tirto.id - Frasa “diambil kisah nyata” atau “based on true story” pada poster film horor bisa saja dilihat sebagai sekadar mantra pelaris atau mungkin ada yang benar-benar meyakininya.
Banyaknya film horor yang membubuhkan frasa tersebut, memperlihatkan betapa pentingnya membuat penonton film horor membayangkan atau mempercayai realitas supernatural mengerikan yang ditonton.
Frasa “diambil dari kisah nyata” pada poster film biasanya ditempatkan pada posisi terdekat dengan teks judul film. Peletakan frasa dekat judul film bertujuan agar teks dibaca langsung setelah judul film, sebelum akhirnya membaca akreditasi aktor ataupun sutradaranya.
Pemosisian tersebut memberikan implikasi langsung tentang cara penonton menyikapi film. Penonton harus tahu bahwa film yang akan disaksikannya benar-benar terjadi.
Teks stempel “kenyataan” itu menunjukkan bahwa teks tidak mampu berdiri sendiri. Dan teks bukan berarti sekadar runutan huruf saja. Ia bisa berarti apa pun yang dapat dibaca seperti film, musik, lukisan, bahkan suatu fenomena.
Mengingat kata ”teks” sendiri memiliki asal kata yang sama dengan ”tekstil”, yang berarti saling kait kelindan layaknya kain yang tersusun atas jalinan benang. Film sebagai teks berarti saling menyulam dengan teks-teks lainnya.
Contoh paling sederhana dari teks yang disajikan bersamaan dengan teks inti adalah konteks. Imbuhan awal ‘kon-’ yang direkatkan pada kata ‘teks’, memberi arti ‘kesatuan’ sehingga konteks berarti teks yang mengitari suatu teks.
Parateks kurang lebih memiliki makna yang hampir sama, tapi sedikit lebih rumit.
Parateks sebagai Jembatan antara Pembaca dan Teks
Parateks adalah istilah teori sastra yang ditawarkan Gerard Genette, seorang teoretikus sastra dari Prancis. Di bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Paratext: the Threshold of Interpretation (1997), menjelaskan bahwa parateks dalam konteks buku; mencakup sampul, kata pengantar, jenis huruf, kata penutup, dan lain-lain, yang bukan teks inti.
Bagi Genette, parateks menjadi semacam jembatan yang menghubungkan teks dan pembacanya. Dengan adanya parateks, suatu teks seakan sudah selesai dan dapat disajikan kepada pembaca. Pembaca menjadi punya semacam gagasan awal tentang bagaimana teks inti yang akan mereka baca, dan tentu saja kelak akan memengaruhi cara menyikapinya.
Gagasan parateks awal Genette secara umum berbicara seputar buku, dan kemudian Jonathan Gray menerapkannya pada film dan acara TV. Dalam bukunya Show Sold Separately: Promos, Spoilers, and Other Media Paratexts (2010), ia menunjukkan bahwa teks-teks di sekitar film seperti promosi, trailer, atau juga review merupakan parateks juga. Teks-teks sampiran tersebut membantu dalam memahami juga bagaimana menyikapi film.
Selain membantu pemahaman terhadap teks inti, parateks menurut Gray dapat melanjutkan cerita yang sudah selesai dalam teks inti. Ulasan, kritik, dan merchandise sebagai parateks membuat cerita terus berkembang meski film sudah selesai. Ia berkembang layaknya folklor yang berpindah dari mulut ke mulut, dan membuat cerita-cerita baru yang di luar kendali penciptanya.
Kenyataan di Luar Teks
Selain parateks dalam bentuk stempel klaim “kenyataan” di poster film horor, ada bentuk parateks lain. Dalam berita promosi film horor, tidak sedikit materi promosi bercerita mengenai pengalaman menyeramkan di balik layar. Terkait hal ini, berita menyeramkan saat syuting sebagai parateks menjadi tidak ada bedanya dengan stempel “kenyataan” di poster film.
Bila dirunut jauh ke abad 18-an, membuat pembauran antara kenyataan dengan cerita horor sebenarnya sudah ada sejak awal mula genre horor ditulis.
Bila merunut tradisi penulisan cerita gotik, akan dijumpai jenis naratif yang menggunakan trope: found document atau found manuscript, yang masih mirip dengan teknik epistolari. Yaitu, sebuah struktur atau teknik penulisan yang menggunakan teks-teks lain, seperti dokumen, jurnal, atau arsip, dalam menyampaikan cerita. Teks-teks tersebut biasanya ditemukan atau dikumpulkan agar plotnya maju.
Penggunaan trope atau kiasan ini memberikan bermacam khasiat terhadap cerita. Salah satunya jika penulis ingin menghilangkan jejak keberadaannya. Struktur ini adalah obat yang sangat mujarab. Dan tentu saja dapat memberikan nuansa kenyataan dalam cerita.
Tidak sedikit teks-teks klasik gotik menggunakan kliping koran atau catatan dari buku harian dalam memulai cerita. Alhasil, ceritanya mendapatkan semacam kebenaran karena ‘bersejarah’.
Novel karangan Horace Walpole, The Castle of Otranto (1764), yang diyakini sebagai novel gotik pertama sudah menggunakan struktur naratif found document. Pada pertama kali diterbitkan, Walpole menyembunyikan dirinya sebagai penulis novel itu. Meski pada edisi kedua, ia kemudian menerbitkan novelnya dengan menggunakan namanya sendiri sebagai penulis.
Publik sempat terkecoh dan menyangka kebenaran kejadian yang ada di novelnya Walpole ketika novelnya terbit pertama kali. Lewat teknik berceritanya yang mendahulukan kenyataan dengan mengumpulkan potongan-potongan dokumen dari koran dan jurnal, batas antara realitas di novel dan dunia nyata menjadi semu.
Dengan demikian, fiksasi publik terhadap kenyataan di balik cerita horor mungkin saja hanya bagian dari tradisi cerita horor yang diwariskan secara temurun.
Parateks dalam Industri Film
Fiksasi publik terhadap kenyataan horor mendapat tempat yang subur di media sosial. Terlihat dari munculnya beberapa para pelaku industri film turut menggunakan media sosial sebagai parateks. Khususnya di Twitter, akun Bioskop Online mencuitkan utas mengenai mitos di balik latar tempat film Rumah Kaliurang (2022).
Dalam keterangan utas tersebut ditulis, “Film Rumah Kaliurang emang terinspirasi dari kisah nyata gaes”. Pola ini cukup menarik karena meski film Rumah Kaliurang secara umum tidak dibubuhkan stempel “kenyataan” pada poster filmnya, kebutuhan untuk membaurkan kenyataan dengan cerita film tetap ada.
Tampaknya Visinema selaku rumah produksi dari film Rumah Kaliurang dan pemilik Bioskop Online melihat pemasangan stempel “kenyataan” di poster hanya sebagai promosi dan dianggap sudah usang.
Namun yang dilakukannya ini berarti juga memanfaatkan Twitter sebagai ruang publik untuk berbagi cerita horor tentang Kaliurang. Kejadian horor sebagai pengalaman bersama (shared experience) akan selalu dibagikan dari mulut ke mulut layaknya folklor.
Membuat media sosial sebagai parateks film horor lokal juga dilakukan oleh Joko Anwar di platform Twitter. Pada Twitter Space-nya, ia menanggapi berbagai pertanyaan dari penontonnya mengenai film Pengabdi Setan 2 (2022).
Parateks yang dibuat oleh Joko Anwar dengan menjembatani penonton dan filmnya sebetulnya perlu diapresiasi. Selain tidak membuat parateks yang melulu menjual kenyataan horor di balik layar, ia menciptakan rasa komunalitas dalam film. Hal ini penting dalam wacana horor yang sebagai sebuah teks sangat bergantung dengan imajinasi kolektif.
Ada beberapa perbincangan yang menjurus ke arah kejadian horor di balik syuting. Namun hal tersebut tidak begitu signifikan. Terlihat dari pembicaraan soal kenyataan horor di balik layar yang tidak berlanjut dan publik lebih senang mendapat penjelasan cerita dari Joko Anwar.
Sebetulnya yang jadi signifikan ialah Joko Anwar menjadi figur yang otoritatif (authoritative). Ia seakan menjaga statusnya sebagai pembuat cerita (author) dengan membuat parateks tersebut. Tampaknya Joko Anwar ingin tetap punya kendali atas cerita yang ia buat. Cerita Pengabdi Setan 2 seakan tidak boleh dimiliki oleh publik dan berkembang liar dalam benak penontonnya.
Jonathan Gray dalam buku yang sama turut memperlihatkan bagaimana parateks yang dibuat oleh fan seperti forum teori fan daring, sama kuatnya dengan yang dibuat oleh pelaku industri film sendiri. Meski parateks yang diproduksi oleh fan, bisa menjadi bentuk resistensi terhadap otoritas industri pada cerita. Gray menjelaskan juga bagaimana parateks dari fan bisa juga bersifat resiprokal dan membantu pembuat cerita meneruskan ceritanya kelak.
Sebetulnya mencermati lebih dekat mengenai parateks dapat menunjukkan bagaimana cerita terus mengalir. Cerita tidak terhenti jika film sudah selesai ditonton atau berhenti tayang di bioskop.
Dengan parateks yang ada, kendali bukan terletak pada pembuat cerita maupun rumah produksi. Karena cerita akan terus berkembang dalam benak publik seperti hantu yang terus bergentayangan.
Penulis: Alwin Firdaus
Editor: Lilin Rosa Santi