tirto.id - “Kamu tahu? Orang yang memakai mobil besar itu kompensasi untuk ukuran penis mereka yang kecil,” lelucon ini nyaris familiar dengan berbagai kebudayaan populer di Amerika. Obsesi manusia terhadap segala yang besar dianggap substitusi terhadap hal inferior yang mereka miliki.
Ini tak lebih dari prasangka, sekadar ejekan tak berdasar. Maka, jika Anda menyukai monster, apalagi monster besar, Anda tidak sendiri. Tak perlu takut dianggap kecil karena menyukai hal tersebut.
Monster ukuran raksasa menjadi salah satu genre film tersendiri yang punya banyak penggemarnya. Mulai dari kadal penyembur plasma, gorila seukuran gunung, sampai monster dari dimensi yang lain. Rentang waktu paling awal yang bisa dilacak tentang kemunculan film genre ini bermula pada 1933 saat film fenomenal King Kong dibuat. Bertema Gorila raksasa, film ini menjadi klasik karena menghadirkan monster raksasa realistik untuk ukuran teknologi saat itu.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1953, film monster lain berjudul The Beast from 20,000 Fathoms muncul. Ia mengisahkan monster raksasa yang bangkit akibat tes nuklir di Antartika. Setahun kemudian, ada film Them!, menghadirkan semut raksasa yang meneror manusia. Film Gojira (Godzilla) dirilis di Jepang pada tahun yang sama.
Ada tren film monster raksasa yang lahir karena radiasi nuklir, seperti ngengat raksasa Mothra, kura-kura raksasa Gamera, dan banyak lagi yang lain. Pada 1961, di Inggris ada film monster raksasa yang diberi nama Gorgo.
Monster-monster raksasa ini hidup di satu jagat yang sama, artinya baik Gojira, Gamera, atau Mothra hidup di planet yang sama. Pada 1976, King Kong dirilis kembali meski tidak sepopuler generasi pertamanya. Godzilla sendiri dibuat kembali pada 1998 oleh TriStar Pictures, meski dikritik karena menghilangkan unsur laser plasma dari mulutnya dan sekadar menjadi kadal hermaprodit yang bertujuan berkembang biak.
Film King Kong merupakan salah satu monster yang paling banyak dibuat ulang. Setelah pada 2005 lalu King Kong dibuat kembali oleh Universal Pictures, kini muncul kembali Kong: Skull Island yang mengisahkan monster kera raksasa itu. Berlatar di sebuah pulau yang terisolasi di Pasifik, film ini menghadirkan Kong sebagai monster raksasa yang menguasai dan melindungi (penduduk) pulau dari kadal karnivora yang hidup di tanah kopong dalam pulau itu. Kong melanjutkan tradisi panjang film dengan tema utama monster raksasa dan kali ini ia sukses membuat penontonnya terpukau.
Selain King Kong, ada pula seri Godzilla yang dibuat ulang dan dianggap sebagai salah satu film monster raksasa yang sukses. Pada 2014 lalu, Godzilla dihadirkan kembali dengan narasi serupa versi Toho, studio asli Godzilla di Jepang, lengkap dengan laser plasma dan monster lain utuk dikalahkan. Ini merupakan seri ke-30 dari Godzilla. Pada 2016 lalu, Shin Godzilla, dihadirkan kembali di Jepang dan menandai seri ke-31 dari sejarah panjang film raksasa ini.
Alasan orang menyukai monster raksasa karena film macam ini menunjukkan betapa fana dan nyaris tidak berdayanya manusia di hadapan alam, yang dimanifestasikan dalam bentuk monster. Namun, tak ada masyarakat dunia yang lebih terobsesi dengan monster raksasa selain masyarakat Jepang.
Michael Fitzpatrick, pada 2014 menulis esai yang menggambarkan latar belakang masyarakat Jepang pasca-perang dunia kedua yang membutuhkan hiburan tapi juga penjelasan mengapa mereka kalah perang. Sosok monster raksasa menjadi representasi paling sempurna. Mereka menghancurkan tatanan nyaman masyarakat, untuk kemudian memberikan harapan bagi mereka yang bertahan hidup.
Godzilla atau Gojira dalam bahasa Jepang merupakan representasi dari Gorila dan Paus (Kujira). Ketakutan dan trauma masyarakat Jepang terhadap bom hidrogen melahirkan imaji tentang monster-monster yang lahirkan dari teror tersebut. Toho, studio yang berada di balik Gojira secara rutin melahirkan monster-monster lain yang dihadirkan untuk menandingi atau menjadi lawan dari Gojira. Monster raksasa seperti Mothra dan Rodan hadir untuk menengahi kebosanan dari sosok tunggal Gojira.
Soal ini, pendapat Hidetosi Chiba, profesor yang mendalami film-film raksasa, menarik. Ia menyebut awal mula Gojira tidak ada hubungan dengan ancaman nuklir. Ia setuju bahwa kemunculan monster-monster raksasa ini merupakan alegori dari protes anti nuklir sekaligus gambaran mengapa masyarakat Jepang sangat trauma dengan bom Hidrogen.
“Terlepas dari adegan kiamat, mereka [monster-monster] lebih mungkin muncul jauh sebelum berang,” kata Hidetosi.
Adegan hancurnya Tokyo pada film pertama Gojira terasa dekat dan masih berjarak sembilan tahun dari perang dunia kedua. Tentu bagi banyak orang Jepang ini mengingatkan bagaimana perang berakhir di negara mereka, namun menurut Hidetosi banyak dari masyarakat Jepang saat itu lebih takut bencana alam daripada perang.
“Kebanyakan monster-monster di kaiju, jelas berasal dari bencana alam seperti letusan gunung merapi, angin taifun, hingga gempa bumi. Ini lebih membuat penonton Jepang lebih ingat becana alam daripada perang atau nuklir,” jelasnya.
Masyarakat barat tentu tidak bisa melihat film-film ini dari skedar penghancuran gedung dan kota-kota belaka. Unsur horor, teror, dan ketakutan menjadi penting di barat ini yang tergambar dari Them! (1954), Jurassic Park(1993) Tremors (1990). Jurassic World (2015), atau Kronos (1957). Film-film ini mengeksplorasi rasa takut, teror, dan ketidakberdayaan manusia, ketimbang hiburan dua monster yang saling memangsa. Ini yang membuat Pacific Rim (2013) menjadi sangat berbeda namun juga sangat menarik sebagai film monster raksasa.
Film yang disutradarai Guillermo del Toro jadi penting dan sukses disukai oleh banyak penggemar film raksasa karena ia tanpa malu-malu menyajikan pertempuran monster dan robot. Tidak hanya monster, del Toro juga menghadirkan robot-robot indah dengan desain yang bagus. Ia menyatukan dua kubu penggemar film robot raksasa (tokusatsu) dan penggemar film monster raksasa (kaiju). Selain itu, pertempuran antara robot dan monster dibuat dengan baik serta tidak sekadar menghancurkan, tapi membunuh dan membanti manusia.
Jika ingin menikmati suasana horor namun juga menghadirkan imaji monster besar (tidak raksasa), ganas, dan menyajikan teror bagi para mangsanya maka The Host (2006) adalah film yang mesti Anda tonton. Diproduksi di Korea, film ini menjadi salah satu yang klasik, karena ia menghadirkan seluruh elemen penting dari film monster.
Virus atau limbah dari bahan kimia berbahaya, eksperimen pemerintah yang berujung salah, usaha pemerintah untuk menutupi kesalahan ini malah membikin runyam, usaha manusia untuk menyelamatkan orang yang mereka sayangi, dan keberanian untuk menghadapi monster meski menyadari bahwa mereka sendiri ketakutan.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani