tirto.id - Relasi romantis mustahil terhindari dari gejolak perselisihan dan pertengkaran.
Meski pemicu perselisihan beragam, hampir selalu akarnya beririsan dengan perbedaan dalam pendapat, pengalaman, selera, kepribadian, atau problem lain yang lebih besar.
Menariknya, di balik rasa tidak nyaman dan tidak mengenakkan yang ditimbulkan, konflik dalam hubungan sebenarnya tidak selalu merupakan hal yang buruk.
Apabila dikelola dengan baik, konflik dalam hubungan berpotensi memberikan kesempatan bagi pasangan untuk menemukan solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Selain itu, melansir situs Very Well Mind, pertengkaran bisa jadi sebuah tanda kepedulian yang dapat menentukan apakah pasangan masih ingin menjalin hubungan jangka panjang atau tidak.
Mengapa begitu?
Ketika pasangan berpartisipasi secara aktif untuk menyelesaikan perselisihan, akan timbul perasaan nyaman seiring konflik dapat ditangani dengan dewasa.
Termasuk juga ketika kamu melontarkan keluhan atau meluapkan kemarahan pada pasangan. Momen tersebut dapat menawarkan kesempatan untuk klarifikasi sehingga memungkinkan kalian mempelajari hal-hal baru tentang satu sama lain.
Nah, pada akhirnya, proses itu semua dapat membantu pasangan untuk tumbuh dan semakin mempererat hubungan dalam jangka panjang ke depan.
Mempertimbangkan sisi positif tersebut, menjadi masuk akal apabila pasangan perlu melakukan rekonsiliasi alias memperbaiki hubungan usai berkonflik.
Penjelasan terkait rekonsiliasi ini salah satunya dijabarkan oleh psikolog Mark Travers, PhD dalam artikelnya di Forbes.
Travers, merangkum temuan studi dari Journal of Family Psychology, menuturkan bahwa pasangan yang fokus pada perbaikan hubungan secara aktif dan memperoleh perspektif baru cenderung lebih mudah mendapatkan kembali keintiman mereka daripada pasangan yang menghindari pembicaraan tentang pertengkaran tersebut atau membiarkannya begitu saja.
Selain itu, momen rekonsiliasi menjadi penting karena pasangan dapat menyepakati apa yang menjadi hambatan komunikasi selama ini.
Senada, psikolog senior Denrich Suryadi di Morphosa, Jakarta Barat, menyampaikan bahwa rekonsiliasi dapat membantu pasangan untuk mengetahui persepsi apa yang tercipta satu sama lain pascakonflik sehingga mereka dapat mengetahui konflik masing-masing pribadi serta dampaknya terhadap relasi.
"Pasangan juga dapat memutuskan solusi seperti apa untuk mencegah konflik yang sama di kemudian hari," kata Denrich.
Meski begitu, pada kenyataannya proses memperbaiki hubungan dengan pasangan tak selamanya berjalan mulus.
Tentu terdapat sederet hambatan yang dapat dialami pasangan dalam proses rekonsiliasi.
Sebut salah satunya adalah emosi-emosi negatif seperti amarah, kekecewaan atau sakit hati yang muncul selama proses tersebut.
Menurut pandangan Denrich, emosi negatif tersebut idealnya diselesaikan terlebih dahulu melalui proses konseling atau psikoterapi.
Tujuan konseling tak lain untuk membuat emosi menjadi lebih netral dan membantu pasangan agar berpikir secara jernih sebelum meninjau ulang konflik dan mencari solusi untuk menghadapinya.
Selanjutnya, pasangan baru dapat beralih ke upaya mencari solusi yang tepat.
Perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan karakter, pendekatan, nilai, atau pendapat, menurut Denrich, dapat diusahakan dengan rekonsiliasi yang lebih ringan.
Rekonsiliasi lebih ringan ini biasanya mencakup diskusi-diskusi kecil, mencari jalan tengah, membuka pikiran, dan mengeksplorasi kemungkinan pilihan pasangan untuk saling kompromi dan bertoleransi.
Bagaimana dengan konflik yang lebih serius? Konflik terkait pengkhianatan, misalnya, memerlukan kerja dan usaha lebih keras.
"Pihak yang tersakiti butuh waktu lebih lama untuk memulihkan luka dan kepercayaan, sementara pasangan yang melakukan pengkhianatan perlu komitmen yang jelas dalam relasi ini," papar Denrich.
Kendati demikian, psikolog yang mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini mengingatkan, tidak semua pasangan pada akhirnya mampu memperbaiki hubungannya.
Denrich menyebutkan, apabila masing-masing individu mau bekerja sama dan bekerja keras untuk relasi tersebut, maka rekonsiliasi dapat berjalan dengan efektif.
Nah, apabila hanya salah satu pihak yang berkenan mengusahakan relasi dan pasangannya menolak untuk ikut berusaha, pilihan berat yang mungkin dipertimbangkan adalah mengakhiri hubungan tersebut.
Tentu bukan hal yang mudah untuk mengakhiri sebuah hubungan. Tak jarang beberapa orang mulai memikirkan untuk kembali pada mantan pasangan mereka.
Sebelum memutuskan kembali ke mantan pasangan, melansir penjelasan dari psikolog Travers di Forbes, sebaiknya coba tanyakan pada diri sendiri alasan-alasan apa saja yang membuatmu ingin kembali pada mantan.
Apakah keinginan untuk berdamai ini berasal dari emosi yang tulus terhadap mantan pasangan, ataukah sekadar kerinduan sesaat akan hubungan emosional? Bisa jadi, yang kamu rasakan sekadar kerinduan akan stabilitas, kenyamanan, atau keakraban.
Kemudian, luangkan waktu untuk merenungkan lagi, apakah perselisihan dengan mantan pasangan disebabkan oleh hal yang tidak dapat dinegosiasikan?
Jika demikian kenyataannya, apakah masalah tersebut benar-benar dapat ditangani dan diselesaikan?
Sebab, memperbaiki hubungan tanpa mengatasi masalah yang mendasarinya justru dapat menjebak kita dalam siklus kekecewaan yang berulang.
Terlebih dari itu semua, yang perlu digarisbawahi adalah ketika hubunganmu sudah mengarah tidak sehat, jangan ragu untuk tegas menyudahinya.
Masih dikutip dari Very Well Mind, tanda-tanda hubungan yang tidak sehat ini bisa ditunjukkan ketika pasangan melakukan gaslighting, menguntit, menindas, tidak menghormati ruang pribadi, bahkan membicarakan hubungan mereka sebelumnya dengan cara yang merendahkan.
Nah, setelah perpisahan terjadi, penting untuk beralih fokus pada upaya menyembuhkan hati dan pikiran.
Sharon Martin, DSW, LCSW, psikoterapis berlisensi yang berpraktik di San Jose, California dalam tulisannya di Psychology Today menyarankan bagi yang baru saja berpisah untuk memberikan waktu untuk diri sendiri dan memprioritaskan diri sendiri sebagai bagian dari pemulihan luka.
Langkah selanjutnya, agar tidak terjerumus ke jurang situasi relasi toxic yang sama, Martin menganjurkan agar kita mempelajari kembali keterampilan hubungan, termasuk memperbaiki perilaku.
"Ini termasuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi, mengatur emosi, menetapkan batasan, dan sebagainya," terang Martin.
Konflik atau perdebatan memang tidak dapat terhindarkan saat kita menjalin sebuah hubungan romantis. Gejolak-gejolak itu bukanlah masalah sepanjang kita mampu mengelolanya dengan baik.
Namun lain ceritanya ketika relasi sudah mengarah pada hubungan yang tidak sehat.
Kamu berhak menjalani relasi yang di dalamnya berisi rasa saling percaya dengan kekasih, curahan kasih dan keintiman terhadap satu sama lain, dan komunikasi yang baik. Setuju?
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih