tak menonton ulang Aftersunsembarangan (atau tetap melakukannya, asalkan tak sampai selesai). Saya akan terus mengingatnyasebagai salah satu film drama paling mengesankan yang pernah saya tonton.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi