Menuju konten utama
Manajemen Konflik Pasangan

Tak Perlu Gengsi: Pentingnya Rekonsiliasi dengan Kekasih

Berselisih dengan pasangan adalah dinamika asmara yang lumrah. Sayangnya, tak semua orang mengerti cara memperbaiki situasi setelah itu.

Tak Perlu Gengsi: Pentingnya Rekonsiliasi dengan Kekasih
Header Diajeng Rekonsiliasi Pasangan. foto/istokcphoto

tirto.id - Adakah sikap dari pasangan atau kekasihmu yang, meskipun terkesan sepele, lama-lama bikin kamu jadi kepikiran dan merasa sebal?

Misalnya, dia lupa mengucapkan selamat ulang tahun, sering memotong pembicaraan, tidak membereskan dapur, atau tidak mengirim pesan untuk menanyakan kabarmu setelah seharian beraktivitas.

Bagi beberapa orang, kebiasaan dari pasangan seperti di atas bisa jadi pemicu perselisihan atau pertengkaran.

Memang betul, konflik dan perdebatan tidak dapat terhindarkan dalam sebuah relasi romantis. Bahkan ada ungkapan bahwa sebuah hubungan tidak akan lengkap tanpa perselisihan atau pertengkaran—ibarat bumbu dalam masakan.

Meski begitu, sepanjang dikelola dengan baik, gesekan dalam relasi ini berpotensi mendatangkan manfaat bagi pasangan.

Pertengkaran, melansir situs Very Well Mind, merupakan sebuah tanda kepedulian yang dapat menentukan apakah pasangan masih ingin menjalin hubungan jangka panjang atau tidak.

Bruce Y. Lee, M.D., M.B.A dari City University of New York (CUNY) menulis di Psychology Today bahwa berargumentasi adalah cara penting untuk berkomunikasi karena dapat membantu pasangan untuk memahami satu sama lain dan isu yang tengah dihadapi bersama.

Melalui adu argumentasi, pasangan dapat mengemukakan kekecewaan dan ketidakbahagiaan yang pada akhirnya dapat membantu memperkuat ikatan pasangan dan meningkatkan peluang hubungan untuk bertahan lama.

Sayangnya, usai mengalami perselisihan, tidak semua orang mampu untuk memperbaiki situasi atau berekonsiliasi.

Padahal, rekonsiliasi dalam hubungan, menurut psikolog senior Denrich Suryadi, penting dilakukan setelah berkonflik dengan pasangan. Mengapa begitu?

“Pasangan perlu menyepakati apa yang menjadi hambatan komunikasi, persepsi apa yang tercipta untuk satu sama lain seusai konflik sehingga pasangan dapat mengetahui apa konflik pribadi masing-masing dan dampaknya terhadap relasi.”

"Pasangan juga dapat memutuskan solusi seperti apa untuk mencegah konflik yang sama di kemudian hari," imbuh Denrich yang praktik di Morphosa, Jakarta Barat sekaligus mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini.

Faktor-faktor yang menghalangi upaya pasangan berekonsiliasi biasanya meliputi emosi-emosi negatif yang masih tersimpan usai konflik, seperti perasaan sedih atau kesal.

Perasaan-perasaan demikian, seperti disampaikan terapis hubungan Rachael Jones, LMFT, PMH-C di situs Self, merupakan hal yang sangat wajar. Bertengkar dengan orang yang kita sayangi tentu terasa sangat emosional dan melelahkan. Proses itu lebih lanjut dijelaskan oleh psikiater Warren Ng, MD dari Columbia University Irving Medical Center.Saat kita merasa tegang, otak beralih ke mode melawan atau berlari, yang merupakan respons fisiologis tubuh terhadap stres.

Seiring itu, adrenalin dan kortisol mengalir melalui aliran darah. Kedua hormon tersebut meningkatkan detak jantung, mempercepat pernapasan, dan membuat kita gugup.

Nah, ketika pertengkaran berakhir, tingkat adrenalin dan kortisol akan menurun, sehingga diri kita merasa terkuras dan lelah.

Pada saat yang sama, Jones menuturkan, perselisihan dengan pasangan dapat menimbulkan emosi-emosi lain yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan, dan harga diri.

Itulah yang kemudian dapat memicu rasa takut tentang seberapa stabil ikatan relasi dengan pasangan, termasuk ketidakpastian tentang masa depan hubungan juga perasaan putus asa dan tak berdaya.

Emosi-emosi negatif itu pada akhirnya dapat menyebabkan fondasi kepercayaan menjadi luntur usai berkonflik dengan pasangan.

Jika kepercayaan antarpasangan sudah terkikis, apa yang dapat dilakukan?

Menurut Denrich, diperlukan waktu untuk memulihkan dan membangun kepercayaan kembali dengan pasangan. Waktu yang diperlukan oleh masing-masing pasangan pun relatif alias tidak sama.

Namun, ia menggarisbawahi agar kepercayaan itu terbangun, pasangan membutuhkan banyak waktu berkualitas bersama, membangun kelekatan kembali, memahami pasangan dengan lebih baik, dan memaafkan pasangan.

Denrich membagikan beberapa tip untuk membangun kepercayaan lagi dengan pasangan.

“Pertama, pahami bahwa masalah yang timbul bisa pula dipicu oleh problem secara pribadi, sehingga memperbaiki diri juga menjadi agenda penting agar tidak memengaruhi pasangan dalam masa memperbaiki kepercayaan.”

Kedua, Denrich menekankan, masing-masing pihak perlu memiliki kesungguhan dan ketulusan berdasarkan komitmen untuk memperbaiki hubungan.

“Selanjutnya, diperlukan kesabaran ketika menghadapi pasangan yang membutuhkan validasi dan konfirmasi sepanjang masa perbaikan ini. Jawablah pertanyaan dari pasangan dengan jujur dan bersikaplah konsisten jika ingin dipercaya lagi.”

Selain itu, Denrich mengingatkan pasangan untuk mengusahakan agar tidak banyak membahas masalah di masa lalu, “Fokuslah lebih banyak pada relasi di masa kini yang membutuhkan kerja keras untuk dibangun kembali bersama.”

“Perbaiki diri dan belajar bahwa relasi ini dibangun berdasarkan apa dan akan berdampak baik terhadap aspek kehidupan yang lebih luas—bagi anak, keluarga besar, pekerjaan, komunitas, dan lain sebagainya,” lanjut Denrich.

Meskipun proses berbaikan dengan pasangan menjadi tantangan tersendiri, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulainya.

Cheryl Fraser, Ph.D. dalam artikelnya di Psychology Today menyarankan beberapa metode untuk pasangan yang ingin berbaikan kembali.

Cara pertama disebut dengan teknik mengulang kembali. Saat kita melakukan kesalahan pada pasangan, coba ulangi lagi dengan aksi atau tindakan yang lebih baik.

Contohnya seperti berikut. Saat kita merasa tidak sabar, atau mendapati hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi, kita cenderung berbicara dengan nada yang tidak menyenangkan.

Nah, pada kesempatan lain, coba lagi untuk berbicara dengan nada yang tenang dan baik dengan pasangan. Di situlah, kesalahan sebelumnya terhapus dan pasangan mendapatkan kesempatan untuk mencoba lagi.

Apabila kita merasa belum mampu untuk mengungkapkan kalimat yang tepat pada pasangan, Fraser menyarankan untuk mengaplikasikan cara kedua: sedikit kata, lebih banyak sentuhan.

"Ketika kita kesulitan menemukan kata-kata yang pas, ingatlah bahwa kata-kata bukanlah segalanya. Keheningan dan sentuhan penuh kasih dapat berbicara banyak," kata Fraser.

Misalnya, berpegangan tangan dan menatap mata sama lain. Langkah ini dapat mengaktifkan sistem saraf parasimpatik dan membantu kita untuk merasa tenang, aman, dan dekat.

Ada satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dalam upaya berdamai dengan pasangan.

Peneliti Siri Wilder dari University of Texas pernah mempelajari 217 pasangan heteroseksual yang tinggal bersama.

Dari observasinya, Wilder menemukan bahwa perilaku konflik positif sehari-hari, seperti mendengarkan dengan penuh perhatian, dapat meningkatkan upaya rekonsiliasi dan mendukung pasangan untuk berdamai dan berhubungan kembali.

Wilder menyimpulkan bahwa komponen dalam membangun hubungan kembali juga memerlukan peran mendengarkan dari pasangan, alih-alih sebatas percakapan atau pembicaraan yang produktif.

Pada akhirnya, di balik segala ketegangan yang muncul dari setiap perselisihan dengan pasangan, ingatlah bahwa kita semua memiliki kendali diri untuk belajar dari situ dan berstrategi agar kejadiannya tidak terulang lagi.

Seperti disampaikan oleh Denrich, “Jaga komitmen, terapkan solusi tepat. Pasangan perlu duduk berdua membahas apa kebutuhan masing-masing dan yang diperlukan untuk membuat hubungan ini berfungsi dengan baik.”

“Diperlukan respek dan keterbukaan untuk berdiskusi dengan pasangan tentang tujuan dan kebahagiaan bersama. Batasan yang sehat juga diperlukan agar masing-masing pasangan merasa punya ruang untuk berbicara dan tidak merasa takut untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan,” pungkas Denrich.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih