Menuju konten utama
12 Juli 1980

Mizuki Shigeru Mencatat Jepang Lewat Perang dan Makhluk Jadi-jadian

Mizuki memulai kariernya sebagai seniman manga dan sejarawan setelah pulang dari medan perang di Papua Nugini.

Mizuki Shigeru Mencatat Jepang Lewat Perang dan Makhluk Jadi-jadian
Header Mozaik Mizuki Shigeru. tirto.id/Tino

tirto.id - “Aku hidup di laut, namaku Amabie. Kalian akan mengalami masa panen berlimpah selama enam tahun. Tetapi pada saat yang sama, wabah akan menyerang. Gambarlah diriku lalu tunjukkan sesegera mungkin kepada orang-orang,” ucapnya sebelum hilang ditelan gelombang. Makhluk itu bertubuh ikan duyung dan tertutup sisik, berparuh burung, serta rambut panjang terurai.

Karakter Amabie pertama kali disebut pada 1846 dalam sebuah cerita di kawaraban, bentuk awal surat kabar di Jepang menggunakan cap kayu yang beredar pada zaman Edo (1615-1867). Kemunculan Amabie merupakan nubuat akan terjadinya masa panen berlimpah, tetapi juga wabah penyakit. Pada abad ke-19, pencegahan penyakit dengan memiliki atau menggambar makhluk supranatural merupakan kepercayaan penting bagi masyarakat Jepang yang memiliki khazanah makhluk supranatural yang sangat kaya.

Dan kepercayaan di zaman Edo itu hidup kembali ketika Covid-19 mewabah di seluruh dunia. Masyarakat Jepang—sebagaimana masyarakat di belahan dunia lainnya—membutuhkan pelipur lara untuk menghadapi masa-masa sulit. Amabie kembali populer dalam berbagai bentuk, dari boneka, botol sake, kaus, hingga kartu. Poster-poster bergambar Amabie bermunculan di berbagai tempat publik dengan pesan-pesan penyemangat dan pengingat supaya orang mematuhi langkah-langkah pencegahan Covid-19. Demikian juga di dunia maya, para seniman dan ilustrator membagikan gambar Amabie mereka yang kemudian tersebar luas di Twitter sejak Maret 2020.

Dalam pameran gambar makhluk jadi-jadian dan monster “Yokai Parade: Supernatural Monsters from Japan” yang digelar oleh The Japan Foundation di Jakarta pada 17-27 Juni lalu, Amabie juga dipamerkan. Amabie muncul baik dalam bentuk boneka kecil yang imut alias kawaii sebagai jimat untuk melindungi diri dari Covid-19 maupun berupa gambar. Terutama yang sangat berharga adalah lukisan gulung (emaki) yang mendokumentasikan para yokai sejak zaman Edo. Dan salah satu gambar Amabie yang terlihat berbeda di pameran itu adalah karya Mizuki Shigeru yang ia buat pada 1984.

Amabie adalah makhluk jadi-jadian favorit Mizuki Shigeru, seorang seniman manga dan sejarawan terkenal Jepang. Karya-karya manga Mizuki yang mendunia serta muncul sebagai film seri dan anime antara lain Kappa no Sanpei, Akuma-kun, dan Gegege no Kitaro. Ketiganya mengisahkan dunia yokai atau makhluk jadi-jadian serta petualangan seru para karakternya.

Kitaro pertama kali muncul pada tahun 1960 dengan judul semula Hakaba Kitaro (Kitaro dari Kuburan). Tetapi manga tersebut kurang laris. Pada 1967, produser televisi mendekati Mizuki dan meyakinkannya untuk mengubah judul Hakaba Kitaro supaya lebih disukai sponsor. Mizuki lalu mengubah judulnya menjadi Gegege no Kitaro—“gegege” adalah onomatope suara terkekeh—yang lantas menandai terjadinya Yokai Boom di zaman Showa tersebut. Masyarakat Jepang segera jatuh cinta pada Kitaro, si bocah bermata satu dari klan Hantu dengan pertualangan-pertualangan serunya, dan wajahnya pun bermunculan di berbagai produk.

Sejak saat itu, dalam rentang 1968 hingga kini, Gegege no Kitaro telah dinikmati para penggemar anime, terutama anime genre yokai, di seluruh dunia. Kitaro diproduksi dalam bentuk serial anime, film, video game, dan live-action. Beberapa judul film Gegege no Kitaro rilis pada 12 Juli, antara lain Gegege no Kitaro: Chisougan rilis pada 12 Juli 1980, Gegege no Kitarou: Saikyou Youkai Gundan! Nippon Jouriku! dirilis pada 12 Juli 1986, dan Gegege no Kitaro: Youkai Tokkyuu! Maboroshi no Kisha rilis pada 12 Juli 1997.

Pertarungan dan pertualangan makhluk-makhluk aneh dalam Gegege no Kitaro kemudian menjelma menjadi inspirasi besar terciptanya berbagai karakter di Pokemon atau Digimon. Pengaruh Mizuki Shigeru dalam budaya pop terlihat di mana-mana, menjadikan alam yokai dengan segala roh, dewa, dan monsters sebagai hiburan yang menyenangkan.

Dari studio Ghibli, anak-anak hingga usia dewasa jatuh cinta pada Totoro di film My Neighbor Totoro atau ikut terbawa pertualangan si kecil Chihiro dalam Spirited Away—Mizuki membuat dunia alam gaib menjadi seru dan menghangatkan hati. Demikian juga ketika anak-anak larut dalam pertarungan para monster raksasa melawan robot-robot raksasa dalam Pacific Rim, Godzilla, dan Neon Genesis Evangelion, ada jejak Kitaro di situ.

Jika merunut jauh, Mizuki sebenarnya melanjutkan kisah pertualangan Kitaro yang dipertunjukkan sejak 1933 lewat kamishibai, sebuah pertunjukan teater keliling menggunakan gambar yang populer di masa Depresi Besar. Ketika kemiskinan melanda seluruh dunia, kamishibai adalah hiburan murah untuk anak-anak Jepang.

Kritik terhadap Perang

Dalam Perang Dunia II, Mizuki Shigeru ditugaskan ke wilayah Rabaul, Papua Nugini. Ia selamat dari serangan tentara Amerika Serikat yang menghabiskan seluruh prajurit di peletonnya. Ketika ia menghadap kembali kepada komandannya, ia dianggap mempermalukan diri sendiri karena tidak ikut mati bersama kawan-kawannya. Reaksi komandannya mengejutkan Mizuki, sekaligus membuatnya muak.

Kritiknya terhadap perang yang dianggap suci oleh Kekaisaran Jepang muncul dalam karya-karya selanjutnya. Sekembalinya dari Rabaul, Mizuki memulai kariernya sebagai seniman manga dan sejarawan yang mencatatkan pengalamannya di medan perang dari sudut pandang seorang prajurit.

Novel grafis berjudul Sōin Gyokusai Seyo! (Derap Langkah Menuju Kematian Mulia Kita) yang terbit pada 1973 merupakan semiautobiografi Mizuki yang mengisahkan pekan-pekan terakhir kekalahan tentara Jepang dalam Perang Dunia II. Tidak seperti memoar seorang prajurit di medan perang yang biasanya heroik, Sōin Gyokusai Seyo! justru kental dengan pesan antiperang.

Infografik Mozaik Mizuki Shigeru

Infografik Mozaik Mizuki Shigeru. tirto.id/Tino

Bukan peperangan yang seringkali mengambil nyawa para prajurit Jepang, tetapi pekerjaan berat dan penyakit ganas di hutanlah pencabut nyawa sesungguhnya. Mizuki sendiri mengalami malaria dan ketika dirawat di rumah sakit darurat milik militer Jepang di Rabaul, tentara Sekutu meluncurkan serangan udara ke rumah sakit tersebut hingga ia harus kehilangan lengan kirinya.

Mizuki mengkritik gyokusai alias “serangan bunuh diri yang mulia” dan tidak memahami mengapa martir perang perlu diromantisasi. Kebijakan pemerkosaan dan geisha serta kekejaman tentara Jepang di lokasi perang juga tak luput dalam kecamannya. Di akhir cerita, Maruyama—alter ego Mizuki—mati di tengah hutan di sebuah pulau dengan wajah penuh luka dan darah, serta pipi dan leher berlubang ditembus peluru. Tak lama, terdengar jerit Maruyama, “Kekeke…!”

Mizuki Shigeru juga menulis sebuah manga delapan jilid yang menjadi adikaryanya dalam penulisan sejarah, berjudul Komikku Showa-shi—merujuk pada pemerintahan Kaisar Showa dalam rentang 1926-1989. Komikku Showa-shi yang terbit pada 1988 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Showa: A History of Japan. Jepang mengalami banyak kejadian besar di masa Showa, yaitu Gempa Besar Kanto, Depresi Besar, Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam, serta kebangkitan ekonomi Jepang. Mizuki yang hidup dalam rentang pemerintahan Showa (1922-2015) adalah saksi hidup sekaligus pelaku sejarah.

Dalam serial TV Gegege no Kitaro episode 20, diceritakan Mana sedang menemani bibinya, Toshiko, yang kehilangan tunangan dalam peperangan pada 1942. Tetapi Mana yang masih kecil tidak tahu apa yang terjadi di tahun 1942. Ia tercengang ketika mendengar Kitaro, Medama Oyaji—ayah Kitaro yang hanya berupa bola mata—serta Nezumi Otoko, membicarakan tentang perang 1942 yang mereka ingat sangat jelas. Ketika tiba-tiba terdengar suara deru pesawat melintas di atas atap rumah, Kitaro spontan mematikan nyala api, sebuah tindakan yang lahir dari sebuah trauma peperangan, meski sudah berlalu puluhan tahun.

Baca juga artikel terkait KEBUDAYAAN JEPANG atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi