tirto.id - Sejak tahun 2006, kota Yogyakarta menyuguhkan sebuah festival film tingkat Asia sebagai perhelatan akbar penutup tahun, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Festival yang rutin digelar mulai minggu terakhir November atau minggu pertama Desember, tahun ini memasuki usia ke-17 dan mengangkat tema "Blossom".
Mengikuti tradisi festival film di seluruh dunia, JAFF digelar dengan sesi "Kompetisi Utama" (main competition) untuk film berdurasi panjang dan sesi kompetitif "Light of Asia" bagi film berdurasi pendek. Sepasang kategori paling bergengsi tersebut dilengkapi oleh berbagai program ekshibisi komplementer seperti "Indonesian Screen Awards" yang khusus mengakomodasi karya-karya teranyar milik sineas dalam negeri.
Ada pula sesi "Asian Perspectives" yang berfokus pada upaya membaca narasi segar audio-visual yang dianggap mampu merepresentasikan wajah benua Asia terkini di tengah dinamika konstelasi global, atau "Layar Komunitas" selaku wadah publik yang terbuka bagi para praktisi komunitas film dari seluruh Indonesia.
Penyelenggaraan JAFF juga dilengkapi dengan "Bioskop Bisik" yang berkonsentrasi pada penonton tunanetra, "JFA Showcase" sebagai etalase pemutaran terhadap karya-karya mahasiswa yang menekuni studi film khususnya di Jogja Film Academy, serta "Layar Indonesiana" yang mendanai produksi film-film pendek dengan dukungan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Tak lupa sederet kegiatan non-ekshibisi bertajuk JAFF Education, Book Talks, JAFF Archive, Public Lecture, Masterclass, dan masih banyak lagi.
Dari segi konstruksi programatik, terdapat sepasang program ekshibisi yang mencatat debut menonjol pada penyelenggaraan JAFF tahun ini. Program pertama adalah "Panorama" yang merupakan 'sempalan' dari "Asian Perspectives". Program ini menyajikan sembilan film Asia yang mengangkat isu-isu krusial sepanjang 2022, dan telah terlebih dulu berkeliling ke berbagai festival film internasional.
Berikutnya ada "Sepakbola Untuk Semua", sebentuk program penghormatan sekaligus refleksi atas tragedi Kanjuruhan awal Oktober silam yang menelan korban jiwa hingga ratusan jiwa.
Yang menarik, kuantitas submisi memegang peran signifikan dalam upaya tim selektor membangun struktur masing-masing program. Gorivana Ageza, anggota tim yang mengkurasi film-film di sesi "Main Competition" mengatakan, “Salah satu (pembeda) yang paling menonjol adalah jumlah submisi. Angkanya jauh berlipat ganda dari tahun lalu, apalagi untuk film pendek, bisa ribuan. Mengkurasi jadi lebih sulit."
"Untuk kompetisi sendiri, kebetulan (JAFF tahun ini) didominasi oleh film dengan narasi yang menunjukkan perlawanan. Ini pergeseran dari posisi pasif dan teraniaya jadi aktif melawan dan memperjuangkan sesuatu. Dari ‘ditentukan’ realitas menjadi berupaya ‘menciptakan’ realitas,” ungkap Gorivana.
Lebih lanjut, ragam kontekstualisasi mengenai isu perlawanan memang kental terasa dalam sajian seluruh program ekshibisi. Dalam usaha ‘menciptakan’ realitas independen tersebut, bentuk perlawanan yang mencuat amat variatif.
Contoh-contoh pemberontakan yang menyasar represi kalangan pemilik modal, kekerasan sistemik berbasis gender, tekanan sosial ekonomi, opresi negara atas kreativitas bercerita, sampai rekayasa rekonstruksi memori merupakan pola yang kerap berulang.
Film-film pendek seperti Wongasu (The Legend of a Dogman), Rumah Paku, Basiyat/Bathe My Corpse with Wine, The Appointed Son of God, atau Falling Day bersanding dengan film-film panjang seperti Holy Spider, Joyland, Let Me Hear It Barefoot, serta Arnold is a Model Student yang konsisten menyuarakan perlawanannya masing-masing.
Seksualitas Yang Melawan
Dari sekian wajah pemberontakan yang tampil di layar selama festival berlangsung, perlu digarisbawahi bahwa edisi ke-17 JAFF memberikan ruang interaksi yang semakin luas kepada topik represi sistemik berbasis gender.
Film-film dengan isu gender dan seksualitas yang kokoh silih berganti menyuarakan ketidakpuasan beserta sindirannya. Sebut saja Dancing Colors, Memori Dia, atau Bibir Merah Siapa Yang Punya yang berkutat pada polemik orientasi seksual, kemudian Falling Day yang mengobservasi keputusan aborsi, hingga Like & Share yang mengupas sisi adiktif pada konten pornografi seraya memotret penundukan gender tertentu.
Maybe Someday, Another Day, But Not Today dan Before, Now, and Then (Nana) mendedah kepedihan korban patriarki dari era kolonial hingga zaman kekinian. Hadir pula film pendek provokatif semacam Bootlegging My Way into Hell yang merekam ritual fantasi sensual terlarang dan Holy Spider yang meneriakkan kekerasan dalam rupa telanjangnya - pembunuhan berantai terhadap perempuan pekerja seks komersial di tengah kultur misoginis yang terus terpelihara.
Film horor literal berjudul Potret Mimpi Buruk (The Portrait of a Nightmare) sayangnya masih terjebak menggambarkan entitas antagonis astral berjenis kelamin perempuan. Seakan-akan yang namanya predator gaib pasti berasal dari kalangan betina.
Represi seksual di berbagai lini kehidupan kita masih menjadi isu sensitif di ruang publik. Sering digaungkan, namun kurang mendapat atensi serius dari para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan.
Beberapa terobosan penting yang muncul seumpama Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 30 Tahun 2021 mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, atau pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, belum berhasil menjangkau segala lini yang kadung dinodai oleh aksi-aksi eksploitasi seksual dan penundukan berbasis gender.
Menyikapi kenyataan sosial semacam itu, keputusan artistik JAFF untuk menghadirkan ruang aman dan nyaman bagi diskusi terkait represi sistemik berbasis gender melalui medium audio-visual patut mendapat apresiasi.
Mereka menangkap momentum sosial politik yang tengah hangat serta membingkainya dalam kerangka interpretasi programatik yang ciamik.
Maka, penonton yang setia mengikuti menu pemutaran JAFF dari hari ke hari akan terpapar sekaligus teredukasi, baik secara subtil maupun harfiah, atas masalah sosial yang signifikan dan amat mendesak tersebut.
Menciptakan realitas yang ramah gender serta bebas dari ketimpangan relasi kuasa adalah tugas besar kita bersama. Perlawanan semacam itu sebenarnya sudah bermula dari inisiatif kampanye Sinematik Gak Harus Toxic sekitar tiga tahun lalu.
Kampanye ini membuka kotak aduan menyoal pelecehan dan/atau kekerasan seksual di lingkungan komunitas dan kegiatan perfilman. Kasus yang sempat ramai yang menyasar salah seorang kru film Penyalin Cahaya bisa dibilang merupakan keluaran konkret dari kampanye ini.
Maka, kini saatnya mengamplifikasi inisiatif serupa dalam wujud-wujud anyar yang merambah aspek-aspek kehidupan sosial secara umum, dan JAFF 2022 tampil gamblang sebagai pendukung terdepan.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi