tirto.id - Saya tak pernah percaya bahwa membaca resensi sebelum menonton akan mengurangi kenikmatan mengalami sebuah film. Pertama, karena membaca dan menonton punya medium yang beda; otomatis menyajikan pengalaman yang juga berbeda. Kedua, tak mungkin sebuah resensi benar-benar memanjakan kita sebagaimana sebuah film bekerja—800 sampai 1.500 kata dalam sebuah resensi tak akan cukup menjelaskan satu film utuh sepanjang 90 sampai 120an menit.
Lagi pula, film adalah satu dari sedikit sekali hal yang kita beli lebih dulu tanpa tahu isi hingga kualitasnya. Membaca resensi sebelum menonton malah menyelamatkan kita dari praktik beli “kucing dalam karung”.
Namun, tidak untuk film ini. Ada baiknya, Anda menyambung baca artikel ini setelah pergi ke bioskop. Sebab, John Krasinski, sang sutradara sekaligus aktor utama, sangat mengandalkan ketidaktahuan Anda saat menonton. Untuk bisa bikin film horor sebagus ini, dia memang cuma perlu bermain-main dengan rasa penasaran penonton.
Kutipan “Manusia hanya takut pada hal yang tak dipahaminya” sudah sering diulang-ulang media dan para tokoh. Psikologi pop itu tak mengada-ada. Ia adalah alasan mengapa mayoritas manusia takut mati, sebab belum pernah ada yang kembali dan menceritakan rasanya.
Premis itu pula yang jadi batang utama film horor pertama Krasinski ini. Tak ada zombie yang bangkit dari kematian. Hanya saja, kita memang tak tahu banyak tentang apa yang akan disuguhkan Krasinski dalam A Quiet Place. Dan ia akan mempermainkan ketidaktahuan itu untuk menakut-nakuti penonton.
Kita akan disuruh duduk tenang melihat sebuah dunia yang senyap. Nyaris tanpa informasi apa-apa. Dari trailer film, kita cuma diberitahu bahwa A Quiet Place adalah tempat ketika bersuara bisa membuat seseorang mati. Oleh siapa? Karena apa? Dan Bagaimana?
Tak ada petunjuk jelas—kecuali para aktor yang sama sekali tak bersuara apa lagi berdialog. Genrenya memang horor, tapi kita tak tahu dari siapa teror ini akan datang: hantu yang gentayangan, pembunuh berdarah dingin, atau monster dari bawah laut?
Film dibuka dengan adegan sebuah keluarga—beranggotakan lima orang—yang sedang menjarah toko kelontong. Toko itu sudah ditinggalkan pemiliknya, berikut seisi kota.
Tak ada penerangan, dan auranya angker. Mereka sekeluarga juga bicara dalam bahasa isyarat—tingkahnya kentara sekali menghindari bunyi—sesuatu yang langsung membangun suasana mencekam. Sesuai judulnya, mereka tinggal di dunia yang senyap.
Tak cuma hening tanpa percakapan, semesta A Quiet Place juga porak-poranda. Toko kelontong dan ruko-ruko di sebelahnya sepi belaka. Lampu lalu lintas roboh. Mobil-mobil terparkir sembarangan, berdebu, dengan kaca yang pecah. Jalanan kotor tertutupi daun-daun kering yang tak pernah disapu. Seolah-olah latar itu belum cukup aneh, keluarga Abbott—nama ini baru akan kita ketahui setelah kredit penutup diputar—juga berjalan di garis putih, yang ternyata adalah pasir. Bahkan tanpa alas kaki, mereka berjalan menuju hutan.
Di sana, kejutan pertama ternyata sedang dipersiapkan.
Di atas garis pasir yang berupa jalanan setapak, mereka jalan berbaris. Garis itu tak muat untuk dilalui dua orang. Kebetulan, sang bungsu Beau (Cade Woodward) yang berusia 4 tahun, jalan paling bontot. Soalnya, ia menyempatkan diri menyelundupkan mainan roket-roketan dan sepasang baterai, yang lalu dinyalakannya saat berjalan dalam hutan.
Saat mainan itu dinyalakan Beau, Krasinski yang memerankan karakter sang Ayah berlari berusaha menangkapnya. Tapi, di saat yang sama dari sudut hutan, sesuatu bergerak sangat, amat, cepat. Ia merespon suara roket-roketan Beau, dan…
slaassh…
Bocah itu terbelah-belah. Tewas.
Tak ada yang lebih horor daripada melihat anak kecil dicincang makhluk misterius. Dan sialnya, adegan ini baru pembuka film, sebab kematian Beau langsung diikuti judul pembuka.
Bayangkan horor apa yang hadir pada adegan selanjutnya?
Bermain-main dengan Ketidaktahuan Penonton
A Quiet Place adalah film horor yang cerdas. Generasi ini—yang menyebut dirinya Milenial dan Generasi Z—bukan tipikal penonton yang mudah ditakut-takuti. Kalau tak punya konsep di luar kotak, dan naskah yang dirakit teliti, risiko tak lakunya besar. Ya, kalaupun laku, mungkin dikritisi tajam sampai ke tulang-tulang.
Nama James Wan, sutradara Hollywood kelahiran Malaysia, naik daun satu dekade belakangan karena film-film horornya yang khas. Setan-setan milik Wan seramnya berkali-lipat dari setan Hollywood pada umumnya. Mulai dari dandanan, cara muncul, dan motifnya bergentayangan. Kurang lebih seperti hantu-hantu khas Asia Tenggara. Diramu jumpscare—yang juga jadi ciri khasnya—film-film macam The Conjuring, Annabelle, dan Insidious jadi tren. Disusul film-film serupa yang juga disentuh Wan, misalnya Lights Out.
Rupanya, horor ala Wan adalah hawa segar bagi penontonnya.
Meski baru pertama kali membuat film horor, John Krasinski—yang sebenarnya lebih kita kenal sebagai aktor drama dan komedian—sama sekali tak ikut-ikutan tren. Ia justru meneliti Get Out (2016) dan Don’t Breath (2015), dua thriller yang tak habis-habis dibahas sampai sekarang, sebagai referensi A Quiet Place. Dan akhirnya menetaskan horor dengan gayanya sendiri.
Jika ditarik benang merah, ketiga film ini memang sama-sama punya premis tak biasa. Alurnya juga dibangun untuk memberi efek kejut di ujung film dengan ranjau-ranjau putaran plot yang jitu.
Tapi, kehebatan Krasinski yang paling menonjol adalah ketelitian dan kerapiannya membangun cerita. Semua elemen yang hadir penting, dan detail diselipkan. Misalnya, karakter Beau yang cuma tampil tak sampai sepuluh menit, tapi mampu bikin penonton bersimpati.
Dari waktu singkat itu, kita tahu bahwa bocah itu pintar, aktif, dan berimajinasi tinggi. Ia lari ke sana-kemari, menggambar roket, fasih berbahasa isyarat. Kematiannya tak akan jadi horor yang jitu, jika Krasinski tak detail membangun karakter satu ini.
Krasinski beserta para penulis naskah: Scott Beck dan Bryan Woods, sengaja menyebar informasi dalam film ini dalam bentuk ceceran. Semua datang tepat waktu, dan tidak berlebihan. Dengan cara itu, mereka mengontrol rasa ketakutan penonton.
Sampai kematian Beau saja, kita masih tak tahu banyak. Makhluk buas yang mereka hindari juga cuma tampak sekelabat, menyisakan rasa penasaran (tentang bentuk monster ini) yang disimpan sampai ujung film. Dalam menit-menit singkat itu, mereka justru membangun fondasi yang sangat kuat bagi A Quiet Place.
Tanpa dialog—hanya properti yang disebar dalam latar—kita tahu bahwa Bumi diinvasi alien yang sensitif pada suara. Umur Beau juga memberitahu penonton bahwa invasi itu belum lama terjadi. Bayi yang lebih kecil dari Beau, tak mungkin bertahan dari telinga sensitif monster itu.
Alhasil, ketiadaan dialog justru dijadikan kekuatan. Khususnya untuk menghadirkan ranjau-ranjau jumpscare yang meski kadang tertebak kapan hadirnya, tapi nyaris selalu tepat waktu dan tetap jitu.
Plot selanjutnya bahkan nyaris tak tertebak.
Evelyn (Emily Blunt) hamil, tapi tak satu pun anggota keluarganya sudah ikhlas dengan kepergian Beau. Regan (Millie Simmond), sulung keluarga Abbott, rupanya punya daddy issue yang cuma disadari Marcus (Noah Jupe), adiknya. Sedangkan sang Ayah ternyata tokoh patriarki yang bias gender dalam pembagian tugas keluarga.
Namun, semua itu hadir bukan tanpa alasan. Nyaris nihil adegan tak penting yang kadang cuma hadir untuk memanjang-manjangkan durasi film. A Quiet Place juga tak membiarkan karakter-karakter di dalamnya memilih hal-hal konyol yang cuma bikin sebal penonton semata.
Kalaupun ada yang sebal dengan adegan Regan yang kabur dari rumah, coba bayangkan darimana kita tahu bahwa kuburan Beau tak jauh dari rumah mereka. Tanpa tulisan 2016-2020 di nisan Beau, kita juga tak akan paham di masa mana semesta A Quiet Place terjadi.
Bisa dibilang, semua yang dilakukan keluarga Abbott dan keputusan-keputusan mereka masuk akal untuk Bumi tahun 2021 yang diinvasi monster mirip alien dari Stranger Things. Satu-satunya plot yang mengganjal logika, cuma kehadiran listrik—yang butuh generator bising untuk dialirkan.
Ada lebih banyak detail lain yang diselipkan Krasinski dengan cerdik di tiap adegan, tapi seperti yang saya bilang di awal, resensi 800 sampai 1.500 kata tak akan cukup menjelaskan satu utuh film panjang berdurasi 95 menit ini. Mungkin kredit tambahan yang perlu disebut adalah kualitas lakon para aktor.
Sebagai aktor yang memang tuli di dunia nyata, tak akan ada yang bisa memerankan Regan sedahsyat Millie Simmond. Noah Jupe is dope! Krasinski sendiri berhasil tampil serius sekali, jauh dari karakter aslinya yang kocak. Sementara Emily Blunt yang sering wara-wiri di layar lebar berhasil memberi kesan lain dengan perannya sebagai Evelyn—si-ibu-bunting-yang-dikejar-kejar-monster. Di beberapa menit ujung film, karakternya berubah tampil badass.
Sebelum Avengers: Infinity War menyerbu bioskop, tak ada salahnya larut dalam horor keluarga Abbott.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nuran Wibisono