Menuju konten utama

Posesif: Anatomi Hubungan Beracun dan Kekerasan Domestik

Isu kekerasan dalam hubungan dibungkus dalam kisah pop: cinta remaja.

Posesif: Anatomi Hubungan Beracun dan Kekerasan Domestik
Cuplikan adegan film Posesif yang disutradarai Edwin dan dibintangi Putri Marino dan Adipati Dolken produksi Palari Film. FOTO/Youtube

tirto.id - Ini cerita kasmaran yang sederhana dan kelihatannya biasa-biasa saja.

Adalah Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino), sepasang anak kelas tiga SMA yang bertemu lalu jatuh cinta. Semua manis di awal-awal cerita; jalan-jalan berdua, saling memberi tahu apa yang disuka dan tidak, pesan-pesan singkat yang bikin senyum-senyum sendiri, dan kegiatan stalking foto di Instagram sebelum tidur. Diiringi lagu "Nothing Can Stop Us" karya Dipha Barus, semuanya indah khas cinta remaja: tak ada yang menghalangi mereka. Tapi segmen ini dirangkum sebentar saja.

Lala, yang seorang atlet loncat indah memang punya rutinitas padat. Sepulang sekolah ia harus latihan, tak jarang mesti sampai malam. Yudhis yang adalah pacar pertamanya mulai merasa dinomorduakan. “Gue ini pacar apa sopir lu, La?” kata Yudhis dalam salah satu dialog murkanya.

Cerita pun makin intens. Yudhis menjambak Lala, menampar-nampar pipinya sendiri untuk minta maaf, lalu mencekik kekasihnya itu. Ia minta maaf lagi, sambil mengedor-gedor pintu rumah Lala. Keduanya berubah dari remaja kasmaran jadi pasangan yang terlibat hubungan beracun—toxic relationship.

Lagi-lagi, ini cerita yang sudah kita dengar seribu kali dalam kehidupan nyata: ketika cinta berubah jadi perasaan posesif dan melibatkan kekerasan. Masalahnya, tak banyak pembuat film yang mengangkatnya ke bioskop, apalagi dengan tema paling populer sedunia: cinta remaja.

Baca juga: Gelisah Ketika Berpisah

Lewat Lala, kita dibawa menyelami cara berpikir korban dan pelaku dalam hubungan yang merusak ini. Ketika pertama kali diintimidasi kekasihnya dengan kekerasan fisik, Lala tak tinggal diam. Ia berusaha memutuskan hubungan, dan ‘mengunci pintu’ rumahnya, sebagai simbol batas yang langsung ia bangun untuk Yudhis. Usaha pertama itu tak begitu berhasil karena Yudhis, sebagai pelaku, sadar kesalahannya dan berulang kali minta maaf. Bahkan memukuli pipinya sendiri, sebagai tanda ia mampu menyakiti dirinya lebih dari yang dilakukannya terhadap Lala. Seolah-olah sakit Lala bisa diukur dan dilupakan ketika melihat Yudhis lebih sakit.

Perilaku seperti itu umum dilakukan pelaku kekerasan ketika meminta maaf. Setelah menumpahkan amarah, suara Yudhis biasanya berubah pelan dan bernada membujuk. Hubungan Yudhis-Lala pun kembali seperti sedia kala, hingga akhirnya sifat kambuhan Yudhis muncul lagi: sulit mengatur emosi, cemburuan, tukang atur, dan mengisolasi Lala dari orang lain, termasuk ayah dan teman-teman Lala.

Sifat-sifat itu bukan cuma hadir dalam dialog. Sutradara Edwin menempatkan dialog-dialog itu di mobil Yudhis, tempat di mana sebagian besar perkelahian keduanya terjadi. Ruang privat itu jadi pilihan yang tepat bagi Yudhis menjajah pikiran korban dan menunjukkan kuasanya. Ingat, itu mobil milik pemuda borju Yudhis. Dia yang pegang setir.

Baca juga: Nasib Laki-laki Feminis

Film-film Edwin adalah kritik sosial yang disampaikan dengan cara dingin, berjarak, tanpa belas kasih. Di antaranya adalah diskriminasi pada etnis Tionghoa di Indonesia dan represi militer dalam Babi Buta yang Ingin Terbang (2009), atau kapitalisme dalam Kara, Anak Sebatang Pohon (2005). Dengan Posesif, Edwin ingin menguliti kultur kekerasan dan patriarki.

Sang tokoh pria mewakili pihak yang dominan, sebagai representasi umum pelaku kekerasan seksual yang kebanyakan memang laki-laki. Siapa korbannya? Lala, seorang perempuan yang mayoritasnya merepresentasikan posisi korban utama dari kultur kekerasan yang dikandung patriarki.

infografik film posesif

Beban Lala pun bukan cuma datang dari Yudhis. Sebagai anak perempuan, ia harus berusaha mengimbangi ekspektasi ayahnya (Yayu Unru) untuk berprestasi di olahraga lompat indah, melawan tatapan tajam Ibu Yudhis (Cut Mini), atau bahkan menerima pembenaran kawan-kawannya sendiri atas kelakuan Yudhis dan hubungan yang mereka bangun. Adegan sang ayah duduk di tangga sambil menasihati Lala dan memasang sepatunya, memperkuat statement Edwin tentang beratnya beban yang harus dipikul Lala.

Ketika Yudhis digebuki ibunya sendiri, Lala pun merencanakan pelarian mereka ke Bali, di mana ia “bisa ngajarin anak-anak loncat indah, terus uangnya dipakai buat Yudhis kuliah”. Ia berusaha memahami dari mana kekasaran Yudhis berasal dan memaafkannya.

Ditampilkan karakter ibu yang muncul sebentar tapi langsung main piting-pukul-tendang seolah-olah membuat perilaku Yudhis bisa dimaklumi. Namun justru pada titik ini Posesif mengajak penonton meletakkan kekerasan terhadap perempuan dalam bingkai lebih besar: kultur patriarkis dalam keluarga. Korban patriarki memang bukan hanya perempuan, dalam beberapa hal laki-laki juga termasuk, sebab yang ingin disingkirkan dari budaya itu adalah sifat feminin.

Baca juga: "Saya Mengkritisi Sistem Patriarki yang Semakin Kental"

Sayangnya, mengapa karakter ibu bisa sedemikian kejam justru tak terjelaskan secara tuntas. Kita diajak untuk memahami bahwa Yudhis adalah pelaku sekaligus korban didikan ibunya yang serba keras itu. Namun kekerasan yang dilakukan ibu jadi tidak jelas motifnya dan sosoknya justru jadi villain paling tidak abu-abu di sana. Masa lalu ibu tidak dikembangkan dalam cerita, padahal hal ini penting jika Posesif menempatkan kekerasan sebagai lingkaran setan di mana perempuan jadi korban yang paling banyak.

Namun Edwin juga membuat pernyataan penting di sini: sikap korban yang memilih untuk diam dan memaklumi turut memperpanjang lingkaran setan itu. Kekerasan domestik nyatanya sering menjerat korbannya berulang-ulang. Tak banyak orang yang sadar ketika menjalaninya karena dibalut kata-kata dan sentuhan lembut. Termasuk si tokoh perempuan saat menyanyikan "Dan" dari Sheila on 7 bersama Yudhis dalam mobil, tak peduli sudah babak belur, hingga suatu ketika di ujung subuh, senyum mekar dari bibir Lala. Ia meninggalkan bagian gelap hidupnya menuju pagi yang lebih terang.

Dia tahu siklus itu akhirnya bisa diputus.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf