Menuju konten utama

Anakku, Anak Suamiku, tapi Bukan Anak Arini

Sedih, sedih, dan sedih. Itulah kira-kira gambaran hidup sosok Arini Utomo.

Anakku, Anak Suamiku, tapi Bukan Anak Arini
Cover film Arini. FOTO/Istimewa

tirto.id - "Hanya orang mabuk yang mencintaiku," begitu klaim Arini suatu ketika. Ia tak percaya lagi cinta dan memilih untuk meratap. Untuk mengubur dalam-dalam rasa sakitnya itu, ia pergi ke Jerman. Hari-harinya ia jalani dengan melamun, merenung, dan menatap sekeliling tanpa harapan pasti.

Arini Masih Ada Kereta yang Lewat (selanjutnya Arini) adalah kisah tentang upaya melupakan masa lalu. Film ini diadaptasi dari novel karangan Mira W. dengan judul sama yang juga pernah diangkat ke layar lebar pada 1987. Bintangnya Rano Karno dan Widyawati. Setahun kemudian, sekuelnya, Arini II, muncul dengan Wim Umboh sebagai sutradara.

Film Arini dibuka dengan adegan di dalam kereta yang meluncur cepat di Jerman. Arini (Aura Kasih) duduk di dekat jendela dan melihat ladang terbentang di luar sana. Lalu, datanglah Nick (Morgan Oey), pemuda 23 tahun, kuliah di London, dan sedang backpacker-an keliling Eropa. Ia mengaku asal Filipina, tapi aslinya adalah orang Indonesia. Singkat kata, Nick jatuh hati pada Arini sejak pandangan pertama.

Namun, Arini cuek bebek. Ia dingin dan menganggap Nick sekadar mengganggu. Berkali-kali dikejar—dari kereta sampai rumahnya—Arini tak bergeming. Ia tetap bersikukuh pada sikapnya dan hanya berucap: “Mau kamu apa?” atau “Pergi dari sini!”

Dari Jerman, adegan menggelinding 13 tahun silam ke belakang. Di kereta menuju Yogyakarta, Arini duduk di posisi yang sama; dekat jendela serta menatap hamparan sawah nan hijau. Raut wajahnya nampak bungah. Di kereta, ia tak bertemu Nick, tapi sahabat karibnya semasa SMA yang sudah lama tak bersua gara-gara beda kuliah, Ira (Olga Lydia).

Alur Arini kemudian bergerak maju mundur. Dari Jerman ke Yogyakarta dan begitu seterusnya. Alur semacam ini mencoba menautkan kepingan-kepingan yang berserakan dalam kehidupan Arini. Terutama perihal mengapa di Jerman, ia berubah murung dan pesakitan.

Rupanya, penyebab utama Arini hancur lebur adalah pengkhianatan suaminya sendiri, Helmy (Haydar Salishz), yang ternyata berselingkuh dengan sahabatnya, Ira. Perjodohan yang Ira lakukan kepada Arini hanyalah kedok untuk menutupi perselingkuhannya dengan Helmy. Seketika hidup Arini limbung dan remuk. Ia juga dikisahkan keguguran.

Selama setengah jam pertama, saya menikmati adegan tiap adegan yang disajikan sang sutradara, Ismail Basbeth, dalam Arini. Tentang kesedihan Arini yang begitu emosional, tingkah laku Nick yang berhasil memberikan kesan mengganggu di benak penonton, hingga percakapan yang mengalir di antara kedua tokoh yang sebetulnya tidak terlampau spesial namun terasa pas.

Berbagai faktor itu lebih-lebih lagi dibungkus dengan iringan musik latar bernada yang minor, menyanyat, dan sendu—seperti mendengarkan alunan musik gubahan Yockie Suryoprayogo dan Eros Djarot, khas film melodrama Indonesia 1970an. Bisa dibilang, scoring Arini merupakan poin plus yang berhasil memberikan ‘nyawa’ di tiap adegan.

Sayangnya, memasuki babak kedua hingga pengujung film, kesan positif tersebut perlahan memudar akibat keputusan Basbeth yang meninggalkan banyak lubang dan tanpa kejelasan.

Contoh yang paling kentara adalah karakter Nick dan Arini sendiri. Dalam karakter Nick, misalnya, Basbeth tak pernah menjelaskan sedikit pun ihwal mengapa ia jatuh cinta kepada Arini hingga bagaimana kehidupan Nick di luar agendanya mengejar Arini.

Sepanjang film, penonton hanya disodori sosok Nick yang segala perilakunya berorientasi pada Arini, seolah tak kehidupan di luar sana dan hanya ditakdirkan untuk mendapatkan cinta Arini; tak lebih dan tak kurang.

Keberadaan sosok Nick ini mengingatkan pada karakter yang diperankan Kirsten Dunst dalam Elizabethtown atau Winona Ryder dalam Autumn in New York yang kerap disebut “A Manic Pixie Dream Girl" (AMPDG).

AMPDG merupakan istilah yang diciptakan kritikus film Nathan Rabin selepas melihat Elizabethtown garapan Cameron Crowe. Terma AMPDG merujuk pada “karakter ceria yang hidup dalam imajinasi sutradara yang mengejar dan mengajak karakter pria lainnya untuk melakoni petualangan tak terbatas.”

Bedanya, dalam Arini, Nick bukan "Manic Pixie Dream Girl," tapi "Manic Pixie Dream Boy."

Infografik Arini masih ada kereta yang akan lewat

Soal bagaimana akhirnya hubungan mereka jadi spesial juga luput dari penjelasan Basbeth. Tiba-tiba saja Arini harus bertemu orangtua Nick tanpa penonton tahu seperti apa sebetulnya perasaan Arini terhadap Nick.

Dari awal, penonton sudah diarahkan untuk membentuk perspektif bahwa film ini adalah kisah cinta antara dua insan yang kontras. Antara Nick yang masih berusia muda dengan Arini yang sudah menginjak kepala empat; antara janda dan jomblo; antara yang pesimistis menatap hidup dan optimistis menjalani kenyataan; dan antara yang masih terluka dengan masa lalu dengan yang mengajak membuka lembaran baru.

Namun, fondasi yang coba dibangun Basbeth berubah ketika Arini menginjakkan kakinya di Indonesia dan menjabat CEO di salah satu perusahaan (soal hal ini Basbeth juga tak menyelipkan informasi bagaimana bisa Arini duduk di singgasana tertinggi perusahaan). Dari yang semula titik masalah terletak pada relasi beda umur, lantas berubah jadi urusan pekerjaan, dan akhirnya masalah cinta segitiga (dan keluarga) antara Arini, Helmy, dan Ira.

Di tengah upaya Nick meyakinkan Arini, Basbeth justru menumpuk banyak konflik dalam satu waktu secara bersamaan. Mulai dari penggelapan uang yang dilakukan Helmy, fakta bahwa putri Arini masih hidup, serta permintaan Helmy kepada Arini untuk mendonorkan ginjal miliknya demi kesembuhan sang putri yang diketahui punya kelainan ginjal.

Alih-alih mengerucutkan konflik, Basbeth malah memasukkan semua kenestapaan Arini. Walhasil, film Arini yang awalnya adalah soal percintaan berubah jadi drama keluarga dengan sosok anak sekarat sebagai solusi masalah.

Keganjilan-keganjilan yang disajikan Basbeth itu membuat saya kehilangan atensi untuk menyimak sisa perjalanan film karena yang terjadi setelahnya sudah bisa ditebak; putri Arini bisa diselamatkan tanpa mengetahui sosok siapa yang menyelamatkannya, Ira dan Helmy tetap bersama, lalu Arini kembali ke Jerman untuk hidup dengan Nick yang dikabarkan sudah lulus kuliah.

Pada akhirnya, Arini punya ending yang bahagia. Dan untuk mewujudkan kebahagiaan itu, Arini harus rela kehilangan satu ginjalnya.

Bahagia memang berat di ongkos.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf