tirto.id - Setelah lima bulan tahun 2023 berjalan, Induk Gajah merupakan salah satu miniseri lokal terbaik di tahun ini yang mengusung kritik budaya secara cerdas dan tajam. Miniseri tersebut tayang secara eksklusif di kanal streaming Amazon Prime Video.
Berangkat dari adaptasi sebuah buku yang berisi sekelumit episode kehidupan penulisnya, Iragita Sembiring, Induk Gajah bertumpu pada isu seputar dinamika hubungan seorang ibu yang menjadi orang tua tunggal dengan anak perempuan semata wayangnya.
Pada awalnya induk gajah merupakan kode sindiran sang putri, Ira (Marshanda), tatkala ia merujuk Mak Uli selaku mamanya (Tika Panggabean) dalam setiap obrolan. Lambat laun, kode tersebut merambah ruang lingkup yang lebih luas: kritik terhadap kurangnya kesadaran body shaming, serta tuntutan adat istiadat Batak yang dinilai semakin ketinggalan zaman.
Sepanjang delapan episode, Induk Gajah mampu bergerak taktis dan cekatan dalam meramu hingga menyampaikan kritikannya secara gamblang. Kemasan komedi yang membungkus esensi dimaksud membuat protes yang dilayangkan terasa kian menohok.
Apa saja poin-poin bernuansa teguran kebudayaan yang mengudara dari Muhadkly Acho dan kawan-kawan melalui karya cemerlang ini?
Komodifikasi Tubuh
Sanggahan pertama yang muncul di layar adalah perihal umur dan postur tubuh. Karakter Ira diperkenalkan sebagai seorang perempuan yang telah memasuki usia kepala 3, namun belum menunjukkan tanda-tanda akan melangkah ke pelaminan.
“Kegagalan” mencari calon pasangan lantas dikaitkan dengan paras fisik Ira yang, menurut ibunya, sama sekali tidak menarik: pendek, gendut, no glowing make-up whatsoever. Lebih lanjut, fisik Ira dikontraskan dengan konsep good-looking yang direpresentasikan oleh karakter Anita (Mikha Tambayong): tinggi, langsing, putih bersih, plus dandanan menawan.
Saya tidak perlu lagi membahas panjang lebar mengenai bagaimana konstruksi media arus utama selama bertahun-tahun mengenai figur “perempuan cantik” mempengaruhi cara pandang kaum hawa dari segala lapisan umur di seluruh Indonesia.
Yang harus digarisbawahi adalah bahwa komodifikasi sedemikian rupa sesungguhnya hanya melayani kepentingan ekosistem entertainment. Komodifikasi semacam itu tidak serta-merta mendefinisikan esensi tentang bagaimana seorang perempuan menampilkan dirinya di hadapan orang lain.
Tiap-tiap perempuan cantik menurut pribadinya masing-masing, dan ia merawat atau menjaga vitalitas dirinya untuk kesehatan pribadinya pula. Warna kulit, tipe rambut, bentuk dagu, lekukan pinggul, hingga model dandanan bukan penentu kualitas kecantikan tersebut.
Namun bila menilik kondisi sosial kultural masyarakat kita, masih sangat banyak persepsi, atau boleh saya sebut stigma, yang melekat kuat dalam benak orang per orang bahwa cantik adalah sebagaimana yang mereka saksikan di acara-acara televisi.
Perkembangan definisi kecantikan lantas mendekati mutlak, dibuktikan dengan kehadiran kontes-kontes kecantikan yang penuh prestise setiap tahunnya. Perempuan-perempuan yang menyimpang dari definisi tersebut sontak dicap “susah dapat jodoh” dan jenis-jenis penghakiman lain yang sejenis.
Dalam kacamata berpikir seperti itulah Ira ditempatkan. Ia pasti tidak laku karena secara fisik saja mustahil ada pria yang tertarik. Beragam usaha dilakukan agar berat badannya turun, bahkan produk suplemen dietnya saja korban iklan pelangsing tubuh. Alamak!
Ira bukannya tidak berusaha membuka hati. Dengan bantuan teman-temannya, ia berjejaring lewat situs daring pencari jodoh. Tatkala kesempatan untuk bersua tiba, sang pria justru menambah rasa tidak percaya dirinya. Pada titik ini, Ira mulai mengalami dilema.
Kompromi Tradisi
Orang Batak di berbagai belahan dunia memiliki tiga tujuan utama dalam hidup: hasangapon (kemuliaan/kehormatan), hamoraon (kekayaan), serta hagabeon (kesuburan). Trio falsafah itulah yang menjadi fondasi utama dari bangunan adat istiadat Batak.
Salah satu cara mencapai tujuan hidup tersebut adalah melalui ikatan pernikahan. Dalam adat istiadat Batak, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah secara otomatis memperoleh kenaikan status sosial dibanding teman sejawatnya yang masih lajang. Pernikahan mereka juga turut membawa posisi terhormat yang lebih bagi tiap-tiap keluarga besarnya.
Atas dasar itu, tak heran bila adat istiadat Batak mengenai tata cara dan etika pernikahan terkenal ketat dan cenderung kaku. Tatanan tradisionalnya nyaris tidak menyisakan barang sedikit ruang untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Hukum adat yang baku semacam itu kian langgeng berkat paradigma orang-orang Batak secara umum, terlepas dari sub suku masing-masing, yang lebih senang memiliki besan dan menantu yang berasal dari suku yang sama.
Istilah-istilah seumpama baoa/boru sileban (laki-laki atau perempuan non-Batak), dalle (tidak mengerti adat), termasuk pariban yang sangat populer di lingkup nasional merupakan produk sampingan dari paradigma tersebut.
Pernyataan Mak Uli di depan sahabatnya, Tante Duma (Tamara Geraldine), suami sahabatnya (Paulus Simangunsong), beserta putra tunggal mereka, Marsel (Dimas Anggara), menegaskan pola pikir dimaksud. Harus seagama dan sesuku, demikian pokok rumusannya.
Jika sang anak tidak menunjukkan sinyal akan segera menikah sementara umurnya sudah sangat matang, tak jarang orang tua memutuskan menempuh jalan pintas via perjodohan. Strategi tersebut diambil semata-mata guna menjaga harkat dan martabat keluarga Batak agar tetap selaras dengan trio falsafah utama di atas.
Masalahnya, perkembangan zaman bermakna perkembangan epistemologi individual pula. Cara Ira memandang dirinya tentu berbeda dengan cara ibunya melihat putrinya. Cara pertama berkutat pada independensi, sementara cara kedua bertaut dengan himpitan tradisi.
Maka ihwal perjodohan menjadi pelik. Metode ini memang efektif melayani tuntutan tradisi tapi sangat bertentangan dengan prinsip independensi. Di banyak tempat yang masih mempraktikkan perjodohan, gesekan maupun konflik horizontal tentu tidak terelakkan.
Banyak kasus menunjukkan bahwa tidak tersedia waktu yang cukup guna mengenal satu sama lain di antara dua orang yang dijodohkan. Faktor penunjangnya adalah permintaan orang tua supaya cepat-cepat menimang pahompu (cucu). Lagi-lagi, ketundukan absolut anak pada orang tua dalam adat istiadat Batak memperkeruh situasi tersebut.
Tekanan psikologis yang mendera akibat sempitnya waktu demi memenuhi tuntutan tradisi lantas memicu kondisi depresi yang kerap dialami anak-anak muda Batak, khususnya para perempuan. Tak jarang mereka mengorbankan karir asalkan marwah keluarganya naik setelah resmi menikah.
Kita menyaksikan Ira bersama Marsel bergumul demi mendapatkan kompromi terbaik atas pengaruh hukum adat tersebut tanpa mengorbankan nilai independensi maupun keinginan hati mereka masing-masing.
Mereka berdua seakan menjadi simbol mini dari sekian banyak orang-orang muda Batak di kota besar maupun kampung kecil yang bergulat menghadapi kekakuan adat istiadat dalam dinamika pencarian akan pasangan hidup.
Pada kesudahannya, Ira dan Marsel bersatu. Tapi tidak demikian realitanya dengan ribuan orang muda lainnya yang mengalami deraan serupa. Seringkali individu-individu ini terpaksa tunduk seumur hidup guna menghindari sanksi sosial, termasuk potensi pengucilan dari perhimpunan marga maupun jemaat gereja atau komunitas santri tradisional.
Dalam situasi empirik begitu, kritik keras Induk Gajah terasa semakin kecut. Komedi-komedi segarnya memang hanya mampu menyamarkan gambaran atas tragedi kultural massal yang terus bermunculan di mana-mana, ibarat wangi-wangian yang tak kuasa menyembunyikan aroma amis darah.
Perubahan paradigma antar generasi adalah kunci. Bukan untuk merevolusi adat istiadat, melainkan mencari jalan tengah tanpa mengorbankan substansi yang diusung oleh seluruh pemangku kepentingan.
Penghormatan atas budaya turun-temurun tentu bersifat mandatori, yang penting jangan sampai mengesampingkan jeritan hati.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi