Menuju konten utama

Kerikil Tajam Dunia Pendidikan untuk Perempuan

Peluang bagi perempuan untuk mengambil posisi di ranah akademis kian bertambah dari waktu ke waktu. Namun, bukan berarti aneka sandungan tidak lagi mereka temui di sana.

Eqbal Dauqan (36 tahun), asisten profesor di Universitas Kebangsaan Malaysia. FOTO/Sanjit Das/NPR

tirto.id - Pendidikan tinggi adalah sebuah kemewahan bagi kaum wanita. Entah dengan "senjata" interpretasi agama, stereotip peran gender yang mengakar dalam budaya setempat, mitos-mitos, atau tindakan represif yang membungkus ketidakpercayaan diri sebagian pihak, perempuan dipaksa mundur menuntut ilmu tinggi. Perempuan harus berusaha ekstra untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, lepas dari telah tersedianya macam-macam akses ke pendidikan di berbagai negara.

Lirik kisah Malala Yousafzai yang mati-matian berjuang supaya perempuan-perempuan muda Pakistan mampu mengecap pendidikan di tengah kekangan Taliban. Tidak main-main, gadis yang baru berusia 20 ini bahkan sempat mempertaruhkan nyawa demi idealismenya tersebut. Bagi Taliban, perempuan berpendidikan adalah momok dan tidak sejalan dengan keyakinan mereka.

Situasi represif yang hampir sama juga dialami oleh Eqbal Dauqan, seorang profesor biokimia dari Yaman. Dilansir NPR, The World Economic Forum menunjuk Yaman sebagai negara yang paling tidak menghargai hak perempuan. Banyak perempuan Yemen yang tidak bisa meninggalkan rumah tanpa didampingi oleh anggota keluarga laki-laki atau suaminya.

Atau tilik pengalaman Margdarshi dari India atau perempuan-perempuan muda di sub-Sahara, Afrika, yang sempat berhenti sekolah hanya karena kepelikan yang dialaminya begitu menstruasi. Olok-olok yang lahir dari tabu menstruasi, ditambah sulitnya akses mendapatkan pembalut, membuat mereka akhirnya mengorbankan pendidikan.

Baca juga:

Di Indonesia, alasan ekonomi kerap menjadi hambatan bagi perempuan untuk melanjutkan studi. Sanita, belia asal Jawa Tengah yang pada Mei 2017 lalu menjadi wakil Indonesia dalam ajang Asian Development Bank’s 5th Annual Asian Youth Forum, bercerita kepada Huffingtonpost tentang pengalamannya hampir dinikahkan dini dulu. Pada usia 13, atas dasar kesulitan finansial, Sanita sempat ingin dinikahkan orangtuanya. Ia menolak.

“Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi,” ujarnya.

Dengan macam-macam prestasinya kini, Sanita bisa menunjukkan kepada kedua orangtuanya bahwa itu semua didapatkan sebagai hasil dari pendidikan yang begitu diperjuangkannya.

Berbagai kepelikan yang dialami perempuan saat berupaya mengecap pendidikan pun mengakibatkan lebih kecilnya angka perempuan yang meraih gelar doktor atau menjadi periset dibanding laki-laki. Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud memandang, adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.

Kecenderungan lebih sedikitnya perempuan peneliti atau doktor tidak hanya ditemukan di Indonesia. Di negara maju macam Amerika Serikat pun, jumlah perempuan penerima gelar doktor pun masih lebih rendah dibanding laki-laki. Survei National Science Foundation pada rentang 2010-2014 menunjukkan, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar doktor.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/08/18/perempuan-di-ranah-akademik--mild--fuadxYuthika.jpg" width="860" alt="Infografik Perempuan di Ranah Akademik" /

Ketika perempuan berkesempatan untuk menjalani studi doktoral, beban ganda harus siap diembannya, terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga. Peran sebagai istri, ibu, dan pelajar sekaligus dimainkannya. Hal ini bukan tidak mungkin menimbulkan konflik pada saat ia menuntut ilmu. Karenanya, dukungan fisik dan moral dari keluarga menjadi krusial bila perempuan ingin sukses menuntaskan disertasi, demikian disampaikan Saparinah Sadli dalam pendahuluan bukunya yang disusun bersama Lilly Dhakidae, Perempuan dan Ilmu Pengetahuan (1990).

Saparinah mengungkapkan, seyogyanya kehidupan karier dan keluarga perempuan tidak dipertentangkan. Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa semakin banyak perempuan Indonesia yang membutuhkan pendidikan supaya dapat mengakses lebih banyak peluang di kemudian hari. Pada kenyataannya, masih banyak orang yang tidak sepaham dengan Saparinah. Salah satu contoh tersirat dari meme yang diunggah akun Instagram @gerakannikahmuda.

Dalam meme tersebut, diperlihatkan seorang perempuan berjilbab yang berkata ingin kuliah dulu dan seorang laki-laki menyeretnya menuju KUA seraya berucap, “Nunggu wisuda kelamaan”. Ada beberapa poin yang bisa disoroti dari manifestasi pola pikir si pembuat meme dan orang-orang yang menyepakatinya. Pertama, impian perempuan untuk melanjutkan studi tanpa terintervensi urusan rumah tangga tampaknya mesti kalah dengan opini bahwa menikah patut lebih diprioritaskan dibanding studi. Kedua, implisit dalam meme tersebut bahwa target waktu menikah memiliki tenggat waktu lebih pendek daripada melanjutkan pendidikan. Padahal, banyak kendala lain yang potensial dihadapi begitu perempuan menunda melanjutkan studi, entah perkara tanggung jawab rumah tangga dan anak-anak, kesempatan studi yang tidak senantiasa ada—misalnya tawaran beasiswa yang akhirnya dilepaskan lantaran mesti memenuhi ekspektasi pasangan atau keluarga—, atau perkara semangat studi yang bisa jadi kian luntur seiring berjalannya waktu. Kalaupun menikah dan melanjutkan studi dibarengi, itu artinya perempuan mesti dua kali lipat bekerja keras untuk menyeimbangkan perannya dalam konteks masyarakat yang mengamini peran gender konvensional. Beban serupa jarang ditemukan pada laki-laki karena mayoritas masyarakat meyakini bahwa wajar bila laki-laki berada di luar rumah, bekerja atau meraih cita-cita setinggi-tingginya, termasuk lewat bersekolah, bukan mengurus persoalan domestik.

Itu beberapa contoh kerikil yang menghambat perempuan berjejak di ranah pendidikan dari sisi luar sekolah atau kampus. Di dalam institusi pendidikan sendiri, ada hal lain yang mesti siap dihadapi perempuan di tengah dominasi budaya patriarkis ini. Satu contoh kasus datang dikemukakan oleh Elisabeth Bik, mikrobiolog dari Stanford University. Dari observasinya ketika rapat di lingkungan kampus, Bik melihat kecenderungan laki-laki untuk menginterupsi perempuan saat mereka berupaya menyatakan opini atau bertanya.

Di Indonesia, ada satu contoh kasus lain ketika perempuan menemui hambatan dalam karier akademis. Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada, membuat kebijakan melarang perempuan bercadar untuk mengajar di kampusnya. Kebijakan ini tentu saja menuai kontroversi. Alasan cadar menghalangi komunikasi dosen ke mahasiswa dinilai berlebihan oleh pengamat pendidikan, Budi Trikoryanto. Cadar sendiri merupakan ekspresi keimanan perempuan yang rupanya, dalam kasus ini, menjadi petaka bagi perempuan akademisi.

Kondisi kurang kondusif bagi perempuan-perempuan akademisi juga disokong oleh adanya pelecehan seksual di institusi pendidikan. Menurut studi-studi terdahulu yang dicantumkan dalam penelitian Settles et al. (2006), pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus berkisar antara 36-44 persen. Lebih lanjut dalam tulisan yang dimuat di jurnal Psychology of Women Quarterly tersebut, dari meta-analisis 71 studi, dinyatakan sebesar 58% perempuan di ranah akademis pernah mengalami pelecehan di tempat kerja. Angka ini lebih tinggi dibanding pelecehan di sektor privat atau organisasi pemerintah (nonmiliter).

Belum lagi adanya diskriminasi berbasis gender. Ruang kerja dan upah mengajar menjadi salah satu hal yang terdampak dari adanya diskriminasi gender ini. Keadaan semakin tidak menguntungkan bagi perempuan yang bekerja di ranah akademis ketika ia berasal dari ras minoritas. Dalam tulisan Settles et al. juga dipaparkan temuan perempuan kulit hitam memiliki kepuasan kerja lebih minim dibanding perempuan kulit putih lantaran perlakuan tidak adil yang dialaminya saat bekerja.

Tekanan eksternal bagi perempuan yang berkarier di dunia pendidikan tak pelak melahirkan kendala internal dalam dirinya. Bukan rahasia lagi bila perempuan dianggap tidak lebih kompeten dibanding laki-laki dalam hal pengetahuan. Begitu ia berhasil meraih prestasi di ranah akademis, anggapan ini tidak serta merta memudar dalam benak sebagian perempuan. Mereka masih ragu apakah benar pencapaian tersebut merupakan hasil jerih payahnya atau privilese dan kebetulan belaka. Hal ini dikenal dengan impostor syndrome.

Jenny Pickerill, profesor bidang Geografi Lingkungan dari University of Sheffield, menyatakan ada potensi besar perempuan di ranah akademis seperti dirinya mengalami sindrom ini. Pada akhirnya, impostor syndrome yang dialami perempuan akademisi membuatnya terkendala mendapat promosi karena kurangnya kepercayaan diri. Terlebih lagi, hal ini dapat memicu kecemasan dan membuang-buang energi yang semakin membuat perempuan tidak nyaman menjalani karier akademisnya.

Baca juga artikel terkait KESETARAAN GENDER atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti