tirto.id - Publik pecinta film-film horor tengah menggandrungi sekumpulan cerita milik seorang penulis anonim yang dikenal luas sebagai Simpleman. Cerita-ceritanya pertama kali mendapat atensi tinggi di kanal media sosial Twitter, dimulai dari terobosan apik KKN Desa Penari.
Setelah viral selama berminggu-minggu di media sosial, cerita KKN Desa Penari lantas menuai kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika ia pindah medium ke layar lebar. Ia mencetak rekor selaku film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan total raihan penonton lebih dari 10 juta orang.
Kesuksesan itu tak pelak membuat produser Manoj Punjabi melirik khasanah karya-karya Simpleman lainnya untuk diadaptasi ke medium audio-visual. Kekhasan gaya bercerita yang terkandung dalam karya-karya tersebut memicu harapan munculnya era baru semesta film horor tanah air.
Karya berikutnya yang terpilih untuk alih medium bertajuk Sewu Dino. Cerita ini turut meraup perhatian luar biasa di kalangan pengguna Twitter serta merupakan karya kedua Simpleman, setelah KKN Desa Penari, yang diterbitkan dalam format buku.
Lantas bagaimana performa adaptasi Sewu Dino mengawali kick-off bagi peluncuran jagat sinematik horor teranyar yang digadang-gadang akan menjadi semacam tatanan audio visual berbau monster dengan cita rasa lokal?
Trah Pitu Lakon
Pertama-tama, Sewu Dino bukan sekuel KKN Desa Penari. Judul yang disebut terakhir berdiri sendiri, sementara judul pertama tergabung dalam semesta rangkaian kisah yang lebih besar cakupannya. Dalam kanon ala Simpleman, semesta ini diberi nama Trah Pitu Lakon.
Jika kita merunut berbagai khasanah cerita di dalamnya, maka urutannya secara kronologis adalah sebagai berikut: Sewu Dino, Janur Ireng, Lemah Layat, Aksara Kolojiwo, Ranjat Kembang, Padusan Pituh, Kubro, Kolo Sobo, Songkor, serta Ragat Nyowo.
Semesta dimaksud berkutat pada serententan kisah tentang 7 keluarga besar nan terpandang di Pulau Jawa yang memperoleh kehormatan, kekayaan, bahkan kekekalan akibat menjalani persekutuan terlarang dengan ‘Sang Maha Ratu’ penguasa dunia tak kasat mata.
Seluruh keluarga dalam kelompok dimaksud memiliki jadwal pertemuan rutin dan setiap keluarga diwakili oleh kepala keluarganya masing-masing sebagai pengambil keputusan. Pola tersebut diwariskan dari generasi ke generasi sepanjang lebih kurang ratusan tahun.
Melalui persekutuan itu, tiap-tiap keluarga mempunyai pengetahuan seputar ritual-ritual mistis tertentu, ilmu-ilmu hitam berbagai tingkatan, hingga peliharaan supranatural. Namun dalam penggunaannya, mereka saling terikat dengan seperangkat aturan yang bakal menghadirkan konsekuensi fatal bila dilanggar.
Terjadi persaingan sengit antar keluarga, terutama seputar keluarga mana yang paling layak memegang tampuk pimpinan trah 7 keluarga besar ini. Kompetisi itu kemudian kerap melahirkan konflik berdarah yang datang silih berganti.
Kemungkinan besar semesta cerita dalam rupa teks akan berbagi nama serupa dengan jagat sinematik yang digawangi oleh MD Pictures. Maka rasanya kita dapat pula menyebutnya sebagai Jagat Sinematik Trah Pitu Lakon (JSTPL).
Film permulaan dalam jagat ini disutradarai oleh Kimo Stamboel yang telah malang melintang di industri perfilman tanah air berbekal spesialisasi pada bidang horor, thriller, serta slasher yang berpadu dengan narasi gelap psikologis maupun ihwal kebatinan.
Pada ruang streaming Disney+, ia baru saja merilis serial Teluh Darah yang juga sedang dibicarakan oleh banyak orang berkat inovasi plot dan pendekatan segar yang ia tawarkan.
Dalam konteks JSTPL, ia dipercaya untuk mengarahkan sepasang film back-to-back yang memegang peran esensial bagi keseluruhan kisah.
Dendam 1000 Hari
Sebagai film pembuka yang bertugas membangun daya tarik serta animo publik, Sewu Dino menceritakan bencana yang dialami oleh keluarga besar pertama, Keluarga Atmojo, memasuki awal dasarwasa 2000-an. Hampir seluruh anggota keluarga tewas dibantai, menyisakan Mbah Karsa (Karina Suwandi) dan cucunya, Dela Atmojo (Gisellma Firmansyah).
Ilmu hitam yang menyerang Dela membuatnya harus dimandikan dengan ritual Basuh Sedo selayaknya memandikan jenazah serta dikerangkeng dalam keranda khusus selama 1000 hari. Bila ritual tidak berjalan sempurna, abdi yang memandikan akan meregang nyawa.
Babak pertama film menampilkan masa ritual Basuh Sedo telah mencapai 996 hari. Mbah Karsa tengah mencari abdi perempuan baru yang bersedia menuntaskan tugas selama 4 hari ke depan guna menggenapi durasi sewu dino dimaksud.
Kita lalu berkenalan dengan Sri (Mikha Tambayong) dan Erna (Givina Lukita). Mereka berdua ditemani oleh Dini (Agla Artalidia), seorang abdi perempuan senior yang menjadi saksi mata pembunuhan sepasang rekannya oleh Sengarturih, entitas gaib yang mengokupasi tubuh Dela. Ketiganya lahir pada weton yang sama, Jumat Kliwon.
Penggambaran JSTPL disinyalir akan sangat kental dengan ilmu hitam bertipe santet. Tanpa perlu mengumbar penampakan murahan dan pendekatan jump scare berulang kali, pembangunan atmosfer kengerian adalah kunci.
Selain cipratan atau semburan darah, kita bisa menyaksikan bagaimana pilihan kreatif Kimo mengonstruksi suasana penuh ketegangan. Ia memaksimalkan suara guntur menjelang hujan, suara kaset tergulung, nyala lilin yang mendadak mati, sampai teknik fast-motion serta shaky close-up dari wajah Dela atau Sengarturih tatkala menyiksa calon korbannya.
Dendam tetap menjadi motif fundamental yang kali ini bersifat lintas keluarga besar. Hal tersebut selaras dengan pengetahuan bahwa pemanfaatan santet takkan sepenuhnya manjur/ampuh bila tingkat kebencian pengirimnya belum mencapai level paripurna.
Memang, seumpama adaptasi tekstual ke ranah audio visual pada umumnya, terdapat beberapa bagian dari kisah asli yang sengaja terlompati atau mengalami simplifikasi di dalam bingkai film atas nama kebutuhan sinematografis. Tapi penyesuaian itu tidak mengganggu.
Perhatikan pula penempatan plot twist yang tampil cukup berbeda dari intensi yang terkandung pada kisah aslinya. Intensi tersebut melibatkan seorang karakter protagonis yang, seiring plot berjalan, mulai terindikasi mengemban misi sebagai agen ganda demi memastikan santet yang dikirim berhasil merenggut nyawa sasaran.
Dalam ruang lingkup mikro, film ini cukup berhasil mengulik sekelumit sisi gelap di balik kehidupan kalangan keluarga terpandang maupun orang-orang besar yang konon memiliki ‘pegangan’ spiritual yang bertugas melindungi mereka dari musuh-musuhnya.
Dalam kerangka makro, premis yang tersirat kian menegaskan pernyataan lama Joko Anwar yang tercetus lewat mulut karakter Hendro (August Melasz) di film Kala (2007): bahwa Nusantara amat lekat dengan hal-hal mistis, dan di atas dasar itulah negeri ini berdiri.
Babak terakhir film menyudahi alur narasinya dengan petunjuk yang menggantung. Selain itu, di tengah-tengah kredit film muncul pula sepasang adegan tambahan yang semakin memperkuat dugaan mengenai perluasan cerita ke adaptasi selanjutnya, Janur Ireng.
Pendekatan ini secara gamblang mengadopsi struktur serupa yang sering kita jumpai pada film-film Marvel Cinematic Universe. Tak ada yang salah dengan itu, toh kesempatan bersua Sri dan Sugik (Rio Dewanto) akan lebih banyak tatkala mereka mengeksplorasi apa yang disebut sebagai santet janur ireng.
Santet tersebut adalah sejenis senjata pamungkas yang mengakhiri riwayat keluarga besar Kuncoro, salah satu anggota kelompok Trah Pitu. Dampak santet itu pula yang memantik dendam kesumat Sabdo Kuncoro (Marthino Lio) terhadap Keluarga Atmojo.
Sewu Dino membuka tabir Jagat Sinematik Trah Pitu Lakon dengan cukup apik.
Kesan pertama begitu menegangkan, selanjutnya tinggal duduk manis menanti sajian horor khas Indonesia yang dikemas dengan pakem segar bermodalkan reputasi menawan Kimo Stamboel.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi