Menuju konten utama

Sekala Niskala atau Bagaimana Anak-Anak Menghadapi Kematian

Perayaan imajinasi di samping adik yang tengah meregang nyawa. Penyangkalan jadi cara bertahan hidup menghadapi kematian.

Sekala Niskala atau Bagaimana Anak-Anak Menghadapi Kematian
Sekala Niskala. Treewater Productions/Sofyan Syamsul

tirto.id - Sorot kamera menangkap ruangan kosong di rumah sakit. Tak lama kemudian, masuk dua suster, orang dewasa, dan pasien yang terkapar. Suasana panik. Orang dewasa yang kelak diketahui merupakan orangtua si pasien tak henti-hentinya berdoa agar anaknya segera sadarkan diri.

Kamera bergeser ke ujung pintu. Anak perempuan berdiri terpaku dan menolak masuk untuk menemani si pasien yang ternyata adalah adiknya. Ketakutan menguasai raut wajahnya.

Sekuens di bangsal rumah sakit tersebut membuka Sekala Niskala, film terbaru Kamila Andini (Laut Bercermin, Following Diana, Memoria Tanpa Ingatan) yang rilis pada 8 Maret lalu. Sekala Niskala bercerita mengenai dinamika relasi antara dua saudara kembar identik, Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena).

Tantri berperan jadi kakak yang kalem dan mengayomi Tantra. Usianya sekitar 10 tahun dan masih duduk di bangku SD. Sedangkan sang adik, Tantra, merupakan kebalikan dari Tantri: nakal, cerewet, dan tak bisa diam.

Sepanjang hari Tantra dan Tantri selalu bermain bersama, menyusuri sawah, berlarian di tepi sungai kecil, dan menyaksikan rembulan purnama dari balik jendela kamar yang tanpa penerangan. Itu mereka lakukan dari pagi sampai menjelang tidur.

Momen kebersamaan tersebut terpaksa tamat sejak Tantra terserang penyakit yang mengerikan. Di dalam kepalanya, tumbuh benjolan yang menyerang saraf otak dan cepat atau lambat, akan membuat seluruh inderanya berhenti berfungsi. Usia Tantra tinggal menghitung hari.

Yang Ironis dari Imajinasi

Kondisi Tantra praktis membuat sang kakak limbung. Ia sering duduk termenung dan sulit tidur. Ia rindu Tantra.

Imajinasi Tantri pun mulai berkembang hebat—dan dari sinilah plot Sekala Niskala bergulir. Tiap malam ketika dirinya terjaga, Tantri menyelinap masuk ke kamar inap Tantra. Dalam dunia imajinasinya, Tantri menjumpai adiknya dalam kondisi sehat, bisa duduk, berbicara, dan tertawa seolah hanya sakit demam biasa.

Perjumpaan dalam imajinasi tersebut kemudian membawa Tantri mendapatkan kembali momen bersama adiknya. Tiap malam, mereka bersenang-senang seperti dahulu kala. Menyimak Tantra memainkan lakon Ramayana, menanam pohon di samping kamar inap, hingga memandang rembulan dari jendela kamar rumah. Tapi waktu mereka terbatas. Saat fajar menyingsing, mereka harus kembali ke kenyataan: Tantra yang tak sadarkan diri dan Tantri yang depresi.

Sekala Niskala adalah soal ironi antara imajinasi dan kenyataan; tentang bagaimana seseorang mengolah imajinasi—buah dari masa lalu yang tak terlalu jauh—untuk menghadapi kenyataan pahit.

Bagaimanapun, imajinasi akan kembali pada induknya: kenyataan. Dalam Sekala Niskala tamparan kenyataan itu juga ditunjukkan dengan tangis, ketegaran, dan perasaan legowo menerima nasib yang nampak pada sosok ibu (Ayu Laksmi), yang digambarkan mengizinkan Tantri hidup dalam imajinasinya dengan Tantra.

Pengalaman-pengalaman sureal yang dialami Tantri—termasuk bertemu makhlus halus dan menari bersama mereka—merupakan perkara lumrah bagi anak-anak. Sekala Niskala ingin menunjukkan bahwa di balik kesan polos, anak-anak punya pengalaman dan konsep yang unik tentang duka dan kematian.

Tentu semuanya nampak semakin pahit ketika kita sama-sama tahu bahwa kebersamaan kakak-adik itu semu belaka. Tidakkah ironis ketika imajinasi dirayakan di samping adik yang tengah meregang nyawa?

infografik sekala niskala

Bagi Tantri, imajinasinya seolah seperti penghiburan. Bagi kita, yang nampak hanyalah kegetiran. Namun Tantri bukannya tak tahu dirinya sedang berkhayal. Toh, ia selalu menolak masuk kamar rawat Tantra ketika matahari masih bersinar. Di sinilah Penyangkalan jadi cara bertahan hidup.

Dalam “Bertemu Marlina di Jakarta” yang terbit di Cinema Poetica, Manuel Alberto Maia menulis bahwa film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) gagal merepresentasikan kultur Sumba meskipun film tersebut memanfaatkan banyak unsur-unsur budaya khas Sumba yang tidak sekedar jadi “bagian naratif,” tapi juga sebagai “identitas tokoh dan ruang cerita.”

Alberto menyimpulkan menerima Marlina sebagai gambar peradaban Sumba seharusnya dikaji ulang sebab narasi Marlina seperti lebih berpijak pada “pakem genre western” yang membungkus narasi keadilan sebagai balas dendam, alih-alih “konsekuensi kebersamaan” yang mengakar dalam tradisi Sumba.

Awalnya saya menduga Sekala Niskala akan masuk jebakan Marlina. Kebetulan, keduanya sama-sama syuting di lokasi yang seringkali dipandang merepresentasikan wajah Indonesia yang “eksotis.” Sekala Niskala di Bali, Marlina di Sumba.

Tapi, dugaan saya keliru. Sekala Niskala tidak menyingkirkan tradisi Bali dalam filmnya, mulai dari judul (Sekala Niskala sendiri artinya "nyata" dan "tidak nyata"), kidung-kidung persembahan untuk para dewa, hingga dialog yang memakai bahasa setempat.

Bali dalam Sekala Niskala juga tak menawarkan eksotisme turistik. Yang kita saksikan justru rumah kecil tanpa penerangan, orang-orang miskin yang saban hari hanya makan nasi berlauk telur, dan rumah sakit kelas dua—tempat segala kenangan, imajinasi, dan kegetiran itu hadir.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf