tirto.id - Mulutmu harimaumu. Begitu ujaran klasik yang sering terlontar saat seseorang hendak atau telah mengutarakan sesuatu yang berisiko merugikannya di kemudian hari. Kata-kata memang serupa predator yang siap melumat mangsa di depan mata, termasuk diri sendiri. Namun, ada kalanya seseorang butuh memanfaatkan ‘harimaunya’ untuk mengekspresikan gagasan atau memberdayakan diri dan kelompoknya.
Unggahan dokter Fiera yang mengkritisi sikap Rizieq Shihab dalam menghadapi kasus hukum melalui media sosial adalah satu dari banyak cerita perempuan-perempuan yang berupaya vokal di muka publik. Sayangnya, aksi sederhana itu ternyata justru berdampak besar dalam kehidupan dokter Fiera. Teror dan intimidasi diterima ibu dua anak tersebut. Terlebih lagi, karier dan keluarganya juga kecipratan imbas dari serangkaian kalimat yang ia tuliskan di sana.
Dokter Fiera bukan satu-satunya perempuan yang mengalami nasib buruk setelah tulisannya menjadi viral dan memancing kemarahan, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan pribadinya. Di berbagai belahan dunia, banyak perempuan yang juga bernasib buruk karena mengeluarkan ekspresinya.
Adalah Malala Yousafzai yang tercatat dalam berbagai pemberitaan internasional sebagai gadis belia yang tak gentar menghadapi kelompok ekstremis Taliban di Pakistan. Lewat blog-nya, ia menuangkan gagasan dan pengalaman getirnya berada di bawah represi Taliban terhadap gadis-gadis yang ingin bersekolah. Dalam usia belasan pun, ia sudah kerap berpidato soal pentingnya pendidikan bagi orang-orang sepantaran dan di bawahnya. Malala kena luka tembak di kepala saat Taliban menyerang bus sekolah yang membawanya bersama rekan-rekannya. Berbulan-bulan Malala harus menjalani pengobatan akibat luka tembak yang nyaris merenggut nyawanya. Begitu sukses jadi penyintas, perhatian dunia internasional pun tersita olehnya. Alih-alih ciut, nyali Malala kian menyala untuk membela hak anak-anak perempuan yang ingin bersekolah setelah ia berangsur-angsur pulih.
Sementara dari Mesir, ada Azza Soliman yang ditangkap setelah sebagian haknya dibatasi oleh pihak berwenang. Soliman, penggagas lembaga advokasi perempuan korban kekerasan, Center for Egyptian Women’s Legal Assistance, sempat dilarang bepergian keluar negeri dan mengalami pembekuan aset tanpa melalui proses pengadilan. Penangkapan Soliman ini diduga terkait keterlibatannya sebagai salah satu saksi pembunuhan Shaimaa al-Sabbagh—aktivis yang ditembak mati oleh aparat pada aksi damai Januari 2015. Pemerintah Mesir tidak hanya menangkap Soliman. Sebelumnya, 43 pekerja LSM baik luar maupun dalam negeri juga sempat dijebloskan ke penjara dan beberapa LSM internasional dipaksa tutup, termasuk Freedom House dan International Center for Journalist.
Pengalaman terlibat dalam aktivisme dan berujung pada penangkapan juga dialami oleh Linda Sarsour. Perempuan Muslim Amerika ini tengah berdemonstrasi di depan Trump Hotel bersama sejumlah aktivis lainnya saat polisi New York menyuruh mereka mundur. Alih-alih mengosongkan jalan, Sarsour dan kawan-kawan melanjutkan aksi protes terhadap Trump yang dianggap misoginis. Hal ini pun membuat aparat gerah dan akhirnya menangkapi mereka.
“Saya merasa berdaya, bangga akan apa yang saya lakukan hari ini dan sebelumnya, saya telah melakukan hal serupa beberapa kali… Saya harap aksi saya dapat memberikan pesan kepada masyarakat bahwa kamu harus mengambil risiko, kamu harus berani pada saat ini,” papar salah satu organisator Women’s March ini setelah ia dibebaskan.
Tulisan-tulisan di media sosial yang mendatangkan sanksi bagi si pembuat juga dialami oleh Mukaddes Alataş dan Suad al-Shamari. Alataş adalah seorang aktivis perempuan asal Diyarbakir, Turki, keturunan Kurdi yang ditangkap atas tuduhan tergabung dalam organisasi teroris. Tuduhan ini bersumber dari tulisannya di media sosial yang menyinggung perkara genosida orang-orang Armenia.
Sejumlah dokumentasi menyebutkan bahwa orang Armenia adalah penduduk asli Diyarbakir. Keberadaan mereka dan sejumlah komunitas Kristen tergusur seiring terjadinya genosida yang dilakukan tentara Ottoman pada 1915. Dalam buku Armenian Tigranakert/Diarbekir and Edessa/Urfa (2006) disampaikan bahwa opresi yang dilakukan terhadap orang-orang Armenia dan komunitas Kristen ini melibatkan pembunuhan, perkosaan, deportasi, dan konversi paksa ke agama Islam. Pemerintah Turki menyangkal tragedi ini, sementara gerakan politik Kurdi justru mengakui genosida orang-orang Armenia, bahkan memperingatinya.
Suad al-Shamari pun mengalami nasib serupa Alataş. Gara-gara cuitannya di Twitter yang dianggap menghina Islam, al-Shamari diamankan polisi di Arab Saudi. Salah satu penggagas kelompok pembela HAM liberal ini mengunggah gambar seorang laki-laki mencium tangan ulama yang digambarkan berjanggut panjang. Al-Shamari juga menuliskan kalimat yang mengiringi gambar tersebut, “Lihat kesombongan dan kebanggaan di wajahnya (ulama) saat dia menemukan seorang budak untuk mencium tangannya.” Kontan, al-Shamari disebut imoral dan murtad karena mengkritik pemimpin agama.
Butuh tekad tangguh dan mental pagan untuk mengartikulasikan ide di tengah suara-suara kontra yang bergema. Tak hanya di ruang-ruang publik nyata, di dunia virtual pun orang mesti siap berhadapan dengan sejumlah risiko karena menjadi vokal. Budaya partisipatoris di media sosial telah menciptakan polisi-polisi dan calon-calon narapidana baru yang tidak satu pun tahu siapa yang akan dikenai sanksi dan sejauh mana hukuman tersebut mengorupsi hidup seseorang.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti