Menuju konten utama

Rektor UIN ke Dosen: Lepas Cadar atau Berhenti Mengajar

Pihak kampus menilai cadar mengganggu komunikasi antara dosen dan mahasiswa.

Rektor UIN ke Dosen: Lepas Cadar atau Berhenti Mengajar
(Ilustrasi) Santriwati bercadar bersiap membidik target busur panah saat mengikuti latihan olahraga Ekstrakurikuler Panahan di Pondok Pesantren Al-Idrisiyyah, Kampung Pagendingan, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (31/1). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/pd/17

tirto.id - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Dede Rosyada mengaku pernah memberikan pilihan kepada seorang dosen perempuan terkait penggunaan cadar saat mengajar. Pilihannya adalah sang dosen tetap bisa mengajar namun melepas cadar atau mengenakan cadar namun berhenti mengajar. Atas pilihan itu sang dosen mengambil opsi berhenti mengejar.

"Pilihan dia mengundurkan diri, bukan saya pecat," kata Dede kepada Tirto di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (1/8/2017).

Dede tidak ingat persis kapan peristiwa itu terjadi. Namun, ia ingat saat itu ada perwakilan pihak dekanat yang melapor kepadanya tentang seorang dosen perempuan yang mengajar menggunakan cadar. Atas laporan itu, Dede kemudian memberikan dua opsi: bercadar atau berhenti mengajar.

Bagi Dede bercadar saat mengajar akan mengganggu pola komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Sebab mahasiswa tidak bisa melihat gerak bibir saat menyampaikan pelajaran. “Waktu itu saya hanya mengatakan bahwa pola komunikasi anda dengan mahasiswa terganggu,” ujar Dede seraya menolak jika dirinya dianggap memecat sang dosen.

Perkara pentingnya komunikasi antara dosen dan mahasiswa menurut Dede sudah tertuang dalam Keputusan Rektor Nomor 468 Tahun 2016 yang ia terbitkan pada 16 Juni 2016. Dalam keputusan itu pasal 5 butir 55 menyatakan tentang menghambat tugas universitas dan pasal 88 menyatakan tentang sanksi. Dede menganggap memakai cadar sebagai tindakan menghambat tugas universitas yang pantas diberi saksi pemecatan atau pemberhentian sebagai dosen UIN Jakarta.

Dede menolak dianggap tidak menghormati wajah sebagai bagian dari aurat perempuan. Namun menurutnya, perempuan mendapat rusho atau keringanan tidak bercadar apabila untuk kepentingan mengajar atau kesehatan. “Seorang dosen perempuan memperlihatkan mukanya di depan mahasiswanya ketika mengajar itu tidak salah. Seorang mahasiswa melihat muka dosennya yang perempuan pun tidak dosa. Menurut fiqh (madzhab) Syafii itupun menjadi ruhsoh buat kita. Tidak dosa buat,” jelas Dede.

Suhendro, Kepala Bagian Kepegawaian UIN Jakarta juga membantah jika pihak kampus memecat dosen karena alasan bercadar. Namun berbeda dengan Dede, Suhendro mengatakan dosen bercadar tersebut berhenti mengajar karena mengundurkan diri dengan alasan ingin ikut suaminya bekerja di Malaysia. “Dengan kesadaran sendiri yang bersangkutan mengajukan untuk pengunduran diri. Bukan dipecat,” kata Suhendro.

Suhendro enggan mengutarakan identitas dosen yang dimaksud. Ia beralasan proses pengunduran diri belum sepenuhnya rampung. “Belum definitif keluar SK-nya. Baru pengajuan pengunduran diri saja. Nanti kan kalau saya sebut bagian dari privasi yang bersangkutan kan tidak enak saya,” katanya.

Dari hasil penelusuran Tirto, dosen perempuan bercadar yang berhenti mengajar ada di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Dekan fakultas Arif Sumantri pun membenarkan hal ini. Berbeda dengan Dede dan Suhendro, dosen perempuan berinisial “M” tersebut berhenti mengajar dengan alasan ingin fokus pendidikan dan mengembangkan rohani. “Itu bukan terkait cadarnya, tapi sudah lama mengundurkan dirinya sebelum ada kaitan dengan cadar,” katanya.

Pengamat Pendidikan Budi Trikoryanto menganggap kebijakan UIN Jakarta melalui kode etik tersebut berlebihan. Pasalnya, menurut Budi, cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. “Saya anggap hal tersebut berlebihan. Apalagi ini di UIN. Cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. Tidak boleh dilarang-larang sejauh tidak mengganggu orang lain,” kata Budi.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar