tirto.id - Melalui akun Twitter pribadinya, sutradara dan aktor film Joko Anwar, menyebut bahwa ia terpilih menjadi sutradara film horor klasik “Pengabdi Setan” yang pernah ditayangkan pada 1980. Sebelumnya, "Pengabdi Setan" disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra.
Film horor ini sempat terkenal hingga ke taraf internasional pada zamannya. Salah satu elemen penting yang membuat film ini menjadi berbeda dengan film-film horor saat itu adalah mengubah tema horor yang pada mulanya diwarnai kepercayaan Kristen atau Buddha dengan kepercayaan Islam.
Meski memiliki kemiripan dengan film Amerika berjudul Phantasm yang dibuat pada 1979, tapi film ini telah memiliki penggemar fanatiknya sendiri. Mengapa film horor di Indonesia menjadi demikian penting dan memiliki pengaruh sebagai film cult di negara-negara lain? Salah satu penyebabnya adalah cerita-cerita hantu lokal yang memiliki khazanah lebih kaya dan beragam daripada hantu-hantu luar. Ini mungkin alasan yang konyol, tapi jika melihat film-film horor klasik yang ada di Indonesia Anda bisa melihat buktinya.
Jika dalam “Pengabdi Setan” hantu utama yang menakut-nakuti penonton adalah Kuntilanak dan Zombie, maka berbeda “Malam Satu Suro” yang menghadirkan arwah perempuan gentayangan berwujud Sundel Bolong. Dalam mitos Nusantara, hantu Sundel Bolong adalah arwah penasaran dari wanita yang mati karena diperkosa dan kemudian melahirkan anaknya di dalam kubur. Mereka melahirkan dengan luka besar di punggung. Lubang inilah yang menjadi sumber penamaan “bolong” dalam penokohan hantu Sundel Bolong.
Baik Sundel Bolong maupun Kuntilanak merupakan representasi dari hantu-hantu perempuan di nusantara. Beberapa peneliti menilai bahwa mitos hantu perempuan yang muncul di tengah malam ini adalah upaya mendiskreditkan dan mendomestikkan perempuan. Laki-laki boleh keluar hingga tengah malam tanpa takut disebut setan, sementara perempuan menjadi pihak yang dianggap hantu, atau perempuan nakal, mitos ini banyak muncul di daerah pedesaan dan masyarakat yang masih patriarkis.
Stephen Galdwin dalam “Witches, Spells, and Politics: The Horror Films of Indonesia”, menyebut bahwa banyak kontribusi film horor di Indonesia memiliki pengaruh politis, bahwa horor, teror, dan ancaman yang dihadirkan tokoh-tokoh hantu atau dukun perempuan yang ada pada 1970-an merupakan elemen pengendali. Bahwa perempuan yang kuat, berkuasa, dan menakutkan adalah salah, sementara perempuan yang patuh, pendiam, dan penurut merupakan representasi yang benar. Kemunculan hantu perempuan yang kuat dan dominan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan salah.
Selain Kuntilanak dan Sundel Bolong, representasi makhluk mistis perempuan dalam khazanah cerita horor Nusantara juga dikenal Wewe Gombel (Jawa Tengah-Jawa Timur), Si Manis Jembatan Ancol (Jakarta), Nyi Roro Kidul (Jawa Tengah - Jogja), Nyi Blorong (Jawa Tengah – Yogya – Jawa Timur), Leak (Bali), Palasik (Sumatera Barat), hingga Suster Ngesot (Jakarta). Masing-masing hantu perempuan tersebut memiliki kemiripan dan kesamaan dengan beberapa hantu yang muncul di Asia Tenggara.
Nils Bubandt, dalam jurnalnya yang diterbitkan dalam A Journal of Social Anthropology and Comparative Sociology pada 2012, menyebut bahwa narasi hantu diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan. Namun berbeda dengan hantu-hantu barat yang hadir karena pergulatan emosi, hantu-hantu Indonesia menurutnya lahir dari trauma kolektif masyarakat.
Misalnya melihat korban perkosaan yang brutal, muncul legenda Sundel Bolong. Tragedi kematian atau hilangnya anak secara massal, melahirkan mitos Wewe Gombel. Saat terjadi pembantaian 1965, lokasi-lokasi penjagalan dibuat keramat dan menakutkan untuk menghindarkan orang melakukan penyelidikan atau pengungkapan. Di sini alasan ideologis politik menemukan tempatnya.
Sementara itu ada beberapa jenis hantu yang visual dan cerita kemunculannya mirip menandakan relasi antar satu tempat dengan yang lainnya. Leak yang ada di Bali, Palasik di Sumatera Barat, dan Kuyang di Kalimantan merupakan hantu dengan ciri fisik yang sama.
Hantu yang menampilkan organ dalam, seperti usus, paru-paru, jantung, tak memiliki badan fisik, melayang, dan hanya memiliki kepala saja. Hantu ini nyaris memiliki latar belakang yang sama, penganut ilmu hitam yang mati karena terkutuk. Ilmu hitam ini dilekatkan kepada para dukun yang dianggap melenceng dari norma dan agama masyarakat kebanyakan.
Sementara sebagai tokoh protagonis, selalu muncul kyai atau ustad laki-laki yang mengalahkan hantu perempuan ini. Sosok ustad laki-laki ini menjadi simbol keteraturan, biasanya dalam film-film horor Indonesia mereka muncul di bagian akhir sebagai penutup konflik.
Katinka van Heeren, dalam jurnal Inter-Asia Cultural Studies, menyebut bahwa representasi hantu, ketakutan, dan kontrol masyarakat bisa digambarkan dalam film-film horor Indonesia. Hantu-hantu ini merupakan gambaran dari masyarakat pemberontak yang menolak ditertibkan. Setiap hantu tadi menjadi simbol perlawanan dari masyarakat terhadap penguasa, representasi seram manusia berbadan isi perut merupakan simbol bahwa pemberontak adalah sosok menjijikkan.
Hantu serupa juga muncul dalam cerita rakyat Malaysia. Hantu kepala terbang dengan tali perut terurai di Kedah disebut sebagai Hantu Penanggalan--di Sabah disebut Balan-balan. Menariknya hantu ini selalu digambarkan sebagai perempuan yang menuntut ilmu hitam. Hantu Penanggalan juga disebut dalam Hikayat Abdullah, yang ditulis pada 1845, yang menarik minat Sir Stamford Raffles untuk memuatkan gambar dan keterangan mengenainya dalam buku catatannya.
Dalam artikel yang ditulis oleh Sophie Siddique, yang dimuat di USC School of Cinematic Arts, menyebutkan bahwa setiap hantu yang ada di Indonesia dan Asia Tenggara memiliki relasi satu sama lain. Kemunculannya dari budaya oral nyaris ada di masing-masing daerah di Semenanjung Melayu. Hantu-hantu Indonesia merupakan respons dan gambaran antropologis di mana hantu itu berada. Setiap hantu memiliki akar dari setiap tempatnya. Mereka biasanya menjaga tempat yang dianggap keramat dan kemunculannya bisa jadi kejam dan baik tergantung intensi dari masing-masing personal yang berinteraksi dengan hantu-hantu tadi.
Pontianak misalnya, memiliki narasi cerita tentang Syarif Abdurrahman Alkadrie yang menyisir Sungai Kapuas untuk mencari lokasi pembangunan istana. Sang Syarif menembakkan meriam untuk mengusir Hantu Kuntilanak yang menjadi penunggu Sungai Kapuas. Cerita tentang Pontianak, atau Kuntilanak ini, menginspirasi hingga ke Singapura. Dalam jurnal berjudul Pontianaks, Ghosts and the Possessed: Female Monstrosity and National Anxiety in Singapore Cinema, menggali metode psikoanalitik tentang perempuan monster yang dikembangkan Barbara Creed (1993), dalam film-film bertema horor di Singapura.
Sosok Kuntilanak/Pontianak yang hadir dalam film Return to Pontianak (2001), The Maid (2005), dan Tiger's Whip (1998) menggambarkan hantu-hantu dengan ciri fisik serupa dengan hantu Indonesia muncul dalam kebudayaan populer masyarakat Singapura.
Kenneth Paul Tan, dari National University of Singapore, menyebut bahwa hantu-hantu perempuan yang muncul dalam film horor tersebut merupakan gambaran bawah sadar masyarakat Singapura yang ingin mengendalikan perempuan dalam disiplin patriarki, hal serupa juga muncul dalam analisis cerita-cerita hantu di Indonesia.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra