Menuju konten utama

Daur Ulang Klise Perempuan Pekerja dalam Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi

Film Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi mengisahkan istri pekerja dan suami yang mengurus anak. Daur ulang klise lama tentang 'wanita karir'.

Daur Ulang Klise Perempuan Pekerja dalam Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi
Cuplkan adegan film Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi. FOTO/Inspira Pictures

tirto.id - Suami dan istri bertukar peran dalam pembagian tugas rumah tangga. Laki-laki mengurus anak dan perempuan bekerja mencari nafkah—wajarkah?

Wajar, menurut film Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi (selanjutnya Bunda)—tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Acha Septriasa memerankan Tika, seorang ibu yang tengah mengandung anak kedua. Sementara Ario Bayu bermain sebagai Farid, seorang geolog dengan ibu yang sudah renta, sakit-sakitan dan menuntut agar sang putra menikah lagi dengan Lina, gadis yang direstuinya.

“Aku tidak ingin ada dua ibu dalam satu rumah,” tegas Tika, yang segera mengusir Farid pada suatu malam. Terusir dari rumahnya sendiri, sang suami baru pulang setahun kemudian, setelah ibunya meninggal. Tika memaafkan Farid dan kehidupan rumah tangga mereka pun kembali harmonis.

Bertahun-tahun kemudian, guncangan di awal bahtera rumah tangga ternyata jadi batu sandung.

Suatu hari Farid ditipu seorang investor hingga terlilit utang yang besar. Untuk melunasinya, pasutri itu berbagi tugas. Di luar jam kantor, Tika bekerja sampingan dengan menjual busana muslim anak. Sementara karena bisnis sedang buruk, Farid bekerja di rumah mengurus kedua putrinya.

Lambat laun, konflik pun muncul ke permukaan seiring majunya bisnis pakaian Tika. Ia jadi kepala rumah tangga yang punya kontrol atas banyak hal dalam keluarganya. Singkatnya, seorang matriark.

Namun, semakin lama, Tika jadi kian ambisius dan bersumbu pendek, termasuk di hadapan Farid dan dua anaknya. Kelalaian kecil sang suami—misalnya saat mengantarkan pakaian yang akan dijual—tiba-tiba nampak seperti dosa besar yang mustahil termaafkan. Nilai yang buruk pada rapor anak-anaknya pun memancing kemarahan Tika. Beberapa kali Tika diperlihatkan memarahi suami dan anaknya di depan umum.

Tak tahan dengan perubahan sikap istrinya selama setahun terakhir, Farid sang geolog mengambil keputusan untuk menerima pekerjaan jauh di luar kota. Kedua putrinya yang semakin tak kerasan tinggal bersama sang bunda, dikisahkan kabur.

Cowok Mah Bebas

Beberapa kali sutradara Ali Eunoia dan Bobby Prasetyo bermain subtil dalam membangun karakterisasi Tika sebagai matriark. Misalnya, dengan cara mendudukkan sang matriark di kursi yang umumnya ditempati suami saat makan malam.

Permainan subtil itu juga diperlihatkan cara-cara Tika menegaskan otonomi diri, bahkan sebelum ia memutuskan terjun ke dalam dunia wirausaha. Seperti saat Tika dikisahkan punya kamar yang tak boleh dimasuki siapa pun kecuali dirinya dan marah ketika anak-anaknya melanggar peraturan tersebut.

Tak hanya itu, Tika juga punya mimpi agar kedua anak gadisnya bisa sekolah setinggi-tingginya di luar negeri—suatu kemewahan yang tak pernah ia dapatkan karena orangtuanya tak mengizinkan anak perempuan sekolah jauh-jauh.

Sedangkan Farid dikisahkan sebagai laki-laki dengan bagasi masa lalu yang kerap diungkit Tika. Bagasi ini muncul sebagai salah satu penjelas mengapa ia mau menerima perannya sebagai pria domestik, yakni untuk menebus kesalahannya terhadap Tika di masa lampau.

Di sisi lain, Farid nampak luwes menjalankan peran sebagai bapak rumah tangga maupun ketika bekerja di luar rumah sambil mengurus anak. Namun, hal yang sama tak berlaku buat Tika: semakin sering ia bekerja di luar rumah, semakin berkurang kedekatan emosionalnya dengan kedua putrinya.

Kita menjumpai sebuah panorama yang kontras: suami yang serba-bisa, toleran, lemah lembut, dan di sisi lain, istri yang terancam gagal menjalankan peran rumah tangga karena ambisi-ambisi kariernya. Hebatnya lagi, sang istri yang ambisius kerap mempermalukan si laki-laki domestik yang akhirnya tak tahan dan menggugat, “Tika, ingat, kamu kerja untuk apa?”

Di titik itu, Tika menjadi representasi atas perempuan yang mengemban beban ganda dan kerap dibayangi pilihan bekerja di luar atau mengurus anak. Sedangkan si laki-laki, kendati akhirnya menjalankan tugas ganda yang sama, tak pernah mendapat gugatan seperti “Hey, Farid, apa kau ingat kau kerja buat apa?”

Konflik rumah tangga inilah yang hadir dan meruncing pada paruh kedua Bunda. Sayangnya, tidak diperlihatkan bagaimana Tika dan Farid sungguh-sungguh menyelesaikan masalah mereka, kendati film ini berakhir manis. Para sutradara Bunda malah memilih menggunakan pihak ketiga—Lina, gadis yang hampir dinikahi Farid—sebagai medium resolusi konflik.

Lina digambarkan jauh-jauh menemui Tika di Jakarta untuk meyakinkan Tika bahwa dia tak punya hubungan istimewa dengan Farid, dan bahwa hanya Tika-lah yang layak menjadi ibu bagi anak-anak Farid.

Infografik Bunda Kisah Cinta 2 Kodi

Bahkan Lina pun jadi antitesis karakter Tika: ia diperlihatkan tak punya niat merebut Farid dari Tika, bahkan tulus berperan sebagai penengah. Dan tak seperti Tika, sedikitnya porsi Lina di layar membuat kita tidak pernah tahu persis apa kehidupan yang dijalaninya di luar pekerjaan, apa saja mimpi-mimpinya, dan seperti apa proses yang dijalaninya sampai akhirnya ia memutuskan untuk bertemu Tika.

Lina, pendeknya, hanya didudukkan sebagai plot device untuk memuluskan penyelesaian konflik belaka. Kemunculan Lina pun membawa konsekuensi yang berat untuk karakterisasi Tika: ia jadi tanda ketidakmampuan Tika menyelesaikan problem rumah tangganya sendiri.

Penyelesaian cekcok keluarga itu pun berakhir instan, buru-buru, dan dipaksakan—dari mana Lina bisa tahu posisi Tika di rimba Jakarta?

Awalnya saya mengira Bunda akan menuturkan kisah yang lebih kaya dan bernuansa tentang pembagian tugas dalam kerja-kerja rumah tangga yang tak terelakkan dalam kehidupan keluarga dewasa ini.

Namun, dugaan itu keliru. Bunda rupanya masih terjebak pandangan baheula bahwa “perempuan yang bekerja di luar rumah niscaya akan mengingkari 'kodrat' sebagai ibu.” Kerja domestik tidak akan mengubah ‘kodrat’ laki-laki sebagai pekerja di luar rumah yang menafkahi keluarganya—bahkan laki-laki akan leluasa menjalani dua peran tersebut. Sementara kerja-kerja di luar rumah lambat laun akan membuat perempuan super-ambisius, melupakan keluarga, dan akhirnya tak berdaya menyelesaikan problem-problem rumah tangganya.

Ironisnya lagi, segala penerjemahan ambisi Tika di dunia nyata perlu mendapat validasi dari sang suami, yang ditampilkan secara halus di film ini melalui voice-over Farid. Narasi voice-over memang tak banyak muncul, tapi terdengar berusaha menjelaskan, memaklumi, dan akhirnya menilai keputusan-keputusan yang diambil Tika. Sebagai catatan, seluruh voice-over dalam film ini disuarakan oleh Farid. Tak pernah sekalipun oleh Tika.

Kelihatannya memang remeh, tapi dampaknya besar: Tika menjalani seluruh aktivitas tanpa kapasitas pribadi untuk menilai segala tindakannya. Kapasitas itu hanya dimiliki oleh laki-laki yang sudah ia domestifikasi: suaminya sendiri. Singkatnya, “berpikir” tak ada dalam kamus Tika.

Satu-satunya hal yang melekat pada dirinya adalah ‘kodrat’, sebagaimana tiap perempuan yang bekerja selalu diingatkan pada peran tradisionalnya sebagai ‘(calon) ibu’. Kodrat dan hanya kodrat—bukan yang lain.

Lalu, bagaimana dengan laki-laki?

Menurut Bunda, cowok mah bebas.

Baca juga artikel terkait KESETARAAN GENDER atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf