Menuju konten utama

Film Benyamin Biang Kerok: Upaya Kritis Berujung Tragis

Upaya kedua Falcon menghidupkan sosok legendaris tanah air. Sayangnya, sama seperti Warkop DKI: Reborn, Benyamin Biang Kerok juga tak jelas juntrungannya.

Film Benyamin Biang Kerok: Upaya Kritis Berujung Tragis
Film Benyamin biang kerok. FOTO/Istimewa

tirto.id - Usai kesuksesan Dilan 1990 yang ditonton jutaan orang Indonesia, Falcon merilis Benyamin Biang Kerok (selanjutnya Biang Kerok)—sebuah upaya kedua Falcon menghidupkan lagi sosok legendaris, setelah pada 2016-2017 merilis dua edisi Warkop DKI: Reborn yang menampilkan aksi trio Dono-Kasino-Indro.

Keseriusan Falcon untuk melahirkan lagi sosok Benyamin dalam wujudnya yang baru dibuktikan saat mereka menunjuk Hanung Bramantyo (Ayat-Ayat Cinta, Kartini, Habibie dan Ainun) sebagai sutradara. Sementara, pilihan pemeran Benyamin jatuh pada Reza Rahadian.

Saking seriusnya, Falcon juga menyatakan bakal memberlakukan film-film seniman legendaris asal Betawi, Benyamin Sueb, dalam satu universe seperti yang dilakukan Marvel dengan para superheronya. Alasannya, konsep universe yang digenjot Marvel sedang “tumbuh di seluruh dunia.”

Walhasil, kerja sama antara Falcon, Hanung, dan Reza tidak hanya menghasilkan satu film Benyamin saja. Ada tiga film Benyamin yang bakal digarap: Biang Kerok, Biang Kerok Beruntung, dan Tarzan Kota. Ketiga film tersebut, menurut pernyataan Falcon dan Hanung, masih punya benang merah antara satu dan lainnya.

Beda Penggambaran

Falcon maupun Hanung sudah menegaskan bahwa Benyamin versi mereka hanya meminjam judul dan nama pemeran utama dari film yang dirilis pada 1972 tersebut. Biang Kerok, dalam versi Hanung, dihidupkan lagi dengan cerita baru lengkap dengan segala gimmick-nya. Tak ada yang namanya reboot atau remake.

Dalam versi lamanya, tokoh utama bernama Pengki yang dimainkan Benyamin Sueb adalah sopir dari keluarga kaya yang suka menjahili majikannya. Ia acapkali berlagak bak tuan besar dengan mobil majikannya. Lagaknya yang sok itu ia gunakan untuk merayu perempuan. Meski demikian, Pengki tak ambil pusing dengan sikapnya. Berkali-kali ditegur—hingga akhirnya dipecat—Pengki tak kehilangan antusiasmenya untuk bertingkah konyol nan jenaka.

Jarak 46 tahun dari film lama dengan yang baru turut mengubah penggambaran akan karakter Pengki. Sekarang, Pengki yang diperankan Reza Rahadian bukan lagi sopir melainkan anak orang kaya dengan dandanan kekinian; sneakers, kemeja necis, dan celana bahan yang harganya minimal satu juta rupiah.

Ibunya (Meriam Bellina) adalah pemilik perusahaan IT yang dikenal punya pengaruh luas ke pejabat-pejabat. Sementara, ayah Pengki (Rano Karno), hanyalah “lelaki biasa” yang kerjaannya sehari-hari mengurus kambing dan memperbaiki oplet di rumahnya yang bergaya khas Betawi.

Pengki dalam Biang Kerok versi baru digambarkan sebagai anak yang tak berguna. Kerjaannya menghabiskan waktu menjalankan misi rahasia bersama kedua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti), menghamburkan uang ibunya, serta melatih sepakbola anak-anak kampung yang tak jauh dari rumahnya.

Konflik Biang Berok bermula saat Pengki mengetahui pemukiman warga yang selama ini jadi tempatnya melatih sepakbola bakal digusur. Guna menghentikan penggusuran, Pengki dan teman-temannya memutuskan untuk menyabotase salah satu kasino terbesar (dan ilegal) milik Said (Qomar) di jantung Jakarta.

Misi mereka berhasil. Berbekal peralatan canggih yang diciptakan Somad, mereka sukses mengeruk seluruh uang taruhan. Uang hasil curian tersebut lantas digunakan untuk menebus tanah yang sedianya akan digusur. Namun setelahnya malah muncul masalah bagi Pengki—dan keseluruhan film ini.

Komentar Sosial

Saya sebetulnya mengapresiasi keberanian Hanung menyelipkan masalah-masalah sosial terkini dalam film populer seperti Biang Kerok. Jika Anda mencermati, ada cukup banyak problem sosial—terutama yang terjadi di Jakarta—dalam Biang Kerok.

Selain masalah penggusuran yang dijadikan titik konflik Biang Kerok, Hanung juga menyelipkan masalah TKI (ditunjukkan lewat adegan salah satu anak didik Pengki yang menolak ibunya berangkat ke luar negeri untuk jadi TKI), ketimpangan sosial (digambarkan lewat kediaman orangtua Pengki yang sungguh berbeda: Ibunya tinggal di rumah mewah, sedangkan ayahnya menempati rumah sederhana di perkampungan), suap pejabat, sampai perdagangan perempuan yang digambarkan oleh ‘kebiasaan’ Said mengambil anak orang sebagai biaya pelunasan utang.

Namun, masalah-masalah sosial di Biang Kerok terkesan seperti hanya numpang lewat. Hanung tak benar-benar mengulik narasi sosial tersebut secara lebih menyeluruh guna memperkuat naskah yang ia buat. Ia sebenarnya ingin Biang Kerok dekat dengan realitas masyarakat saat menyajikan masalah-masalah aktual. Tapi sekali lagi Hanung kelihatan gagap. Walhasil, masalah-masalah tersebut hanya jadi kosmetik.

Parahnya lagi, selain hanya menumpuk dan menempelkan banyak masalah sosial jadi latar bisu, Hanung juga juga tak paham akar problem sosial yang ia ketengahkan. Contohnya penggusuran. Memang betul, penggusuran marak di Jakarta. Tapi sejak kapan penggusuran bisa dibatalkan setelah ada uang jaminan?

Mari kita lihat faktanya. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta lewat laporan berjudul “Seperti Puing: Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2016” menyebutkan, sepanjang 2016, Ahok—gubernur saat itu—telah melakukan 193 kali penggusuran dengan total sebanyak 5.726 keluarga dan 5.379 usaha ia singkirkan. Dalam penggusuran itu, Ahok melibatkan aparat dari Polri dan TNI.

Penggusuran yang dilakukan, menurut catatan LBH Jakarta, berujung intimidasi dan aksi kekerasan pada mereka yang digusur. Dalam riwayatnya, penggusuran dilakukan dengan dalih kepentingan publik. Catatan lain menunjukkan, dari total 113 kasus penggusuran DKI Jakarta sepanjang 2015, sebanyak 18 kasus diputuskan melalui musyawarah, sedangkan 95 kasus lainnya dilakukan secara sepihak. Mereka yang digusur kemudian dipindahkan ke rusunawa. Tak ada yang namanya "penggusuran bisa digagalkan."

infografik benyamin biang kerok

Kenyataannya, Biang Kerok memang tidak mengutamakan masalah-masalah sosial terkini jadi senjata andalannya sebab inti dari film ini adalah kisah anak orang kaya bernama Pengki yang butuh perhatian dari kedua orangtua yang sudah lama tak saling sapa selama bertahun-tahun.

Pengki lalu mencari pelampiasan di dunia luar dengan melakukan misi bak Robin Hood hingga akhirnya bertemu dengan Aida (Delia Husein) dan jatuh hati padanya. Hari-hari Pengki tidak bisa lepas dari Aida. Ia bahkan diceritakan langsung punya tujuan hidup—salah satunya membangun perpustakaan di kampung—karena kehadiran Aida. Pendeknya, Aida mengubah hidup Pengki.

Namun, Aida ternyata perempuan simpanan Said yang dijual oleh orangtuanya untuk bayar utang. Demi mewujudkan cintanya, Pengki melakukan tindakan penyelamatan. Bekerjasama dengan mafia lain yang notabene jadi musuh si Said, Pengki berencana untuk mencuri seluruh kontrak utang piutang orang tua Aida kepada Said. Dengan begitu Pengki mampu membebaskan Aida dari tangan Said.

Sekarang sudah jelas. Hanung sebetulnya tak perlu repot-repot memasukkan narasi tentang problem sosial terkini. Karena, toh, ujung-ujungnya Biang Kerok adalah soal Pengki dan kisah cintanya. Bukan soal penggusuran, bukan soal TKI, bukan soal ketimpangan, dan khususnya bukan soal perdagangan perempuan.

Lho, bukannya Pengki rela mati-matian menyelamatkan Aida? Bukannya itu merupakan bukti Pengki peduli dan bertekad memberantas perdagangan perempuan yang dilakukan Said?

Kalau memang peduli, Pengki mengambil seluruh kontrak perempuan yang jadi korban Said dan membebaskannya. Tapi, Hanung menggambarkan sebaliknya: yang diambil cuma kontrak Aida.

Seharusnya judul film ini bukan Benyamin Biang Kerok sebab sepanjang film, saya tak melihat sama sekali upaya menghidupkan karakter Benyamin yang diperankan Reza Rahadian. Yang saya lihat adalah sosok Reza Rahadian yang berkumis lebat dengan tekad kuat menyelamatkan pujaan hatinya.

Mungkin bisa Reza Rahadian: Si Kumis Lebat dan Perjuangan Cintanya?

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Mild report
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf