tirto.id - Siang sepulang sekolah, Milea, seorang siswi SMA di Bandung yang baru pindah dari Jakarta, dihampiri laki-laki bermotor. "Suatu hari nanti pasti kamu naik motorku”.
Dilan, si pengendara motor yang satu sekolah dengan si gadis, tahu semua hal tentang Milea, mulai dari kelas, asal-usul, lokasi rumah, nomor telepon, hingga siapa orangtuanya. Hari-hari berikutnya telepon di rumah Milea berdering tiap malam. Peneleponnya tentu Dilan, yang Milea sanjung sebagai “peramal”.
Adegan setelahnya, ketika meninggalkan motornya untuk naik angkot bersama Milea, Dilan mengatakan, “Sore nanti aku mungkin jatuh cinta padamu, sekarang belum tentu.”
Beberapa menit pertama film Dilan 1990 nyaris membuat saya bergidik ngeri. Tidakkah mengerikan ketika seseorang mengetahui hampir segala hal tentang Anda?
Ketika Scream 4 dirilis di bioskop pada 2011, ada satu ikon yang absen sepanjang cerita: telepon kabel. Ya, telepon kabel yang begitu menonjol pada Scream (1996), Scream 2 (1997), dan Scream 3 (2000), sebagai medium teror yang menghubungkan pembunuh misterius dengan korban-korbannya sebelum dan di antara aksi bacok-bacokan. Karakter-karakter dalam Scream 4 memakai telepon pintar, juga aktif di media sosial, dan dari sanalah mereka terhubung dengan sang pembantai.
Dunia smartphone tentu punya horornya sendiri, seperti yang telah diangkat sejumlah film Hollywood tahun-tahun belakangan ini. Namun, zaman dulu, yang mengerikan dari teror telepon kabel adalah Anda nyaris mustahil melacak nomor si penelepon, apalagi menebak di mana posisinya. Anda ingat dialog-dialog awal antara Sidney Prescott (Neve Campbell) dan pembunuh berantai dari Scream?
Pembunuh: Pertanyaannya bukan siapa saya, tapi di mana saya?
Sidney: Di mana?
Pembunuh: Teras depan.
Sidney: Ngapain kamu telepon saya dari teras?
Man: That's the original part.
Jangan kaget jika adegan semacam itu muncul di Dilan 1990. Hanya saja, si penelepon lebih witty dan manis. Selebihnya, keduanya sama-sama misterius, dan—mungkin karena ingin memberi kesan hidup di jalanan—selalu mengontak dari telepon umum koin yang jelas tak bisa dilacak dari telepon rumah yang digunakan Milea.
Untung saja Dilan bukan intel. Perkiraan saya akhirnya memang keliru. Di luar mengerikannya relasi berbasis telepon antara Dilan dan Milea, Dilan 1990 dimaksudkan sebagai drama cinta-cintaan anak SMA. Setelah adegan-adegan berburu dan merayu di muka, kita menyaksikan betapa mulusnya kisah asmara ala putih abu-abu, mulai dari pacaran di kelas, jalan selepas pelajaran selesai, hingga memperkenalkan orangtua masing-masing.
Apalagi setelah Milea memutuskan hubungannya dengan Beni, pacarnya di Jakarta, yang diperlihatkan berlaku kasar dan menyebutnya “pelacur”. Selanjutnya Beni dibandingkan dengan Dilan, “panglima perang geng motor” yang menurut Milea “bukan anak baik-baik tapi tidak kasar.”
Fakta bahwa akselerasi dari teman ke pacar itu berjalan mulus (khususnya lewat telepon kabel) membuat kepala saya disesaki banyak pertanyaan saat menyaksikan film yang diadaptasi dari novel Dilan karya Pidi Baiq ini. Apakah privasi baru ditemukan akhir-akhir ini saja, di zaman media sosial, tidak di tahun 1990 yang jadi latar waktu Dilan 1990? Apa di tahun 1990 intrusi dari orang asing (seganteng dan semanis apa pun mulutnya) akan dianggap sebagai laku romantis?
Atau mungkin ada jurang pengalaman yang lebar antara saya dan 1990 (tahun ketika saya masih berusia lima tahun). Atau barangkali, memang seperti itulah sikap “romantis” selama ini direpresentasikan dalam fiksi: seorang bad boy nekat mendekati cewek yang notabene adalah anak baru di sekolah. Yang paling penting di sini adalah niat dan nyali; berbalas atau tidak, itu urusan belakangan.
Tidak bisa tidak, saya teringat Posesif, yang rilis hanya dua bulan sebelum Dilan 1990. Dikisahkan dalam Posesif, Yudhis, anak Jakarta yang pindah ke sebuah SMA di Bandung, luar biasa militan mendekati Lala si atlet loncat indah, yang juga belajar di sekolah yang sama. Upaya Yudhis tak bertepuk sebelah tangan. Sang gadis menyambutnya dengan suka cita.
Sampai di tengah, kisah Yudhis-Lala sedemikian natural dan mengalir, sampai akhirnya kita menyaksikan bahwa Yudis adalah pacar psycho: posesif, suka menyiksa pasangan, pendeknya raja tega. Seketika kita memperoleh rasionalisasi mengapa Yudhis sedemikian militan mendekati—dan ingin menguasai—Lala, gadis yang pikirannya masih waras.
Sementara itu, sampai film selesai, Dilan diperlihatkan sebagai cowok sehat lahir-batin. Kalaupun ada rasionalisasi atas tindak-tanduk Dilan, kedudukannya sebagai “panglima geng motor” mungkin jadi jawaban. Cowok ingusan ini juga digambarkan berani melawan guru yang menamparnya, juga menghajar kawannya sendiri yang telah menampar Milea. Dia diperlihatkan begitu berkuasa atas dunia di sekelilingnya. Dan uniknya, Milea hanya punya satu kekhawatiran, yakni jika Dilan terlibat tawuran. Nampaknya di tahun 1990, semua orang adalah psycho.
Lalu faktor apa yang membuat Dilan punya nyali tak wajar? Selain panglima geng motor, jawaban lain yang masuk akal adalah Dilan “anak kolong” atau “anak tentara”—ingat, pada 1990 rezim tentara Suharto belum runtuh, siapa berani lawan Babinsa?
Namun, lagi-lagi tidak ada penjelasan selain klise bad boy: bernyali besar, mudah merayu cewek. Dan barangkali Milea pun cukup percaya diri menyambut Dilan, karena juga punya bekingan bapak serdadu.
Tapi bukankah kita sudah terlanjur akrab dengan narasi semacam itu, setidaknya sejak Ali Topan Anak Jalanan (1977)? Daya magis bad boy dan cewek yang jatuh ke pelukan bad boy tanpa reserve adalah warisan film-film romantis zaman baheula. Namun, ada rasa ganjil ketika narasi macam ini diulang lagi pada 2018 tanpa jarak yang kritis. Seolah Dilan 1990 dibuat dengan setting 1990an untuk penonton di tahun 1990.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani