tirto.id - Orang tua seharusnya menjadi contoh bijak bagi anak dalam menyelesaikan permasalahan. Seyogianya sikap dewasa orang tua diharapkan menjadi teladan ketika anak berkonflik. Hal ini yang tampaknya absen dari kepala Ivan Sugianto ketika turun tangan langsung melabrak seorang siswa yang berselisih dengan anaknya.
Alih-alih menyelesaikan persoalan anaknya secara tenang dan bijak, Ivan justru melakukan dugaan tindak kekerasan terhadap anak.
Ivan, seorang pengusaha diskotik asal Surabaya, mendadak viral setelah menyuruh siswa SMA Kristen Gloria 2, Surabaya, Jawa Timur, untuk sujud meminta maaf sebab disebut mengejek anaknya. Tak hanya itu, Ivan menyuruh siswa berinisial EH itu menggonggong seperti anjing di hadapan orang tua EH dan publik.
Peristiwa miris ini terekam dalam video berdurasi 2 menit 33 detik yang viral di media sosial. Dalam video itu, Ivan tidak menerima permintaan maaf dari orang tua EH. Bahkan, ia malah menantang orang tua EH untuk berkelahi, lantaran memohon agar anaknya jangan disuruh bersujud dan menggonggong. Dalam video itu, Ivan tidak sendiri, dia ditemani beberapa pria berbadan kekar dan tegap.
Kasus ini terjadi pada 21 Oktober 2024 lalu di depan gerbang sekolah Gloria 2. Amarah Ivan diduga dipicu karena EH mengejek anaknya yang bersekolah di SMA Cita Hati. Anak Ivan, AL, diduga saling ejek dengan EH dan kawan-kawannya usai bertanding basket.
Atas kejadian ini, Ibunda EH sempat tidak sadarkan diri karena melihat buah hatinya disuruh menggonggong seperti anjing. Tindakan arogan dan persekusi yang dilakukan Ivan viral dan dikecam warganet.
SMA Kristen Gloria 2 juga membuat laporan pengaduan masyarakat ke Polrestabes Surabaya atas dugaan perundangan terhadap EH.
Ivan akhirnya melempem usai dicokok polisi akibat tindakan arogannya. Aparat Polrestabes Surabaya menangkap Ivan di terminal kedatangan Bandar Udara Juanda di Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis (14/11/2024) sore.
Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Dirmanto, menyebut penetapan tersangka terhadap Ivan dilakukan setelah para penyidik melakukan serangkaian pemeriksaan dengan menghadirkan saksi dan ahli.
"Setelah dilakukan pemeriksaan tiga jam setelah ditangkap tadi, penyidik merasa cukup dan langsung dilakukan penahanan,” kata Dirmanto kepada wartawan, kamis (14/11/2024).
Kepada tersangka dijerat Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak dan/atau Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara.
“Ada tiga saksi tambahan yang tadi diperiksa, itu korban [EH] dan kedua orang tua korban,” terang Dirmanto.
Tindakan Ivan Amoral & Tak Berperikemanusiaan
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, memandang kasus Ivan yang mempersekusi korban anak di depan umum begitu amoral dan tidak berperikemanusiaan. Lisda mengaku amat naik pitam melihat Ivan dengan tega menyuruh anak untuk bersujud di hadapan umum dan orang tuanya sendiri.
“Bukan sekedar arogan dan amoral tapi tidak berperikemanusiaan,” kata Lisda kepada Tirto, Jumat (15/11/2024).
Lisda menilai Ivan sudah mencontohkan perilaku yang tidak baik terhadap anaknya sendiri. Ia sadar betul bahwa Ivan emosi sebab anaknya diejek oleh anak lain.
Namun, anak jenjang SMA memang sudah memasuki masa remaja dimana terkadang terjadi konflik dengan anak sebayanya. Selama belum ada dugaan pelanggaran hukum, konflik ini hal yang wajar.
Anak-anak memang perlu mendapatkan pengawasan dan bimbingan bahwa saling ejek dan merundung merupakan perbuatan yang salah. Konflik atau adu mulut dengan anak sebaya juga bisa diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus arogan dan berlebihan.
Sayangnya, Ivan membela anaknya dengan cara merundung anak lain. Alih-alih melakukan pembelaan, sikap Ivan justru dinilai Lisda termasuk bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Sebagai orang tua, dia sudah salah porsi dalam menangani kasus anak yang berkonflik.
“Saya memperkirakan dan yakin trauma muncul, yang terjadi kepada anak korban maupun orang tua setelah peristiwa ini. Jadi, sekali lagi, sebagai orang tua harus cukup bijak, harus proporsional, kalau mau ngasih tahu atau membimbing atau mengawasi anak,” jelas Lisda.
Menurut Lisda, tidak selamanya orang tua harus selalu ikut campur masalah anak. Justru, ia menilai anak-anak perlu diberikan ruang untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Hal ini bisa menjadi momen orang tua yang anaknya berkonflik untuk saling percaya memahami anak-anak bisa menyelesaikan konflik. Orang tua cukup mengawasi serta mengarahkan.
Contoh Buruk
Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai perilaku arogan dan tidak bermoral yang dipamerkan orang tua terhadap orang lain bisa menjadi sikap buruk yang dicontohkan anak. Orang tua yang melakukan persekusi saat membela anaknya merasa berhak melakukan kekerasan karena memiliki dominasi.
“Pelaku merasa bisa mendominasi dari segi ekonomi, akses, pengaruh, dan ini tentu saja menjadi contoh tidak baik bagi anaknya,” kata Iman kepada Tirto, Jumat (15/11/2024).
Berkaca dari kasus Ivan Sugianto, kegiatan di luar sekolah seperti bertanding olahraga atau kegiatan kunjungan ke sekolah lain, sebaiknya ditemani guru pendamping.
Kejadian kasus yang dilakukan Ivan terjadi di depan gerbang saat pulang. Maka, pihak sekolah seharusnya juga memiliki peran penting untuk mengontrol kejadian di lingkungan sekolah.
Iman menjelaskan sekolah harus dapat mendeteksi potensi kekerasan atau perundungan sesuai Permendikbud 46/2023. Di dalam aturan itu juga disebutkan mekanisme penanganan siswa yang berkonflik. Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) di sekolah bisa melakukan penanganan dan mediasi terhadap siswa yang berkonflik.
“Dicarikan solusinya tidak langsung melibatkan orang tua melabrak, apalagi meminta murid sujud dan menggonggong di hadapan orang tua dan banyak orang. Saya kira sangat tidak manusiawi,” ucap Iman.
Iman meminta Tim PPK sekolah melakukan pendampingan kepada korban. Di sisi lain, anak dari orang tua [Ivan] yang melakukan kekerasan juga perlu diberikan pendampingan. Iman khawatir anak tersebut menjadi sasaran perundungan. Hal ini membuat rantai perundungan terputus dan kedua anak dapat belajar di sekolah masing-masing sesuai haknya.
“Belum lagi respons sosial dimana teman-teman korban akan mengingat peristiwa ini dan mengejek anak tersebut dengan label. Artinya penanganan kepada korban ditunaikan juga secara tuntas oleh sekolah dan pihak tersangka,” ujar Iman.
Sementara itu, peneliti bidang sosial di The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, memandang sekolah punya peran penting dalam penegakan disiplin dan memberikan teguran kepada siswa ketika melakukan kekeliruan.
Teguran diharapkan membentuk siswa berkarakter lebih baik dan memberikan efek jera untuk tidak mengulang perbuatannya.
Dalam penegakan disiplin perilaku, orang tua dapat memberikan bentuk penghukuman yang efektif: berupa teguran, nasihat, atau peringatan dalam batas yang wajar. Namun, ketika orang tua siswa yang berkonflik turun tangan dan lebih dominan memberikan penghukuman kepada siswa, dapat dikatakan sekolah tidak berfungsi dengan semestinya.
“Alih-alih main hakim sendiri, seharusnya orang tua berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk mengatasi permasalahan, serta mengajak anak-anak yang terlibat berunding,” kata Dewi kepada Tirto, Jumat (15/11/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto