Menuju konten utama

Gelisah Ketika Berpisah

Kecemasan ini dapat berakar dari pengalaman individu dengan orangtua saat kanak-kanak.

Gelisah Ketika Berpisah
Ilustrasi separation anxiety. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “How do I get through one night without you

If I had to live without you

What kind of life would that be…

…If you ever leave

Baby, you would take away everything good in my life”

Bagi sebagian orang, petikan lirik “How Do I Live” lantunan Trisha Yearwood ini bisa dianggap berlebihan. Pasalnya, dalam lirik tersebut tersirat pesan betapa candunya seseorang pada sang kekasih, sampai-sampai merasa segala kebaikan dalam hidupnya tercerabut. Namun, pemaknaan berbeda dapat dimiliki oleh sebagian lain orang yang memang memiliki masalah psikologis, khususnya terkait dengan relasi-relasi dalam kehidupan mereka.

Sepengalaman orang-orang ini, ditinggal pergi oleh kekasih meski hanya untuk sementara dirasakan sebagai siksaan yang begitu besar. Jangankan saat kekasih sudah tidak di sisinya, saat mereka masih bersama pun, kecemasan yang meluap-luap bisa mereka alami.

“Bagaimana bila dia tidak kembali lagi?”, “Apakah dia benar-benar menyayangi saya?”, “Bagaimana bila hal buruk terjadi saat kami berpisah?” adalah contoh-contoh pikiran mengganggu yang bukan hanya sekali dua kali hinggap di kepala mereka. Padahal, tidak ada alasan khusus atau kejadian sebelumnya yang melandasi kecemasan berlebihan yang mereka alami.

Baca juga: Menerabas Jarak demi Cinta

Jika hal-hal ini terjadi, seseorang mungkin saja mengalami gangguan kecemasan berpisah atau separation anxiety disorder (SAD). Umumnya, gangguan yang masuk dalam DSM-V ini ditemukan pada anak-anak yang memiliki hubungan begitu dekat dengan anggota keluarganya. Maka, saat mereka berada dalam kondisi terpisah dengan ayah-ibu atau saudara-saudaranya, level kecemasan mereka meroket sampai-sampai bisa memicu kesedihan atau kehilangan semangat serta konsentrasi dalam beraktivitas.

Seorang anak dikatakan memiliki SAD apabila ketakutan atau kecemasan yang dirasakannya telah berlangsung lebih dari empat minggu, sementara pada orang dewasa berlangsung setidaknya lebih dari setengah tahun.

Dilansir Scientific American, psikolog sosial dari University of Utah, Lisa Diamond, melihat adanya gejala semacam sakau seperti mudah marah dan gangguan tidur pada sejumlah partisipan yang berpisah dengan pasangannya selama empat sampai tujuh hari. Baik mereka yang menyatakan sangat cemas maupun yang menyatakan sedikit cemas terhadap relasinya juga menunjukkan lonjakan kortisol—hormon stres—serta ketidaknyamanan pada fisik mereka.

Terkait gejala fisik pada penderita SAD, sakit kepala dan mual adalah hal-hal yang kerap terjadi berulang kali ketika mereka berpisah dari yang tersayang. Sementara gejala psikis yang mungkin terjadi ialah mimpi buruk tentang ditinggal pasangan, ketakutan akan kehilangan pasangan atau sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, kekhawatiran akan ada petaka menimpa diri sendiri saat pasangan pergi, atau keengganan untuk tidur sendirian. Mereka juga bisa mengalami serangan panik saat kecemasan berpisah ini kambuh.

SAD tidak datang secara tiba-tiba dalam fase hidup seseorang. Para peneliti meyakini bahwa relasi yang dimilikinya dengan orangtua semasa kanak-kanak berpengaruh terhadap relasi yang dimilikinya dengan pasangan, termasuk soal kecemasan berpisah ini.

“Kita berpikir bahwa relasi anak-orangtua dan relasi pasangan orang dewasa adalah dua hal yang berbeda. Namun, sebenarnya keduanya mengerucut pada fungsi yang sama: menciptakan dorongan psikologi untuk berada dekat dengan orang lain, untuk memedulikan mereka, dan menolak untuk berpisah dengan mereka,” jabar Diamond.

Cara seseorang menghadapi kecemasan saat berpisah dengan orang terdekat sangat bergantung pada sistem keterikatan dalam dirinya. Ada tiga jenis sistem keterikatan menurut Hal Shorey, pakar psikologi dari Institute for Graduate Clinical Psychology, Widener University: secure, anxious, dan avoidant.

Orang-orang dengan sistem keterikatan secure cenderung nyaman dengan keintiman dan tidak begitu mengkhawatirkan hubungannya dengan pasangan. Umumnya, mereka dibesarkan dalam kondisi keluarga yang hangat dan penuh kepedulian.

Lain cerita dengan orang-orang yang memiliki sistem keterikatan anxious dan avoidant. Orang-orang dengan sistem keterikatan anxious akan terus mencemaskan apakah pasangannya benar-benar menyayanginya. Ini bisa disebabkan oleh pola asuh orangtua yang tidak begitu memperhatikan mereka.

Sementara itu, orang-orang dengan sistem keterikatan avoidant biasanya cenderung menghindari keintiman karena mereka awalnya dibesarkan oleh orangtua yang tidak menoleransi kebergantungan atau perasaan tidak aman. Dari kacamata orang-orang ini, hubungan intim akan menumbuhkembangkan sifat bergantung sehingga alih-alih membiarkan orang lain masuk dalam kehidupannya dan menjadi kian dekat, mereka malah mengeblok diri untuk mencegah kerentanan mereka terkuak.

Bukan hanya saat ditinggal pasangan saja rasa cemas berlebihan terjadi. Rosita Alvarez, seniman dari Texas, merasakan hal serupa saat anak-anaknya berada jauh darinya. Kecemasan Alvarez mendorongnya untuk mengontak anak-anak secara intens.

“Saya ingin mendengar suara mereka selama mungkin, kalau-kalau mereka meninggal sewaktu-waktu,” ucapnya kepada The Wall Street Journal. Pagi, siang, dan malam, ia terus berada di dekat ponselnya, dan saat ponsel Alvarez berdering, ia kerap membayangkan sesuatu yang buruk. “Saya takut bila anak saya terpisah secara fisik, dia juga akan terpisah secara emosional dengan saya."

Kecemasan Alvarez ini dipupuk sejak ia kecil, ketika ia harus berulang kali pindah rumah mengikuti tempat tugas orangtuanya. Ia mencoba menjaga hubungan dengan teman-teman sekolahnya lewat surat-menyurat di setiap kota yang pernah ia tinggali, tetapi tidak selalu ia mendapat balasan.

Beranjak dewasa, ia harus berpisah dengan sang suami yang meninggal karena serangan jantung setelah sepuluh tahun menikah. Kepahitan-kepahitan inilah yang akhirnya membentuk cara dia berkomunikasi dengan anak-anaknya, yang bagi sebagian orang bisa dianggap overprotektif atau obsesif.

Sebagaimana kecemasan orangtua ke anaknya seperti dialami Alvarez, orang-orang dengan SAD atau tipe anxious akan mengerahkan segala daya upaya untuk mempertahankan relasinya. Periset dari Haverford College, Pennsylvania, menemukan bahwa individu-individu yang sangat cemas ketika berada jauh dari pasangan bekerja lebih keras untuk menghindari perilaku yang potensial merusak hubungan seperti berselingkuh. Orang-orang dengan SAD juga berpotensi mengalami kecemburuan berlebihan lantaran kerap berfantasi pasangannya tidak akan kembali kepadanya.

Baca juga

Infografik Jangan tinggalkan aku

Menjadi seseorang dengan SAD atau memiliki pasangan yang demikian bukanlah kendala sepele dalam sebuah hubungan. Besar peluang pasangan individu dengan SAD menjadi turut tertekan saat menghadapi kecemasannya. Alhasil, hubungan-hubungan yang dijalani dari waktu ke waktu pun sulit dipertahankan. Meski demikian, tak mustahil bagi mereka mewujudkan hubungan yang langgeng.

Yang pertama dapat dilakukan oleh si penderita SAD adalah menyadari dirinya memiliki gangguan psikis tersebut, kemudian tidak menyerah dengan kondisi yang dialaminya. Di sisi lain, pasangan atau orang-orang yang terlibat dengan penderita SAD, dapat menjadi support system yang baik dan memetakan hal-hal apa saja yang sering memicu kecemasan si penderita. Dari situ, solusi-solusi untuk mengurangi kecemasan dapat dibicarakan bersama.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani