Menuju konten utama
Misbar

Cross the Line: Batas Cinta dan Eksploitasi Manusia

Cross the Line tayang perdana di Jakarta Cinema Week pada Oktober 2022 silam dan kini tersedia di kanal daring Klik Film.

Cross the Line: Batas Cinta dan Eksploitasi Manusia
Cross The Line. youtbe/falcon

tirto.id - Syahdan, sepasang kekasih merantau dari desa dengan niat menjadi pekerja migran di negeri tetangga yang kabarnya menawarkan iming-iming pendapatan signifikan. Namun sebelum menyeberang, mereka harus rela hidup transit di kawasan pelabuhan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Di sinilah kisah Maya (Shenina Cinnamon) dan Haris (Chicco Kurniawan) bermula dalam Cross the Line, film panjang besutan Razka Robby Ertanto. Film ini tayang perdana di Jakarta Cinema Week pada Oktober 2022 silam, dan kini tersedia di kanal daring Klik Film.

Dalam karya terbarunya, Robby mengeksplorasi isu perdagangan manusia yang kerap terjadi di daerah perbatasan lintas negara, khususnya area pelabuhan. Ia membungkus isu tersebut dengan kemasan kisah romansa yang tampil cukup sederhana.

Problematika perdagangan manusia bukan isu main-main, dan masih sedikit film tanah air yang memilih mengangkat topik ini ke permukaan. Cross the Line mencoba mempenetrasi ranah itu meskipun kerap terbentur dengan tantangan tersendiri.

Eksploitasi Sistemik

Menurut Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2022, pemerintah pusat masih berupaya memenuhi standar minimum pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) melalui perbaikan database, dukungan repatriasi kepada pekerja migran, hingga penanganan modus perdagangan seks.

Berdasarkan catatan International Organization for Migration (IOM) tahun 2020, penyajian data TPPO lintas negara secara spesifik menjadi sasaran reformasi sebab seringkali gagal merepresentasikan angka kasus perdagangan manusia secara riil di lapangan.

Sebagai pembanding, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) merekam peningkatan kasus dari 213 pada 2019 menjadi 400 pada 2020, dimana 70% diantaranya merupakan eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur.

Eksploitasi seksual dan praktik penyelundupan secara sistematis adalah salah dua topik utama yang hadir dalam film ini. Demi membayar biaya pengobatan ibunya di kampung, Maya yang awalnya bekerja sebagai cleaning service terpaksa banting setir menjajakan tubuhnya.

Cross The Line

Cross The Line. youtbe/falcon

Di sisi lain, Haris yang bekerja sebagai petugas inspeksi komoditas sebelum memasuki area pelabuhan mau tak mau menerima sogokan rutin yang bernilai besar dari komplotan penyelundup agar ia bisa membantu usaha Maya menabung.

Seiring waktu, sepasang kekasih ini semakin terjebak dalam pusaran bisnis haram di area perbatasan laut sehingga memicu konflik pribadi antara keduanya. Walaupun demikian, tujuan utama untuk mencari penghidupan yang layak di negeri tetangga tetap terpelihara.

Melalui gambaran perjuangan mengais sejumlah nominal uang yang dilakoni oleh Maya dan Haris, kita memperoleh sekelumit bayangan tentang realita ‘kehidupan transit’ di pelabuhan selama berpuluh-puluh tahun.

Bagaimana modus penyelundupan manusia berjalan, kasta sosial yang berlaku di pelabuhan antara kaum ‘nakhoda’ dengan kalangan ‘anak buah kapal’, hingga bisnis prostitusi lintas perbatasan negara merupakan beberapa faktor yang mendegradasi kehidupan transit itu.

Eksploitasi finansial turut melengkapi mirisnya sirkulasi ekonomi di sana. Kita menyaksikan gaji Maya dipotong setiap bulan guna melunasi utang administratif. Maya tak bisa membela diri sebab ijazahnya, bersama ijazah Haris, ditahan oleh pihak penyalur gaji.

Semua jenis eksploitasi tersebut berlangsung secara simultan dan kadung mengakar, sehingga tak heran bila orang-orang yang menjalani keseharian di sekitar pelabuhan kian permisif terhadap berbagai tindak kriminal yang telah dijabarkan di atas.

Tiap orang telah sibuk mengamankan diri sendiri tanpa lagi peduli tentang apa yang benar dan apa yang salah dari siklus hidup mereka. Agaknya, itu pula penyebab ikatan batin diantara Maya dan Haris perlahan memudar, berganti dengan sikap individualis pragmatis.

Infografik Misbar Cross the Line

Infografik Misbar Cross the Line. tirto.id/Fuad

Gamang Melintasi Batas

Segala sesuatu di dunia fana memiliki limit, tak terkecuali kasih sayang. Ketika dihadapkan pada kondisi lingkungan yang pelik, tak jarang kasih sayang itu diuji hingga ke batas maksimalnya. Ada yang berhasil melampaui, banyak pula yang gagal bertahan.

Situasi darurat yang melanda anggota keluarganya mendorong Maya melangkahi batas yang tak seharusnya ia lewati. Namun kita tak bisa serta merta menyalahkannya. Kebosanannya menanti impian yang tak kunjung terwujud turut memegang andil.

Maya memilih menanggalkan afeksinya tatkala melihat pekerjaan Haris tak juga menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sementara itu, Haris mempertahankan cinta dan komitmen mereka. Ia lantas menjadikan alasan dimaksud sebagai justifikasi atas keputusannya melanggar batas integritas pribadinya.

Sesuai dengan judul film, kita dapat mengamati batas-batas itu konsisten dihancurkan. Sayangnya, Robby selaku sutradara gagal mengelaborasi bingkai pengadeganan lebih jauh sehingga menghasilkan plot hole (lubang naratif) yang cukup mengganggu.

Seiring plot berkembang, banyak hal yang kemudian tampak mengalami simplifikasi. Begitu pula penyelesaian masalah yang ditawarkan pun tampak tergesa-gesa. Adegan hubungan seksual antara Maya dan Haris cukup gamblang menunjukkan kesan itu.

Alhasil, cara mengakhiri progresi naratif film pun sangat mudah tertebak. Oversimplifikasi yang mulai menggejala sejak pertengahan durasi ternyata terus dilanjutkan alih-alih mengambil jalur bercerita lain yang lebih subtil.

Apakah Maya dan Haris berhasil mewujudkan mimpi kolektif mereka? Secara ironis, jawaban atas pertanyaan itu tidak lagi penting. Demikian pula dengan isu perdagangan manusia yang sama sekali tidak mencapai konklusi memuaskan.

Pada kesudahannya, batas-batas yang telah dilanggar oleh berbagai bentuk eksploitasi di sepanjang film hanya menemui klimaks yang sangat canggung. Hal ini justru menjadi semacam cermin paradoks bagi laju storytelling yang ikut-ikutan tersendat, seakan-akan kehabisan bahan bakar menjelang garis finis episodiknya.

Cross the Line mungkin membawa harapan yang membuncah di awal, tapi ia terbukti amat terbata-bata dalam menjabarkan kisah dan problematika yang diusung. Tak pelak, cinta Maya dan Haris cuma sebatas bungkus plastik yang menyembunyikan kegagapan bercerita.

Baca juga artikel terkait MISBAR TIRTO atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi