Menuju konten utama

Impostor Syndrome, Gejala si Cerdas yang Tak Merasa Cukup

Ketika sederet prestasi berhasil dicatat, sebagian orang justru merasa dirinya tak pernah sebaik yang orang nilai. Pikiran bahwa diri selalu kurang, bahkan merasa diri sebagai penipu ini kerap ditemukan dalam orang-orang yang mengalami impostor syndrome.

Impostor Syndrome, Gejala si Cerdas yang Tak Merasa Cukup
Ilustrasi depresi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “…bahkan 12 tahun setelah lulus, saya tetap merasa tidak percaya bahwa diri saya layak. Saya harus mengingatkan diri saya sekarang, kamu di sini karena suatu alasan. Hari ini, saya merasa sama seperti saat saya masuk Harvard pada 1999… Saya merasa seperti ada kesalahan—bahwa saya tidak cukup pintar untuk ada di sini dan setiap saya membuka mulut, saya mesti membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh.”

Kutipan ini diambil dari ucapan pemeran utama film Black Swan, Natalie Portman, saat berpidato di depan para mahasiswa Universitas Harvard—tempatnya meraih gelar sarjana Psikologi dulu. Saat berkuliah dulu, Portman mengaku kerap merasa terintimidasi oleh keberadaan banyak temannya yang dia rasa begitu pandai. Ia melewati tahun-tahun pertama di kampus mencoba membuktikan kepada orang lain dan dirinya bahwa ia serius mengambil studi di Harvard dengan cara mengambil kelas-kelas yang sulit saja.

Tidak hanya Portman yang pernah meragukan kemampuannya sendiri. Diwartakan The Cut, sederet pesohor lainnya pun pernah mengalami hal serupa. Padma Lakhsmi, pembawa acara dan salah satu juri Top Chef misalnya, sempat menyatakan, “Pada musim pertama Top Chef, saya menderita…impostor syndrome. Saya merasa tidak memiliki pengalaman memasak di restoran… Saya pikir, saya hanya akan menjadi pembawa acara yang baik saja. Pada suatu waktu, bahkan mungkin ia tidak menyadarinya, Éric Ripert (penulis dan koki asal Perancis) mengatakan kepada koki lain, ‘Tidak, Padma punya cita rasa begitu sensitif, sepertinya salah satu orang dengan cita rasa paling sensitif yang pernah saya temui.’ Saya terus mengenang kata-kata ini. Setiap kali saya merasa tidak percaya diri atau tak merasa cukup—yang notabene sering kali saya alami di tempat syuting—, yang mesti saya lakukan adalah mengandalkan apa yang saya tahu alih-alih yang tidak saya pahami.”

Saat memenangi Oscar berkat perannya di film The Accused, Jodie Foster pun mengaku mengalami hal senada dengan Portman dan Lakhsmi. “Saya pikir kemenangan saya adalah suatu kebetulan yang menguntungkan. Sama seperti saat saya masuk kampus Yale, saya pikir semua orang akan menyadari (kesalahan ini) dan mereka mengambil kembali piala Oscar yang saya terima,” ungkapnya kepada wartawan 60 Minutes pada Desember 1999.

Mengenal Impostor Syndrome

Pengalaman beberapa pesohor ini bisa jadi ditemukan pula dalam keseharian orang-orang yang tak tercatat ceritanya di media massa. Tidak peduli seberapa tinggi prestasi yang telah diraih, selalu saja muncul perasaan tidak pantas dan menganggap kesuksesan yang digapai merupakan kebetulan belaka. Kondisi seperti ini dikenal dengan sebutan impostor syndrome.

Dalam situs Psychology Today, Susan Weinschenk, Ph.D., behavioral psychologist, penulis, dan konsultan neuropsikologi mendeskripsikan kondisi ini. Istilah impostor syndrome pertama kali dicetuskan oleh psikolog klinis Dr. Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes pada 1978. Hal ini merujuk kepada kondisi yang dialami orang-orang berprestasi yang tidak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Ketakutan akan dianggap sebagai "penipu" juga terus menerus dialami oleh orang-orang ini. Bukti-bukti kesuksesan yang mereka terima dipandang sebagai suatu keberuntungan atau hal yang terjadi pada saat yang baik saja. Tidak jarang mereka merasa bahwa kesuksesan tersebut adalah hasil dari menipu orang sekitarnya sehingga mereka dianggap lebih pintar dan kompeten daripada yang sebenarnya mereka pikir.

Infografik impostor syndrome

Sejumlah psikolog mengatakan bahwa impostor syndrome jamak ditemukan dalam diri perempuan-perempuan yang mencetak prestasi tinggi atau para siswa dengan rapor gemilang. Penggagas The Leading Ladies Company, Amanda Brown, menyatakan hal yang berbeda dengan anggapan ini. Saat menjelaskan tentang impostor syndrome kepada Manchester Evening News, ia mengatakan, “Sama seperti perempuan, laki-laki pun banyak yang mengalami impostor syndrome. Perkaranya, sebagian orang tidak mengenali istilah khusus terkait gejala yang mereka alami. Selain itu, anggapan bahwa perempuan lebih potensial mengalami ini muncul karena mereka lebih mungkin mendiskusikan perasaan mereka kepada teman dan keluarga dibanding laki-laki.”

Impostor syndrome mengakibatkan orang-orang bekerja lebih keras untuk mencegah orang mendapati mereka tengah "menipu". Semakin banyak prestasi yang dikumpulkan, semakin menanjak kebutuhan untuk diterima dan diakui yang muncul dalam diri para penderita impostor syndrome. Tidak hanya itu, mereka juga terobsesi pada gagasan bahwa mereka akan membuat kesalahan, mendapat umpan balik negatif, hingga kemudian mencicipi kegagalan. Perasaan takut mencoba hal baru juga hal yang lumrah ditemukan dalam diri orang-orang dengan impostor syndrome. Selain itu, menurut Brown, impostor syndrome juga kerap dihubungkan dengan kecenderungan perfeksionis sebagian orang.

“Ketika pikiran-pikiran negatif (yang dialami penderita impostor syndrome) menghantui, mereka akan menghabiskan waktu dan energi untuk merundung diri sendiri dan pada akhirnya, menciptakan penilaian diri rendah,” jabar Brown. Jika impostor syndrome dibiarkan berkembang, potensi gangguan psikologis yang lebih parah dapat terjadi: kecemasan, stres, bahkan depresi.

Brown juga menambahkan, timbulnya impostor syndrome dipicu oleh banyak faktor. Pengalaman masa kecil, bos yang buruk, dan sejumlah pengalaman hidup lain adalah sebagian di antaranya.

Lantas, bagaimana mengatasi hal ini?

Sejumlah strategi bisa dijajal oleh orang-orang yang merasa dirinya mengalami impostor syndrome. Dikutip dari situs American Psychological Association, strategi pertama yang bisa dilakukan adalah menceritakan pengalaman ini kepada orang-orang yang dianggap kredibel, siswa kepada mentor misalnya. Saat menyadari bahwa kondisi yang dialaminya normal dan secara bersamaan, irasional, mereka dapat mencoba strategi berikutnya, yakni berbalik dan mengenali baik-baik kepakarannya. Mencari bantuan dari orang-orang yang lebih berpengalaman saja tidak cukup. Terkadang, bekerja dengan orang-orang yang kemampuannya masih berada di bawah penderita impostor syndrome bisa membantu mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang mereka kuasai betul. Melihat kembali catatan perjalanan sebelum mencapai kesuksesan atau memperoleh sebegitu banyak pengetahuan dan pengalaman juga bisa menjadi dorongan internal untuk mengatasi impostor syndrome.

Setiap kali impostor syndrome menyerang, ingat kembali hal-hal yang orang katakan tentang kesuksesan yang telah diraih seperti yang dilakukan Lakhsmi. Yakinkan diri bahwa pencapaian-pencapaian yang ada bukanlah berkat menipu orang sekitar. Kalaupun saat ini atau pada masa depan kegagalan menghampiri, orang-orang yang merasa mengalami impostor syndrome patut mengingat bahwa tidak ada satu orang pun yang sempurna.

Suzanne A. Imes, Ph.D. menyarankan orang-orang dengan imposter syndrome untuk mengubah cara berpikir mereka tentang kesuksesan dengan melakukan beberapa hal. Misalnya, alih-alih menghabiskan 10 jam mengerjakan tugas, mereka bisa memotong dua jam dari berfokus pada hal yang sama. Semakin lama orang menghadapi pekerjaan, makin berkembang kecenderungan perfeksionis dan pikiran-pikiran ‘takhayul’ semacam ‘pekerjaan saya belum cukup sempurna dan mesti diperbaiki lagi’. Cara lainnya, sodorkan draf pekerjaan yang sedang ditangani kepada teman untuk dikomentari. Ini akan menghindari potensi justifikasi pemikiran negatif yang membuncah di kepala para penderita impostor syndrome.

Merefleksikan pengalamannya sebagai salah satu penderita impostor syndrome, Portman berkata, “Kadang, ketidakpercayaan diri dan perasaan kurang berpengalaman mengarahkan kamu untuk mengamini ekspektasi, standar, atau nilai orang-orang lain. Namun, kamu perlu mengendalikan perasaan tersebut agar bisa mengukir sendiri jalanmu, jalan yang bebas dari beban mengetahui bagaimana sesuatu seharusnya menjadi. Jalan yang didefinisikan sendiri atas dasar alasan-alasan tertentu. Prestasi akan tampak indah saat kamu tahu kenapa kamu melakukan sesuatu untuk memperolehnya. Dan bila kamu tidak mengetahuinya, prestasi bisa jadi jebakan mengerikan.”

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti